Jumat, 04 November 2011

Banjir Cermin Kegagalan Birokrasi

Banjir Cermin Kegagalan Birokrasi

Banjir di Jakarta, menurut ahli tata kota Marco Kusumawijaya, merupakan gabungan kondisi alam dan kesalahan pengelolaan manusia. Sebelum ada manusia yang menyesaki Jakarta, daerah ini sudah langganan banjir. Topografi Jakarta rendah dan dikepung oleh sungai-sungai yang mengalir dari kawasan selatan yang lebih tinggi.
Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DKI Jakarta menyebutkan, sekitar 40 persen luas Jakarta merupakan dataran yang lebih rendah dari elevasi pasang laut. Daerah itu rawan genangan air karena berada pada flood plain atau dataran banjir luapan air Kali Angke, Pesanggrahan, Kali Sekretaris, Kali Grogol, Kali Krukut, Ciliwung, Kali Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, dan Kali Cakung.
“Kita memang kebetulan tinggal di daerah yang rawan banjir. Sekarang, bagaimana kita mengatasi banjir ini dan selalu mempertimbangkan kondisi topografi rentan banjir ini dalam setiap pembangunan,” kata Marco.
Akan tetapi, jangankan mengatasi banjir, pertumbuhan Kota Jakarta justru mendorong terjadinya banjir yang makin parah. “Kita cenderung hanya membangun dengan paradigma pertumbuhan. Namun, nilai tambah yang dihasilkan tidak digunakan untuk reinvestasi guna mengatasi dampaknya maupun meningkatkan daya dukung lingkungan,” kata Marco.
Selama ini, menurut Marco, tidak ada yang menyambungkan antara pembangunan ekonomi dan reinvestasi untuk perbaikan lingkungan. Seharusnya ada anggaran yang ditabung untuk tujuan tertentu.
“Di Belanda dan Belgia, itu ada pajak perbaikan lingkungan. Tak peduli warga negara apa pun. Kalau Anda tinggal di negara itu harus membayar karena Anda dinilai membebani lingkungan. Pajak itu hanya boleh digunakan untuk kepentingan perbaikan lingkungan,” katanya.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Pitoyo Subandrio mengatakan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya menjelang musim hujan akhir tahun ini. Selain perkuatan kali, juga telah dilakukan revitalisasi situ, rehabilitasi waduk, penghijauan lahan kritis, dan pembuatan dam parit di wilayah hulu.
Namun, apakah ini akan mengatasi banjir Jakarta? Pitoyo mengatakan, itu tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas, tanpa diikuti kesadaran masyarakat dan tanpa penegakan hukum serta cetak biru yang telah disusun.
Cetak biru perencanaan pengendalian banjir yang terpadu di Jabodetabek sebenarnya sudah ada sejak tahun 1997, tetapi hingga kini belum terealisasi. Bahkan, rencana pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) sejak tahun 1973 pun belum juga terealisasi.
Rancangan Instruksi Presiden (Inpres) RI tentang Penanganan Masalah Banjir di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur juga ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam rancangan inpres itu, untuk upaya struktural penanganan banjir disediakan anggaran Rp 9,5 triliun.
Kegagalan birokrasi
Restu Gunawan, peneliti banjir dari Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala menyebutkan, proyek-proyek pengendalian banjir Jakarta selalu gagal dari zaman ke zaman. Sejak tahun 1913, Belanda mengalokasikan dana 2 juta gulden untuk mengatasi banjir. Van Breen menjadi insinyur yang mendesain upaya itu. Salah satu produknya adalah pembuatan banjir kanal.
Namun, Banjir Kanal Barat yang dibuat Van Breen tahun 1920-an belum tuntas pembangunannya hingga Belanda pergi. Sedangkan Kanal Lingkar Kota dan sistem polder di sejumlah area genangan banjir sama sekali belum terbangun.
Pascabanjir tahun 1965, Presiden Soekarno membentuk Komando Proyek (Kopro) Banjir Jakarta, yang tugasnya memperbaiki kanal dan membangun enam waduk di sekitar Jakarta. Rencana Induk Jakarta 1965-1985 menyatakan banjir sebagai salah satu masalah utama Ibu Kota. Namun, waduk itu sebagian sudah hilang dan ada yang belum terbangun hingga kini.
Banjir pun terus melanda Jakarta. Tahun 1973 direncanakan proyek Kanal Barat dituntaskan. “Anggaran sudah ada, bantuan dari Belanda. Namun, proyek ini ternyata batal dikerjakan,” kata Restu. Tahun 1984 pemerintah merencanakan pembangunan waduk Depok. Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan desain detailnya sudah selesai, tetapi juga tak jadi dibangun.
Tahun 2002 banjir besar kembali melanda Jakarta. Namun, menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Slamet Daroyni, sampai hari ini Pemprov DKI belum mengeluarkan hasil evaluasi penanganan banjir Februari 2002. Ini menyulitkan semua pihak untuk melakukan upaya-upaya jangka pendek, menengah, dan panjang dalam mengambil tindakan.
Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah itu tidak berkelanjutan dan sangat reaksioner, baik dalam melakukan penanganan darurat maupun upaya perbaikan infrastruktur. “Jadi jauh dari harapan kita. Dan kalau memang benar prakiraan BMG bahwa curah hujan itu sama dengan Februari lalu, saya pikir akhir 2007 Jakarta akan banjir kembali,” kata Slamet.
Kegagalan proyek-proyek banjir yang dibuat pemerintah sejak dulu hingga sekarang, menurut Marco, disebabkan perencanaannya terlalu besar dibandingkan dengan kemampuan birokrasi yang ada. Ke depan, kemampuan birokrasi ini seharusnya menjadi parameter perencanaan proyek.
“Jika memang birokrasi tak mampu, jangan merencanakan yang muluk-muluk. Buatlah rencana yang mungkin dilakukan, tetapi konsisten,” kata Marco. Akhirnya, banjir benar-benar menjadi ujian bagi birokrasi kita. (Aik/Rie/irn)
Sumber: Kompas, 10 November 2007

Buruknya koordinasi, Kisah Tanda Tangan untuk Pengendalian Banjir

Ini adalah kisah tentang tanda tangan. Kisah ini menjadi begitu penting karena tanda tangan itu milik orang penting dan menyangkut banjir yang sering menimbulkan situasi genting di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.
Mendung yang menutupi cakrawala Jakarta dan hujan yang kini makin sering turun adalah pertanda musim banjir akan tiba. Banjir membuat kita menoleh ke belakang, menyaksikan kembali apa yang terjadi pada awal 2002 dan apa yang terulang pada awal 2007.
Banjir pada awal Februari 2002 melanda 168 kelurahan di 42 kecamatan dalam wilayah Jakarta dan memaksa 97.380 keluarga (365.435 jiwa) mengungsi. Banjir menelan korban 32 orang meninggal dunia. Air mengalir tak hanya di kawasan perumahan biasa, tetapi juga hingga ke kawasan elite di Menteng, Jakarta Pusat.
Hingga tahun 2002, itulah banjir yang dinilai terparah dan terluas yang pernah melanda Ibu Kota (Kompas, 3 Februari 2002). Karena itulah, pada bulan Juni 2002 delapan instansi pemerintah membuat kesepakatan bersama: Program Penanganan Banjir.
Dalam kesepakatan itu, penanganan banjir dibagi menjadi Program Mendesak (jangka pendek) dengan biaya Rp 731,95 miliar, Program Jangka Menengah berbiaya Rp 4,334 triliun, dan Program Jangka Panjang dengan dana Rp 11,58 triliun.
Ada delapan petinggi—Menteri Kimpraswil Soenarno, Menteri Dalam Negeri Hari Subarno, Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim, Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas Kwik Kian Gie, Menteri Keuangan Boediono, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Gubernur Jawa Barat R Nuriana, dan Gubernur Banten H Djoko Munandar—yang seharusnya membubuhkan tanda tangan dalam kesepakatan itu. Namun, tanda tangan itu tak pernah terkumpul lengkap.
Waktu dua tahun tak cukup untuk mendapatkan delapan tanda tangan pejabat tinggi ini. Seperti pernah dinyatakan Sutiyoso, ketidaklengkapan itu terjadi karena terdesak oleh Pemilihan Umum 2004.
Banjir yang merusak kenyamanan, mengancam keselamatan warga, dan keamanan fasilitas publik biasanya diiringi banjir kritik, terutama lewat media massa. Tudingan, antara lain, diarahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI yang dianggap tidak serius membersihkan sungai dari sampah dan tidak kunjung memperbaiki drainase.
Kritik lainnya tertuju kepada pemerintah pusat yang dinilai tidak memiliki komitmen dan ketegasan dalam penataan ruang di kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur), daerah hulu 13 sungai yang melintasi kota Jakarta.
Wilayah yang seharusnya berfungsi sebagai reservoir—daerah resapan air—itu mengalami perubahan fungsi lahan yang berlangsung secara cepat. Hampir semua peraturan perundang-undangan buat melindungi kawasan resapan itu tidak membuahkan hasil. Itu yang dialami Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 48 Tahun 1983, Keppres No 79/1985, UU No 24/1992, dan juga Peraturan Pemerintah No 47/1997.
Karena itulah, untuk maksud yang sama, dikeluarkan pula Keppres No 114/1999. Akan tetapi, hingga 2001 di kawasan Bopunjur telah terjadi penyimpangan pemanfaatan lahan sebesar 79,5 persen dari ketentuan yang ditetapkan Keppres No 114/1999 tersebut. Penegakan hukum yang menjadi tanggung jawab pemerintah tidak terasa dalam urusan ini.
Maka, pada awal tahun 2007, Jakarta dan daerah sekitarnya kembali dilanda banjir besar. Hujan sejak 29 Januari hingga 2 Februari mengakibatkan sekitar 60 persen wilayah Ibu Kota terendam. Ketinggian air bervariasi mulai dari 30 sentimeter-3 meter. Jakarta lumpuh.
Kerugian ekonomi
Sama dengan banjir 2002, banjir 2007 juga mematikan aktivitas ekonomi. Penghitungan yang dibuat Bappenas menyebutkan, banjir itu menimbulkan kerugian senilai Rp 5,16 triliun di wilayah Jabodetabek. Ia merenggut 79 korban jiwa, 48 dari DKI Jakarta, 13 korban dari Kabupaten dan Kota Tangerang, serta 18 orang lagi di Depok, Bekasi, dan Bogor.
Setelah banjir surut, Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat mengadakan rapat kerja bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perhubungan, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Pekerjaan Umum, Kepala Bappenas, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten. Hasilnya adalah kesepakatan pengalokasian dana untuk antisipasi banjir di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Menurut kesepakatan itu, dana antisipasi banjir ini akan disalurkan melalui APBN Perubahan 2007 dan program tahun jamak pada APBN 2008 dan 2009. Agar rencana itu terealisasi, dibuatlah Rancangan Instruksi Presiden (Inpres) RI tentang Penanganan Masalah Banjir di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur (Jabodetabekjur).
Rancangan Inpres ini menyatakan, penanganan masalah banjir akan dilakukan dengan upaya struktural dan non-struktural. Upaya struktural, antara lain, dengan percepatan pembangunan BKT, penanganan sungai (normalisasi, pengerjaan pintu air, pengerukan muara) di wilayah Jabodetabek, rehabilitasi situ, perbaikan drainase, pengerukan waduk, dan pembuatan polder baru.
Untuk upaya struktural ini, dana yang dianggarkan Rp 9,5 triliun. Upaya non-struktural dilakukan dengan penataan ruang. Dana yang dialokasikan Rp 105,60 miliar.
Inpres yang direncanakan ditandatangani oleh RI 1, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada bulan Maret 2007 itu hingga kini masih tetap berupa rancangan. Jika Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat “berteriak-teriak” karena dana dari pusat untuk merealisasikan program pengendalian banjir itu tak kunjung turun (Kompas, 26/10), penyebabnya adalah Inpres yang menggantung itu.
Di Jakarta, Wakil Gubernur DKI Prijanto seperti orang yang hendak mengibarkan “bendera putih” ketika berbicara tentang kendala dana ini. Sulit mengatasi genangan dan banjir yang terjadi di Jakarta karena terbatasnya anggaran, katanya (Kompas, 3/11). Dana buat mengatasi banjir dalam APBD DKI 2007 hanya Rp 272 miliar. Kebutuhannya hampir empat kali lipat jumlah itu, yakni Rp 1,2 triliun.
Memenuhi kebutuhan itu, rupanya bagi pemerintah tidaklah mudah walau nilainya cuma 2,5 persen dari biaya Pemilu 2009, yang dianggarkan Komisi Pemilihan Umum.
Kendati Dinas Pekerjaan Umum DKI sedang memperbaiki drainase lingkungan dan kolektor di 230 lokasi di Ibu Kota, belum ada jaminan genangan sehabis hujan tak akan terjadi. Kali Grogol di Slipi memang sedang dikeruk. Sebagian Sungai Krukut dan Pesanggrahan juga sudah. Kegiatan itu akan disusul oleh Kali Sekretaris dan Kali Angke. Bangunan liar milik warga ditertibkan. Pembangunan Banjir Kanal Timur yang tersendat-sendat memang terus berjalan. Akan tetapi, di balik upaya Jakarta “menghindar” dari banjir, yang terbaca adalah tingkat keseriusan “menghindar” dari implementasi kebijakan penanganan banjir Jakarta.
Setelah penegakan hukum demi kelestarian kawasan Bopunjur tak membuahkan hasil, sesudah tanda tangan delapan pejabat tinggi tak terkumpulkan sampai bergantinya pemeritahan tahun 2004, Inpres penanganan banjir yang kini sudah berumur sekitar tujuh bulan masih tetap berupa rancangan.
Tidak lama lagi, mungkin, seiring dengan mengalirnya air butek bercampur sampah ke dalam rumah penduduk dan terjadinya pengungsian warga, saling lempar kesalahan atas tidak berjalannya rencana penanganan banjir di Jakarta bisa terjadi lagi. Kepepet menghadapi pemilu 2009 mungkin saja kelak akan menjadi alasan yang membuat Inpres penanganan banjir itu tak kunjung ditandatangani.
(BE Julianery/ Litbang Kompas)

Banjir (Lagi)

Oleh: Fitri Indra W
AWAL Februari 2007, Jakarta kembali digempur banjir. Rasanya belum lepas dari ingatan kita ketika hal sama terjadi di tahun 2002 lalu.
Kala itu puncak dari kepanikan adalah pada Jumat sore, 1 Februari 2002 hingga Sabtu 2 Februari 2002 dini hari,di mana ribuan karyawan terjebak banjir di jalan-jalan di seputar Jakarta, hingga tidak dapat pulang ke rumahnya. Kali ini pun terjadi pada tanggal dan hari yang hampir bersamaan.
Barangkali penduduk Jakarta perlu menjadikan tanggal 1 Februari sebagai Hari Waspada Banjir, atau 29 Januari sampai 4 Februari sebagai Pekan Waspada Banjir. Pada banjir besar yang terjadi Januari– Februari 2002 yang lalu, warga Jakarta dan sekitarnya panik, dan pasrah (tapi tidak rela tentunya) menghadapinya.
Walaupun sudah memiliki pengalaman tersebut, namun pada 2007 ini tetap saja rasa panik dan pasrah tetap ada. Penyebabnya? Katanya,topografi dataran Jakarta hampir 40% berada di bawah permukaan laut. Selain itu, 13 sungai mengalir melintasi wilayah DKI Jakarta. Jadi jangan heran jika Jakarta harus senantiasa waspada terhadap banjir. Penduduk Jakarta diminta oleh ”yang berwenang”untuk ”akrab”dengan banjir.
Ini dikatakan di tahun 2002 yang lalu, namun ucapan senada dalam susunan kata dan kalimat yang berbeda keluar lagi di tahun 2007 ini. Kala itu tidak kurang dari 20 LSM menuntut Gubernur Sutiyoso untuk mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban atas penderitaan banyak orang akibat banjir. Untuk 2007 ini,tanpa dituntut untuk mundur pun memang sudah waktunya mundur.
Atau ke-20 LSM tersebut akan menuntut ”kambing hitam” yang lain, karena yang ini sudah waktunya mundur sehingga tidak ada gunanya dituntut. Apakah akan tetap 20 LSM, atau akan bertambah lagi untuk ”mengeroyok” topik menarik ini. Waktu itu (2002), sejumlah ”pakar” ramai-ramai bersuara.
Para ahli menyimpulkan bahwa penyebab banjir adalah gabungan dari faktor-faktor berikut :
  1. curah hujan yang tinggi;
  2. perubahan tata guna tanah di daerah hulu yang menyebabkan bertambahnya surface run-off serta terjadinya erosi;
  3. penyimpangan- penyimpangan dalam pemberian IMB dan SIPPT, sehingga menyebabkan hilangnya tempat parkir air dan bertambah besarnya surface runoff di Jakarta, termasuk di sini kegiatan reklamasi dan/atau pengurukan di daerah rawa-rawa di utara Jakarta;
  4. penyempitan dan pendangkalan sungaisungai yang mengalir melalui Jakarta akibat digunakannya bantaran sungai sebagai permukiman liar;
  5. kebiasaan sebagian masyarakat membuang sampah ke sungai,dan erosi pada daerah hulu;
  6. belum bisa dibangunnya sarana pengendalian banjir sesuai master plan pengendalian banjir 1997 akibat terbatasnya dana,
  7. naiknya permukaan air laut atau turunnya permukaan tanah. Apakah kali ini (2007) akan ada kegiatan ramai-ramai lagi memberikan pendapat dan usulan solusi? Kita lihat,tunggu dan saja, siapa yang mendapat keuntungan dari kepakarannya akibat bencana banjir ini.
Waktu itu (2002), ada tiga tahapan program : jangka pendek/mendesak, jangka menengah (2003–2004), dan jangka panjang (2005–2012). Program jangka pendek/mendesak yang akan dilaksanakan dalam satu tahun (2002) meliputi kegiatan-kegiatan pemulihan fungsi prasarana pengendalian banjir yang rusak akibat banjir awal 2002.
Program jangka menengah (2003–2004) meliputi normalisasi Ciliwung hilir (Condet–Manggarai), Banjir Kanal Barat, sungai-sungai besar dan kecil,Cengkareng Drain, serta sistem peringatan dini. Program jangka panjang (2005– 2012) akan mengacu pada Master Plan 1997 yang disesuaikan dengan perkembangan di lapangan.
Posisi saat ini (2007), tentunya berada dalam periode jangka panjang (2005–2012).Tetapi, bagaimana pelaksanaan yang jangka pendek/ mendesak dan jangka menengah. Kokrasanya tidak ada kemajuan dari kejadian bencana di tahun 2002 tersebut. Waktu itu (2002), ada pula masukan dari para ahli untuk mengurangi surface run-offadalah dengan membangun tangkapan air/kolam resapan di hulu, membangun sumur resapan individual untuk masing-masing rumah di hilir,dan untuk daerah hulu agar membangun rumah dengan sistem panggung.
Waktu itu (2002) diharapkan agar usulan dari para ahli ini tentunya dapat diakomodasikan oleh para pembuat kebijakan ke dalam kebijakan nasional pengendalian banjir. Entah bagaimana pelaksanaannya, kok banjir tetap ada. Mengenai sumur resapan, waktu itu (2002) dikatakan : (1) di DKI Jakarta sebenarnya telah menjadi keharusan bagi pemilik bangunan tinggi dengan mengaitkannya dengan pemberian IMB, dan (2) masalahnya kurang efektifnya pengawasan menyebabkan pembangunan sumur resapan ini hanya bersifat proforma untuk mendapatkan IMB.
Apakah hal ini sudah dibenahi di tahun 2007 ini? Katanya, untuk mengatasi permasalahan banjir di Jakarta, antara lain diperlukannya rencana tata ruang Jabodetabek Punjur. Lho, kalau sudah tahu ada kebutuhan tersebut, mengapa RT/RW Jabodetabek Punjur tidak juga dihasilkan. Katanya, masih dalam proses. Sampai kapan ? Masyarakat keburu kelelep. Waktu itu (2002), disebutkan bahwa konsep penataan ruang Bopunjur berdasarkan Rencana Tata Ruang Bopunjur, Keppres No. 114/1999, adalah mengarahkan sebagian besar kawasan tersebut sebagai daerah resapan (83,88%), sedangkan kawasan perkotaan hanya 16,12%.
Ditjen Penataan Ruang Dep. Kimpraswil menyatakan bahwa berdasarkan Citra Landsat tahun 2001, luas kawasan perkotaan menjadi 35000 Ha atau 29%.Jadi telah terjadi pertambahan luas kawasan perkotaan dari 1999 sampai tahun 2001 sebesar 6% (dari 23% menjadi 29%). Ini berarti juga telah ada penyimpangan dari arahan Keppres 114/1999 sebesar kurang lebih 80%. Jadi waktu itu saja sebenarnya sudah tahu salah satu penyebab banjir.Masalahnya, untuk mengembalikan kawasan perkotaan dari 29% menjadi 16,12 %,kelihatannya merupakan hal muskil.Siapa yang harus melaksanakan?
Departemen PU, Pemerintah Kabupaten Cianjur, Pemerintah Kabupaten/Kota Bogor, Pemerintah Kota Depok, BKSP Jabodetabek, Bappenas? Siapa donk? Biayanya berapa dan dari mana? Kalau tidak melaksanakan, sanksinya apa? Siapa yang bisa memberikan sanksi tersebut? Kepada siapa sanksi diberikan? Ah,ruwet juga urusan mengatasi banjir ini, sehingga walaupun di tahun 2002 sudah terjadi, di tahun 2007 terjadi lagi. Barangkali kita perlu melantik ”kambing hitam”baru : banjir 5 tahunan.Jadi tahun 2012 mendatang waspada. Lalu kalau tahun 2008 mendatang terjadi lagi, tinggal tunjuk kambing hitam baru : banjir tahunan.
Tinggal ubah waktunya saja, mau tahunan, 5 tahunan, 20 tahunan, atau 50 tahunan, silakan pilih, yang penting kambing hitam selalu rela. Lalu sebagaimana biasa kita tinggal berkata : kita ambil hikmahnya. Memang kita bangsa yang rajin memetik hikmah, dari kekalahan tim sepak bola, kegagalan tim bulu tangkis, dan sekarang banjir. Bulan depan paling-paling masyarakat sudah lupa dan kehidupan akan berjalan normal kembali. Saat ini, mari berakrab-akrab dengan banjir. (*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/banjir-lagi-3.html
FITRI INDRA W, Pengamat Masalah Perkotaan dan Wilayah
Sumber: Koran Sindo, Tanggal: 05 Feb 07

JAKARTA JADI KOLAM RAKSASA (LAGI)

Oleh: Tri Dirgantara Pamenan
Seharian kemarin, hujan deras tak lagi mengguyur Jakarta. Sang Mentari, meski masih malu-malu, sempat pula menampakkan dirinya beberapa kali.Seharian kemarin, hujan deras tak lagi mengguyur Jakarta. Sang Mentari, meski masih malu-malu, sempat pula menampakkan dirinya beberapa kali.
Tapi itu bukan berarti derita warga yang menjadi korban banjir berakhir. Banyak di antaranya bahkan justru semakin parah kondisinya akibat luapan Sungai Ciliwung yang tak kuat lagi membendung arus dari pintu air Katulampa, Bogor.
Di beberapa tempat, air memang sudah mulai surut, tapi tak sedikit pula yang masih terendam sampai ke atap rumah. Sampai tadi malam pun proses evakuasi masih terus dilakukan. Jakarta tiba-tiba dipenuhi ratusan ribu pengungsi. Sebagian tinggal di masjid-masjid, sebagian lagi di sekolah-sekolah, bahkan di kuburan. Sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya.
Kalau pada Jumat lalu banjir menyisakan mimpi buruk bagi warga Ibu Kota yang terjebak macet semalaman, bukan berarti kejadian serupa tak akan terulang lagi hari ini atau pekan ini. Data dari posko banjir DKI, sampai tadi malam seluruh pintu air masih berada pada posisi siaga I.
Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika, hari ini hujan ringan sampai lebat masih akan mengguyur sebagian wilayah Jakarta, Depok, dan Bogor. Tadi malam pun, ketika laporan ini selesai dibuat, hujan mulai kembali mengguyur sebagian wilayah.
Banyak warga yang tak kaget dengan banjir lima tahunan ini karena rumahnya sudah menjadi langganan banjir. Gubernur DKI Sutiyoso pun tak tampak kaget dengan musibah ini. “Ini memang siklus lima tahunan. Ada 13 sungai yang masuk ke Jakarta. Kalau hulunya tidak dibenahi, tentu sulit bagi saya untuk bergerak. Solusinya ya megapolitan,” ujar dia.
Tapi, sebagian lagi menganggap peristiwa ini sebagai yang terburuk di Jakarta karena pada peristiwa-peristiwa sebelumnya rumah mereka tak terkena banjir. Lebih buruk atau tidak, Jakarta kini memang sudah menjadi kolam atau waduk raksasa. Banjir kali ini juga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa sedikitnya 20 orang tewas dan satu orang hilang.
Menurut Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol. I Ketut Untung Yoga Ana, korban meninggal umumnya disebabkan sakit, kedinginan, kesetrum aliran listrik atau terseret derasnya arus banjir. “Angka korban masih bisa berubah karena petugas masih melakukan pendataan,” ujarnya.
Data korban tersebut dikumpulkan Polda sejak banjir melanda Jakarta pada Kamis (1 Februari) hingga Minggu (4 Februari). Para korban ini tersebar di wilayah Polda Metro Jaya, yakni Jakarta, Bekasi dan Bogor.
Lemah koordinasi
Polda Metro Jaya pun menambah jumlah personel dari 7.000 orang pada hari sebelumnya menjadi 12.660 personel yang meliputi semua unsur, termasuk Polres dan Polsek. Para personel ini dilengkapi dengan perahu karet 58 unit, rakit 231 buah, pelampung 420 buah, truk 63 unit, ambulans 27 unit, tenaga medis 68, helikopter empat unit, tenda 51 dan mobil toilet lima unit.
Polisi selain menjalankan tugas-tugas SAR dan misi kemanusiaan, juga menjaga keamanan rumah warga yang ditinggal mengungsi. Menurut pantauan Polda Metro Jaya, terdapat 122 titik banjir yang dinilai parah di wilayahnya dan tersebar di Jakarta, Tangerang, Depok, dan Bekasi.
Untung Yoga juga mengatakan paling tidak 23 asrama Polri yang terdiri dari 793 KK atau 2.637 jiwa terendam banjir kali ini.
“Karena itu Polda membuka pos laporan, dalam keadaan darurat warga dapat menghubungi kantor polisi terdekat atau kirim SMS ke nomor 1717 untuk semua operator,” ungkapnya.
Menurut pantauan Bisnis, satuan-satuan lain juga sudah menerjunkan bala bantuan masing-masing untuk membantu evakuasi, atau sekadar memasok bantuan makanan. Mulai dari TNI, Unit Pemadam Kebakaran, PMI, termasuk unit siaga dari berbagai perusahaan. Beberapa di antaranya tak lupa memasang bendera partai. Beberapa calon gubernur juga tampak tak mau kalah dan ikut mendirikan tenda bantuan.
Depdiknas juga menurunkan unit bantuannya di daerah korban banjir. Satu tim mendirikan bengkel darurat untuk melayani korban banjir yang sepeda motornya terendam. “Mekaniknya kami ambil dari siswa-siswa lembaga kursus di Cirebon yang diselenggarakan oleh Ditjen Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas,” ujar Berry, koordinator pelaksana tim bantuan Depdiknas. Tim mereka juga dilengkapi mobil sekolah dan bantuan makanan.
Sayangnya, tak sedikit bantuan yang diberikan tanpa koordinasi. Salah seorang petugas Satkorlak Kelurahan Pengadegan, Kecamatan Pancoran, misalnya, mengeluhkan buruknya koordinasi itu. Sebagian tim bantuan yang sampai di lokasi tak mau berkoordinasi, mereka hanya mau membagikan sendiri bungkusan makanan ke warga.
Boleh jadi mereka cuma ingin memastikan bantuannya sampai ke para korban. Tapi, upaya tanpa koordinasi itu tak pelak telah menyebabkan distribusi bantuan jadi tidak merata. Di beberapa tempat lain, pembagian makanan kepada para pengungsi malah menyebabkan kericuhan.
Banjir Kanal
Kisah ini seperti mengulang peristiwa yang sama pada 2002 atau 1996. Maklum, katanya siklus lima tahunan. Akibat banjir musim lalu, tak sedikit pegawai bank yang harus dipersenjatai oleh hair drier dan setrika saat masuk kantor akibat brankasnya yang terendam banjir.
Kisah ini seperti terulang kembali tahun ini. Banjir sekarang juga membuat banyak orang mengumpat akibat mobilnya harus menginap di jalan tol selama delapan jam. Sebagian lainnya juga terpaksa menginap di kantor atau berjalan kaki karena tak ada kendaraan yang beroperasi. Sejarah seperti berulang kembali.
Jauh-jauh hari Pemprov DKI memang sudah mengumumkan kesiapan antisipasi banjir, mulai dari pembersihan sungai sampai memperbanyak pompa air dan perahu karet. Langkah terakhir ini membuat banyak pihak cuma bisa tersenyum kecut. “Artinya, Jakarta memang sudah disiapkan banjir dong.”
Akibat banjir kali ini, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto kemarin mengumumkan rencana mempercepat pelaksanaan proyek Banjir Kanal Timur (BKT). “BKT akan selesai pada 2008 jika pembebasan tanah selesai tahun ini.”
Menurut dia, proyek BKT sepanjang 23 km dari Duren Sawit sampai dengan Marunda, hingga saat ini baru bisa dikerjakan tujuh kilometer karena sulitnya membebaskan tanah warga.
Dengan peristiwa banjir saat ini, Djoko mengimbau masyarakat merelakan tanahnya untuk proyek tersebut guna mengurangi potensi banjir di wilayah Jakarta. Apalagi, kata dia, tanah tersebut dibeli sesuai dengan harga pasar dan tanpa upaya penekanan.
Proyek BKT, lanjutnya, dilakukan untuk mengatasi banjir di wilayah timur Jakarta. Bila BKT diselesaikan, dia memperkirakan banjir tidak akan separah yang terjadi saat ini.
Alternatif solusi lain, Menakertrans Erman Soeparno menawarkan transmigrasi bagi warga Ibu Kota yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung. “Daripada terus berjubel di bantaran sungai, lebih baik bertransmigrasi demi masa depan anak-anak mereka,” ujarnya.
Daerah tujuan transmigrasi yang disiapkan untuk 15.000 korban a.l. di Sumatra Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Hayoo, siapa yang minat?
Sumber: Bisnis Indonesia online, 5 Pebruari 2007

Penanganan Banjir di Jakarta Perlu Koordinasi Jelas

Jakarta, Sinar Harapan
Penanganan banjir di Jakarta perlu koordinasi yang jelas dan kerja sama yang padu dalam melaksanakan tugas di lapangan. Masyarakat tidak mau tahu siapa yang menangani dan siapa yang bertanggung jawab yang penting Ibu Kota ini harus aman dari genangan dan banjir.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Ibnu Soemantri menegaskan hal ini kepada SH, Rabu (28/4). Bagi Ibnu, tidak masalah bila masih ada sebagian pekerjaan ditangani pusat dan sebagian besar menjadi kewajiban Pemda DKI Jakarta. Paling penting dalam menangani banjir adalah koordinasi antara pusat dan Pemda DKI Jakarta.
Dengan kerja sama dan koordinasi yang baik serta pelaksanaan sesuai rencana, tidak ada lagi lempar tanggung jawab bila terjadi hujan dan banjir di DKI Jakarta.
Penanganan sampah di DKI Jakarta juga harus terpadu. Jangan sampah pasar diurus sendiri oleh orang pasar, sampah kali diurus Dinas Pekerjaan Umum, dan sampah rumah tangga yang ditumpuk di lokasi pembuangan sementara menjadi tanggung jawab Dinas Kebersihan DKI Jakarta.
”Harus ada kepastian dan keterpaduan soal penanganan sampah,” kata Ibnu, wakil rakyat dari Fraksi TNI/Polri.
Sebagaimana diketahui, penanganan dan pengendalian banjir di DKI Jakarta belum berada dalam satu tangan. Sebagian masih menjadi kewenangan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) dan sebagian Pemda DKI Jakarta dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum (DPU) DKI Jakarta. Begitu pula dalam penanganan sampah kali di DKI Jakarta. Sebagian masih ditangani pusat dan sebagian lagi oleh DPU DKI Jakarta.
Otoritas dan Kewilayahan
Sementara itu, pengamat kota, Marco Kusumawijaya dan Yayat Suriyatna, ketika dihubungi SH secara terpisah, Rabu (28/4) petang, menyatakan pengendalian banjir yang kerap terjadi di wilayah Jakarta seharusnya di bawah koordinasi satu badan khusus. Badan ini yang akan mengoordinasi pihak-pihak terkait dalam pengendalian banjir di Jakarta.
”Tidak masalah harus Dinas PU DKI atau Depkimpraswil yang mengendalikan, tetapi harus ada satu badan khusus yang mengoordinasikan pihak-pihak yang terkait dalam pengendalian banjir tersebut,” kata Marco.
Yayat melihat masalah pengendalian banjir lebih ke otoritas dan kewilayahan. Kalau misalnya masalah banjir lebih ke urusan Pemda DKI, seharusnya Pemda DKI yang mengendalikan dan menanganinya.
Namun, apabila skalanya lebih makro, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil) yang mengendalikannya karena departemen ini akan mengoordinasikan antara pihak-pihak terkait.
Menurutnya, seharusnya hal yang lebih teknis seperti pengawasan dan pengelolaan pompa air, lebih baik diserahkan ke Pemda DKI karena Pemda DKI lebih mengenal wilayahnya. ”Kalau DKI yang mengelola dan mengawasi pompa air tersebut, akan dianggarkan dalam APBD,” kata Yayat.
Marco menambahkan banjir di Jakarta yang kerap datang setiap tahun di musim penghujan disebabkan dua hal. Yang pertama adalah air yang turun dari daerah Bogor dan ketidakseimbangan air yang mengalir di permukaan tanah dan air yang diserap oleh tanah. Salah satu upaya untuk menyeimbangkan antara air yang mengalir di permukaan dan diserap oleh tanah, lanjut Marco adalah dengan memperluas daerah resapan air baik dengan memperluas ruang terbuka hijau (RTH).
Selain itu juga, kantung-kantung air yang bisa menampung air di Jakarta ditambah karena kantung-kantung (folder) air di Jakarta sangat minim dan kalaupun ada sudah berubah menjadi lahan permukiman atau pusat perbelanjaan, misalnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Wilayah yang dahulunya rawa-rawa dan bisa menampung air di kala jumlah air yang mengalir di permukaan jumlahnya banyak, sekarang banyak berdiri rumah toko (ruko).
Pemda DKI, harus bekerja sama juga dengan Pemerintah Kabupaten Bogor maupun Kota Bogor untuk menangani dan mengendalikan air yang datang dari Bogor. ”Pihak hulu dan hilir harus bekerja sama dalam mengendalikan banjir kiriman tersebut,” jelasnya.
Menurutnya, masalah lingkungan, terutama sungai, bukanlah masalah otoritas dan kewilayahan, tetapi menjadi masalah hulu dan hilir. ”Masalah lingkungan terutama sungai, tidak mengenal batas wilayah. Pihak hulu dan hilir harus bekerja sama untuk menangani masalah sungai tersebut,” kata Marco. (dre/sat/tom)
Sumber: Sinar Harapan, Kamis, 29 April 2004

Antisipasi Banjir di Jakarta Berharap pada Konsistensi Perencanaan Kota

Oleh: IR. VERONICA A. KUMURUR, M.Si  dan IR. INDRIAN TAGOR LUBIS, M.Si
SUTIYOSO tengah mempersiapkan aparatnya dalam menghadapi banjir Jakarta. Mulai dari apel siaga aparat Pemprov DKI hingga sejumlah aksi penggusuran di sepanjang kanal banjir sedang disiapkan.
Bulan November, orang nomor satu DKI tersebut diperiksa Polda Metro Jaya dalam kasus dana banjir sebesar 4,2 miliar yang melibatkan lembaga ICE on Indonesia. “Dosa” yang menumpuk di pundak Sutiyoso pada kasus banjir musim penghujan tahun lalu belumlah hilang. Kini, potensi potensi tersebut bertambah dengan terpilihnya ia sebagai Gubernur DKI periode 2002-2007.
Birokrasi yang buruk selama masa pemerintahannya akan mempunyai implikasi terhadap penurunan dan kerusakan lingkungan seperti yang diungkap dalam sebuah studi Asia Development Bank. Penurunan terhadap kualitas lingkungan juga berarti penurunan kualitas hidup. Penampilan birokrasi yang ditampilkan Sutiyoso tampak seperti gambaran tragedi banjir tahun lalu.
Tampaknya tidak ada perubahan yang berarti dari kebijaksanaan yang dijalankan oleh Sutiyoso dan jajarannya dalam mengantisipasi problem banjir yang mengancam ibu kota. Di mana salah satu akar masalah banjir di Jakarta adalah penataan ulang terhadap perencanaan kota yang tidak memihak pada kepentingan publik.
Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu banjir. Pertama, faktor iklim. Curah hujan yang terjadi pada Januari-Februari tergolong tertinggi dibanding bulan-bulan lainnya, mencapai 2000 sampai 4000 mm/tahun. Kedua, faktor topografi. Hampir 40 persen wilayah Jakarta berada pada keadaan topografi yang relatif rendah dan sebagian besar wilayah tersebut berada pada 13 daerah aliran sungai (DAS) yang bermuara di Teluk Jakarta. Ketiga, faktor konversi lahan di hulu dan di hilir. Keempat, faktor penyempitan alur sungai akibat sedimentasi serta munculnya pemukiman di sekitar bantaran sungai.
Penelitian yang dilakukan tahun 1996 menunjukkan banjir di Jakarta disebabkan dua faktor, yaitu faktor alamiah dan faktor aktivitas manusia. Faktor alamiah — iklim dan topografi– cukup sulit untuk bisa diubah.
Sedangkan faktor akibat manusia, yaitu faktor perencanaan wilayah (yang berakibat konversi lahan) dan faktor penyempitan alur sungai, merupakan faktor yang dapat dikendalikan oleh manusia.
Karena itu, faktor akibat aktivitas manusia seharusnya menjadi konsentrasi penyelesaian secara fundamental. Solusi membuat kanal timur, tanggul dan menambah pompa-pompa yang disebar di beberapa titik memang membantu secara temporer, tetapi untuk jangka panjang tidak akan dapat membendung air yang berasal dari hulu sungai maupun air dari hilir sungai.
Solusi teknis seperti di atas kurang dapat diandalkan untuk jangka panjang serta tidak menyentuh akar persoalan.
Selama ini, pemukiman kumuh pada bantaran kali adalah sasaran utama yang menjadi target pembersihan pihak Pemda dan dijadikan “tertuduh” jika banjir melanda Jakarta. Kawasan kumuh atau ”slump area” terjadi akibat tingginya tingkat urbanisasi dan tidak seimbangnya pertambahan jumlah perumahan yang disediakan di kota dengan pertumbuhan penduduk.
Kawasan ini selalu dianggap sebagai ancaman serius bagi sistem dan mekanisme kehidupan perkotaan, karena umumnya sengaja menggunakan lahan-lahan yang seharusnya bukan untuk hunian.
Berdasarkan hasil studi pengamatan suatu lingkungan pemukiman yang kumuh memiliki ciri, sebagai berikut:
  • Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/ha, biasanya berada dekat dengan pusat ekonomi kota.
  • Fasilitas drainase/sanitasi tidak memada.dan kualitas udara yang kurang baik
  • Jumlah ruang dalam rumah terbatas dibandingkan dengan jumlah penghuni.
  • Tata bangunan tidak teratur
  • Pemilikan hak terhadap lahan umumnya ilegal.
Revitalisasi
Konsep hunian rumah susun, adalah salah satu pilihan solusi untuk menampung jumlah penghuni yang banyak dengan fasilitas bersama yang memadai di tengah keterbatasan lahan yang menimpa kota besar.
Selain itu pula konsep ini, bisa mengatur kembali pemandangan etalase (façade) suatu kota yang cenderung terlihat semrawut.
Tidak perlu merelokasi penduduk di kawasan kumuh kota ini, melainkan me”revitalisasi” atau memperbaiki hunian mereka dengan cara membentuk ”blok-blok” bersama dengan model horisontal atau vertikal, dilengkapi dengan sarana air bersih dari perusahaan air setempat, listrik yang layak dan aman, juga ruang-ruang terbuka dengan fasilitasnya yang memadai dan sesuai standar yang ditentukan.
Konsep lain dalam rangka revitalisasi adalah mengatur fungsi-fungsi lahan dengan baik sehingga memperkuat daya dukung lingkungannya seperti konsep yang dikerjakan oleh Romo Mangunwidjaya di Kali Code, Yogyakarta.
Konsep ini menafikan keterbatasan lahan dan biaya yang dimiliki oleh masyarakat pinggiran.
Manusiawi dan asri itu tidak mesti identik dengan material yang mahal sehingga harga hunian itu menjadi mahal.
Ada arsitek yang dapat merekayasa bentuk-bentuk hunian dengan material yang murah dengan kaidah-kaidah merancang yang telah dipelajarinya yang tentunya layak untuk dihuni.
Namun sebenarnya, tudingan ke arah permukiman kumuh di bantaran sungai sebagai biang keladi dari banjir adalah tudingan yang kurang tepat.
Memang dalam konteks penyempitan daerah bantaran kali akibat sampah dan lain sebagainya, tuduhan dapat dibenarkan. Akan tetapi konsistensi perencanaan kota adalah problem utama dari pemukiman kumuh.
Tidak ada blue print yang komprehensif dan proses monitoring yang ketat dalam perencanaan kota di Indonesia. Mulai dari RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) sampai dengan RTDR (Rencana Tata detail Ruang) terdapat bias yang sangat besar dan tidak pernah konsisten. Sehingga arah perencanaan kota dikendalikan oleh segelintir elit politik dan para pemilik modal.
Akan terdapat beberapa kecenderungan yang terjadi bila situasi ini tetap dibiarkan. Pertama, pemukiman kumuh tetap akan tumbuh di mana-mana selama terjadi inkonsistensi dalam proses perencanaan kota.
Dengan demikian proses perencanaan dan pengawasan wilayah atau kota seharusnya melibatkan satu dewan kota yang melibatkan seluruh unsur dalam masyarakat, agar perencanaan dan pengawasan kota memihak pada kepentingan publik bukan para pemilik modal.
Kedua, selama belum ada master plan atau perencanaan yang konsisten dan komprehensif maka banjir yang terjadi akan lebih parah daripada tahun 2001, seiring dengan rusaknya daerah Bogor, Puncak dan Cianjur serta hilangnya daerah resapan (in situ) di banyak tempat wilayah di Jakarta.
Kedua Penulis adalah Analis di EEFOR (Environmental Empowering Forum)
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0212/11/ipt02.html

CATATAN PENTING HASIL LOKAKARYA BANJIR DAN LONGSOR

Di JAKARTA, 8 JANUARI 2008

Banjir dan longsor merupakan bencana yang predictable disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor alam dan kegiatan manusia yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya daya alam yang menyebabkan menurunnya fungsi hdrologis ekosistem DAS. Dalam kejadian banjir, hujan bukan satu-satunya penyebab banjir tetapi juga tergantung pada daya dukung lingkungan. Sedangkan tanah longsor sangat terkait dengan kerentanan gerakan tanah (faktor geologi) dan curah hujan.
Pemerintah telah berupaya melakukan perbaikan kondisi DAS melalui berbagai program dan kegiatan baik menyangkut kegiatan fisik di lapangan (rehabilitasi hutan dan lahan, bangunan struktural) maupun non fisik seperti penguatan kapasitas kelembagaan diberbagai tingkat dan pemberdayaan masyarakat, akan tetapi hasilnya masih belum memadai.
Penanggulangan bencana banjir dan longsor meliputi pencegahan, kesiapsiagaan, mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Penanggulangan banjir dan longsor tersebut tidak bisa dilakukan oleh hanya satu sektor atau satu departemen teknis saja, melainkan harus bersifat multisektor dan multi pihak serta melibatkan beberapa wilayah administrasi pemerintahan. Dengan demikian diperlukan koordinasi, integrasi, sinergi dan sinkronisasi (KISS) para pihak tersebut dalam tingkat perumusan kebijakan, perencanaan program, implementasi kegiatan dan penganggaran/ pembiayaannya, termasuk mengoptimalkan peran TKPSDA, Forum DAS, MKTI dan Masyarakat Hidrologi Indonesia.
Biaya rekunstruksi dan rehabilitasi pasca bencana relatif jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya untuk pencegahan dan dan mitigasi. Karena itu perlu penekanan pada upaya-upaya pencegahan dan kesiapsiagaan dengan cara mengurangi risiko bencana berupa : integrasi penanggulangan bencana dlm.pembangunan nasional, risk assessment dan system peringatan dini, membiasakan budaya keselamatan dan ketahanan/resilence, mengurangi faktor penyebab dasar bencana dan kesiapsiagaan menghadapi bencana.
Strategi pencegahan dan penanggulangan banjir dan longsor antara lain :
Review RTRW berdasarkan kemampuan lahan, mempertimbangkan faktor geologi dan hidrologi DAS.
Pencegahan penyimpangan tata ruang
Penegakan hukum yang lebih tegas terhadap para pelangar peraturan.
Klasifikasi sumberdaya lahan berdasarkan kemammpuannya
Penggunaan lahan berdasarkan kemampuan lahan
Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu (Grand Design/ Management Plan) dan Rencana Tindak.
Menerapkan teknologi konservasi tanah dan air secara memadai baik secara vegetative maupun structural.
Mempercepat pembuatan Undang-undang Konservasi Tanah, serta peraturan perundangan lainnya seperti 9. Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan DAS Terpadu dan peraturan tentang System Standar Operasi Prosedur Pengendalian Banjir dan Tanah Longsor
Departemen terkait perlu memprogramkan pencegahan degradasi lahan dan rehabilitasi lahan rusak/kritis sebagai prioritas (mainstreaming)
Memasukkan materi pencegahan degradasi lahan/penerapan teknologi konservasi tanah dan air, serta pengelolaan DAS dalam kurikulum pendidikan dan latihan.
Dalam perencanaan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan DAS harus menggunakan data spatial/peta yang baik (memenuhi standar). Untuk itu diperlukan pembagian tugas dalam perpetaan baik antara pusat dan daerah maupun antar sektor/instansi di pusat serta pengembangan jaringan data spatial diantara instasi terkait, sehingga terjadi komunikasi antar para pihak berkepentingan yang selanjutnya diharapkan akan meningkatkan efisiensi.
Kejadian banjir di wilayah Indonesia pada Desember 2007 belum disebabkan oleh kondisi atmosfir yang ekstrim. Untuk perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya banjir yang lebih besar sampai bulan Januari Februari 2008.
Data peringatan dini tentang bencana alam sangat penting bagi banyak pihak, karena itu data tsb harus dapat diakses dengan mudah baik untuk perencanaan, (RPJMP) maupun dalam rangka kesiapsiagaan daerah dan masyarakat dalam mengantisipasi bencana yang mungkin terjadi. Salah satu instrument dalam mengantisipasi bencana alam banjir dan longsor adalah “Pemberdayaan masyarakat dalam mitigasi banjir dan tanah longsor” yang dikembangkan oleh Badan Litbang Kehutanan.
Dalam KISS penanggulangan bencana banjir, longsor dan pengelolaan DAS perlu ditentukan siapa instansi yang memimpin (leader institution). Kemudian dalam implementasi kegiatan pemanfaatan lahan perlu ditetapkan hak dan kewajiban para pihak berkepentingan termasuk pemilik lahan.
Sangat diperlukan komitmen Pemerintah, Pemerintah Daerah dan para pihak lain yang berkepentingan (BUMN/BUMD/BUMS dan masyarakat) dalam pembiayaan kegiatan-kegiatan pengelolaan DAS secara berkelanjutan.
Demikian catatan penting lokakarya ini sebagai salah satu bahan pertimbangan atau masukan dalam menanggulangi banjir dan longsor oleh para pihak berkepentingan.
Tim Notulis /Perumus :
Dr. Saeful Rachman, MSc.
Dr. Syaiful Anwar, MSc.
Prof Totok Gunawan
Ir. Yuli Utami, MS
Ir. Nurul Iftitah, MSi

Tidak ada komentar:

EASYHITS4U

Link akun paypal Untuk transaksi bisnis anda yang lebih mudah

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

PINGLER.COM