Sabtu, 05 November 2011

PANDUAN PENANAMAN SATU MILYAR POHON TAHUN 2011

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : P.61/Menhut-II/2011
TENTANG
PANDUAN PENANAMAN SATU MILYAR POHON
TAHUN 2011
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa berdasarkan amanat Presiden Republik Indonesia pada acara Peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Nasional (HMPI-BMN) tanggal 8 Desember 2009 di Padalarang Kabupaten Bandung, telah diinstruksikan Penanaman Satu Milyar Pohon;
b. bahwa berdasarkan huruf a, kegiatan penanaman telah mendapat tanggapan luas secara nasional yang ditunjukkan dengan kesediaan menanam dari berbagai komponen bangsa dan perlu terus dilaksanakan secara berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Panduan Penanaman Satu Milyar Pohon Tahun 2011;
Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
  2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
  3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Repubik Indonesia Nomor 5059);
  4.  Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4947);
  5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2008 tentang Hari Menanam Pohon Indonesia;
  6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
  7. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.21/Menhut-II/2010 tentang Panduan Penanaman Satu Milyar Pohon (One Billion Indonesian Trees);
  8. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010 tentang Organiasasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 405);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PANDUAN
PENANAMAN SATU MILYAR POHON TAHUN 2011.

Pasal 1
Panduan Penanaman Satu Milyar Pohon Tahun 2011 adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 2
Panduan Penanaman Satu Milyar Pohon Tahun 2011 ini dimaksudkan untuk dipergunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan Penanaman Satu Milyar Pohon Tahun 2011.

Pasal 3
Tujuan ditetapkannya peraturan ini adalah untuk terwujudnya keberhasilan Penanaman Satu Milyar Pohon Tahun 2011 di seluruh Indonesia.
Pasal 4
Kegiatan Penanaman Satu Milyar Pohon Tahun 2011 yang telah dilaksanakan sejak bulan Februari 2011 sampai dengan ditetapkannya Peraturan ini, tetap sah dan berlaku dan selanjutnya menyesuaikan dengan Peraturan ini.
Pasal 5
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.21/Menhut-II/2010 tentang Panduan Penanaman Satu Milyar Pohon (One Billion Indonesian Trees) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 6
Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri Kehutanan ini diundangkan dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal :22 Agustus 2011
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ZULKIFLI HASAN

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal : 24 Agustus 2011
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 529
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
ttd.
KRISNA RYA, SH, MH.
NIP. 19590730 199003 1 001


LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : P.61/Menhut-II/2011
TANGGAL : 22 Agustus 2011

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Presiden Republik Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan upaya sendiri atau sampai 41%, dengan dukungan internasional pada tahun 2020 dalam rangka mitigasi perubahan iklim global.
Salah satu upaya yang diperlukan adalah penanaman dan pemeliharaan pohon yang dilakukan secara masal oleh setiap komponen bangsa.
Pada peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Nasional tahun 2010 di Jatiluhur Provinsi Jawa Barat, Presiden RI telah mengamanatkan untuk melakukan “Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon Tahun 2011” yang diselenggarakan secara nasional dengan melibatkan seluruh komponen bangsa dalam rangka rehabilitasi hutan dan lahan kritis serta antisipasi dampak perubahan iklim
global.
Penanaman Satu Milyar Pohon Tahun 2011 merupakan gerakan nyata penanaman pohon secara masal, yang bertujuan untuk: (1). menambah tutupan lahan untuk mencegah terjadinya bencana banjir dan longsor, kekeringan dan kebakaran; (2).konservasi keanekaragaman hayati (bio-diversity); (3). Penyerapan karbon dioksida (CO2) di atmosfir untuk antisipasi dampak perubahan iklim (4). Ikut berpartisipasi terhadap kebutuhan pangan, energi dan ketersediaan air untuk kesejahteraan masyarakat.
Penanaman Satu Milyar tahun 2011 ditargetkan tertanam minimal 1 (satu) milyar bibit pohon terhitung mulai Tanggal 1(satu) Februari 2011 dan berakhir sampai dengan 31 (tiga puluh satu) Januari 2012.
Sasaran lokasi Penanaman pohon di dalam kawasan hutan pada hutan konservasi, lindung dan produksi yang rusak/tidak produktif dan di luar kawasan hutan pada lahan kritis, tidak produktif, lahan kosong.
Agar pelaksanaannya tertib, lancar dan menuju sasaran, maka perlu diterbitkan Panduan Gerakan Satu Milyar Pohon Tahun 2011.

B. Maksud dan Tujuan
Maksud dilaksanakannya Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon adalah :

1. Sebagai sarana edukasi, peningkatan kepedulian, kemampuan dan kemandirian seluruh komponen bangsa akan pentingnya menanam dan memelihara pohon.
2. Mengajak seluruh komponen bangsa untuk melakukan penanaman dan pemeliharaan pohon secara berkelanjutan untuk mitigasi perubahan iklim dan merehabilitasi hutan dan lahan.Tujuan Penanaman Satu Milyar Pohon adalah untuk menambah tutupan lahan dan hutan guna mencegah longsor dan banjir di musim hujan, menyerap karbon dioksida akibat dari mitigasi perubahan iklim dan penyediaan bahan baku
industri pengolahan kayu, pangan dan energi terbarukan.
C. Dasar Pelaksanaan
1. Keputusan Presiden RI Nomor 24 Tahun 2008 tentang Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Nasional;
2.Amanat Presiden RI pada acara Peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Nasional (HMPI-BMN) tanggal 28 November 2010 di Jatiluhur Propinsi Jawa Barat;
3. Komitmen Indonesia pada KTT Perubahan Iklim Tahun 2009 di Kopenhagen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 26% - 41% pada tahun 2020.
D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kegiatan ini adalah tahapan pelaksanaan Penanaman Satu
Milyar Pohon yang meliputi :
1. Perencanaan
2. Pelaksanaan
3. Pengendalian
4. Pelaporan

II. PERENCANAAN
A. Penanaman Satu Milyar Pohon
Berdasarkan pada pengalaman keberhasilan Gerakan penanaman sebelumnya, pada tahun 2009, Penanaman One Man One Tree realisasi penanaman mencapai 251,6 juta pohon melebihi jumlah minimal pohon yang ditargetkan sebanyak 231,8 juta pohon setara dengan jumlah penduduk Indonesia.
Berdasarkan hasil pemantauan dan laporan pada pelaksana gerakan penanaman satu milyar pohon Tahun 2010, realisasi penanaman pohon sampai dengan 31 Januari 2011 telah tertanam lebih dari 1,7 milyar (170%) di 33 provinsi dari target 1 milyar pohon dengan berbagai jenis tanaman kayu-kayuan, perkebunan (kecuali kelapa dan kelapa sawit).
Gerakan Penanaman Satu Miliyar Pohon Tahun 2011 pada dasarnya merupakan kelanjutan dari gerakan penanaman satu milyar pohon Tahun 2010 dengan target menanam minimal satu miliyar pohon oleh seluruh penduduk Indonesia yang dilaksanakan secara terus menerus sepanjang tahun terhitung mulai tanggal 1 Februari 2011 dan berakhir sampai dengan 31 Januari 2012.
B. Strategi Pencapaian
Untuk mencapai target penanaman satu milyar pohon tahun 2011 diterapkan
strategi sebagai berikut:
1. Sinergi program/kegiatan penanaman pohon secara lintas sektor dengan melibatkan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
2. Mobilisasi sumber daya ( program/kegiatan, sumber pendanaan, organisasi pemerintah, organisasi sosial/ ekonomi/keagamaan/ politik dan organisasi nonpemerintah lainnya) dalam mensukseskan Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon.
3. Apresiasi kepada Para-Pihak terbaik dalam mensukseskan Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon.
Langkah-langkah pencapaian yang ditempuh untuk mensukseskan Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon, adalah:
1. Pembentukan Kelompok Kerja Tingkat Pusat oleh Menteri Kehutanan, Tingkat Provinsi oleh Gubernur dan Kabupaten/kota oleh Bupati/Walikota.
2. Sosialisasi program/kegiatan Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon di Tingkat Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota.
3. Mobilisasi segenap sumber daya yang ada, yaitu:
a. Identifikasi program/kegiatan Kehutanan/Perkebunan dan Non Kehutanan.
b. Identifikasi potensi sumber bibit dari pemerintah, swasta dan masyarakat.
c. Identifikasi lokasi penanaman pohon baik di dalam dan diluar kawasan hutan.
4. Kampanye Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon di Tingkat Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota.
5. Pembentukan Posko Penyediaan Bibit Penanaman Satu Milyar Pohon di tingkat provinsi/kabupaten/kota.
6. Menyelenggarakan Upacara Peringatan Hari Menanaman Pohon Indonesia (HMPI) dan Bulan Menanam Nasional (BMN) Tahun 2011.
7. Lomba Penanaman Satu Milyar Pohon untuk Gubernur, Bupati/Walikota, BUMN/BUMS/BUMD dan mahasiswa/pelajar terbaik Tingkat Nasional Tahun 2011.
8. Pengendalian (monitoring, evaluasi dan pengawasan) pelaksanaan Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon.
III. PELAKSANAAN
A. Kelompok Kerja
Pembentukan Kelompok Kerja Penanaman Satu Milyar Pohon dimaksudkan, untuk :
a. Kelompok Kerja merupakan Media/Forum Koordinasi antar Kementerian/Lembaga/Instansi untuk mensukseskan Penanaman Satu Miliyar Pohon Tahun 2011
b. Pembentukan Kelompok Kerja dibentuk di Tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
c. Keanggotaan Kelompok Kerja meliputi unsur pemerintah dan swasta yang bersifat lintas sektor, yaitu:
 unsur pemerintah: kehutanan, hortikultura, perkebunan, kelautan dan perikanan, PU, lingkungan hidup, TNI/Polri, Diknas, perguruan tinggi negeri, BUMN/BUMD.
 unsur non pemerintah: BUMS, lembaga kemasyarakatan, perguruan tinggi swasta, pramuka, organisasi kepemudaan, masyarakat lainnya.
d. Tugas Pokok Kelompok Kerja adalah merencanakan, mengorganisir, memobilitasi sumber daya, memonitor dan mengevaluasi serta melaporkan pelaksanaan Penanaman Satu Miliyar Pohon Tahun 2011.
B. Sosialisasi Program
Sosialisasi program/kegiatan Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon Tahun 2011 diselenggarakan di tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota.
a. Kelompok Kerja Pusat menyelenggarakan sosialisasi program/kegiatan Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon Tahun 2011 secara lintas sektor di tingkat provinsi.
b. Kelompok Kerja Provinsi menyelenggarakan sosialisasi program/kegiatan Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon Tahun 2011 secara lintas sektor di tingkat kabupaten/kota.
c. Kelompok Kerja Kabupaten/Kota menyelenggarakan sosialisasi program/kegiatan Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon Tahun 2011 secara lintas sektor di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa.

C. Mobilisasi Sumber Daya
Kelompok Kerja mobilisasi sumber daya dengan melakukan identifikasi program/kegiatan penanaman, potensi ketersediaan bibit, sasaran lokasi penanaman dan potensi pendukung lain guna mensukseskan gerakan penanaman satu milyar pohon.
1. Identifikasi program/kegiatan penanaman pohon dari sektor kehutanan dan non kehutanan. Strategi pencapaian target Penanaman Satu Milyar Pohon ditempuh melalui program/kegiatan yang dibiayai oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah maupun Gerakan Massal oleh masyarakat.
1) Program/Kegiatan Sektor Kehutanan
a. Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) sumber dana APBN (pada kawasan hutan konservasi/lindung, mangrove)
b. RHL sumber dana APBD Provinsi/Kab/Kota
c. RHL sumber dana perimbangan keuangan (DAK Kehutanan dan DBHDR)
d. Kebun Bibit Rakyat (KBR)
e. Reklamasi Hutan Bekas Tambang
f. Hutan Rakyat
g. Hutan Kota
h. Penghijauan Lingkungan (APBN)
i. Penanaman Hutan Tanaman Industri (HTI)oleh BUMS dan BUMN (INHUTANI
j. Penanaman Hutan Tanaman Rakyat (HTR) oleh kelompok masyarakat
k. Reboisasi oleh Perum Perhutani
l. Lain-lain
2) Program/Kegiatan Sektor Lain dan Gerakan Moral Oleh Masyarakat Program/Kegiatan Sektor Lain dan Gerakan Moral Oleh Masyarakat, antara lain :
a. Pengembangan pohon trembesi BANPRES di daerah
b. Penanaman perkebunan (Kementerian Pertanian)
c. Penanaman Hortikultura (Kementerian Pertanian)
d. Penanaman Pohon di Jalan Tol, Waduk dan dll. (Kementerian PU)
e. Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara (GPTP) oleh 7 organisasi wanita (SIKIB, PKK, DWP, QPPB, DP, Kowani dan Bhayangkari)
f. Penanaman oleh TNI/Polri
g. Penanaman oleh CSR BUMN/BUMS/BUMD
h. Penanaman lain-lain oleh Kementerian/Lembaga

2. Identifikasi potensi sumber bibit.
Memastikan terpenuhinya kebutuhan bibit untuk penanaman satu milyar pohon dipenuhi dari penyediaan bibit program/kegiatan pemerintah, swasta dan gerakan moral penanaman pohon oleh masyarakat.
3. Identifikasi lokasi penanaman.
Sasaran lokasi Penanaman Satu Milyar Pohon adalah lahan kritis yang rusak/tidak produktif di dalam dan diluar kawasan hutan.
NO  SASARAN                                 LOKASI                                      PROGRAM/ KEGIATAN
I     Dalam Kawasan Hutan ( Hutan Konservasi, Hutan 
a. Rehabiliatasi Hutan Konservasi dan Hutan Lindung
b. Reklamasi Hutan Bekas Tambang
c. Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa
d. Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
 e. Hutan Tanaman Industri (HTI)
b. Reklamasi Hutan Bekas Tambang
c. Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa
d. Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
e. Hutan Tanaman Industri (HTI)
f. Rehabilitasi Hutan Mangrove/Hutan Pantai Rawa dan Gambut.
II Luar Kawasan Hutan a. Hutan Rakyat
b. Hutan Kota
c. Penghijauan Lingkungan
d. Perkebunan
e. Holtikultura
D. Kampanye
Dalam rangka penyebarluasan informasi diperlukan kegiatan kampanye untuk menggaungkan Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon.
a. Kegiatan pendukung yang bersifat kampanye tersebut dilakukan, antara lain:
  • Kampanye penanaman pohon dengan organisasi masyarakat, organisasi pemuda, organisasi keagamaan dan organisasi sosial.
  • Iklan Layan Masyarakat meliputi: pembuatan PIN, stiker, iklan TV, branding gedung/big banner dll.
  • Sponsorship dengan memobilisasi massa dengan memanfaatkan icon celebrity pro lingkungan.
b. Kampanye bersifat ajakan kepada masyarakat untuk menanam pohon, edukatif masyarakat akan arti penting menanam pohon dan manfaat pohon dan komunikatif yang mudah dipahami masyarakat.
c. Media yang digunakan dengan media elektronika (televisi, radio, provider), media cetak (koran, majalah) baik skala nasional, regional dan lokal.

E. HMPI dan BMN
Dalam rangkaian kegiatan Gerakan Penanaman Satu Miliyar Pohon akan dilakukan upacara puncak penanaman satu milyar pohon.
a. Upacara puncak penanaman akan diselenggarakan pada tanggal 28 Nopember 2011 sekaligus untuk memperingati Tanggal 28 Nopember sebagai “Hari Menanam Pohon Indonesia (HPMI) dan Bulan Menanam Nasional (BMN)”.
b. HMPI dan BMN akan diselenggarakan di tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
c. Pedoman Penyelenggaraan HMPI dan BMN dan Penetapan kelompok kerja serta panitia peringatan hari menanam pohon Indonesia tahun 2011 tingkat pusat akan diatur tersendiri dengan Peraturan Menteri Kehutanan.
F. Posko Penyaluran Bibit
a. Posko Penyaluran Bibit dimaksudkan untuk memudahkan pelayanan dalam penyediaan dan penyaluran bibit tanaman yang terjangkau masyarakat dalam rangka mensukseskan penanaman satu milyar pohon.
b. Posko Penyaluran Bibit akan didirikan diseluruh kantor Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota diseluruh Propinsi Indonesia.
c. Tugas pokok Posko Penyaluran Bibit adalah

  • Mendata ketersediaan dan penggunaan bibit tanaman dari berbagai sumber (kehutanan, non-kehutanan dan swadaya masyarakat)
  • - Menyalurkan bibit permintaan masyarakat skala kecil yang bersifat insidentil.
  • - Melaporkan ketersediaan, penyaluran dan penggunaan bibit .
G. Lomba Penanaman Satu Milyar Pohon
Untuk memberikan apresiasi dan dorongan kepada para pihak, akan diselenggarakan lomba Penanaman Satu Milyar Pohon Tingkat Nasional Tahun 2011.
a. Dalam lomba ini akan dilakukan penilaian terhadap para Gubernur, Bupati/Walikota dan BUMN/BUMS/BUMD, mahasiswa/pelajar terbaik guna mensukseskan Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon Tingkat Nasional tahun 2011.
b. Kriteria penilaian adalah jumlah bibit yang ditanam, kelompok kerja, posko penyaluran bibit.
c. Waktu pelaksanaan penilaian akan dilakukan pada tahun 2012 setelah kegiatan Penanaman Satu Milyar Pohon Tahun 2011 berakhir sampai dengan 31 Januari 2012.
d. Para Gubernur, Bupati/Walikota, BUMN/BUMS/BUMD, mahasiswa/pelajar terbaik akan diberikan penghargaan oleh Menteri Kehutanan yang akan diserahkan oleh Presiden RI.
e. Pengaturan pelaksanaan lomba dimaksud akan diatur tersendiri dengan Peraturan Menteri Kehutanan.

IV. TATA WAKTU PELAKSANAAN

Tata waktu pelaksanaan Penanaman Satu Milyar Pohon yang dimulai sejak bulan Februari 2011 sampai dengan bulan Januari 2012 adalah sebagai berikut :
1 Pembentukan Kelompok Kerja Tk Pusat
2 Pembentukan Kelompok Kerja Tk Prov.
3 Pembentukan Kelompok Kerja Tk Kab/Kota
4 Sosialisasi Tk Pusat
5 Sosialisasi Tk. Provinsi
6 Sosialisasi Tk. Kab/Kota
7 Mobilisasi Sumber Daya
8 Kampanye
9 Posko Penyaluran Bibit
10 Publikasi
11 Penanaman
12 Puncak Aksi (HMI-BMN)
13 Monitoring dan Evaluasi
14 Pelaporan
15 Lomba Penanaman Satu Miyar Pohon

Pembentukan Kelompok Kerja dilakukan baik di Tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota
  1. Pembentukan Kelompok Kerja di Provinsi/Kabupaten/ Kota oleh Gubernur/Bupati/Walikota.
  2. Sosialisasi dilaksanakan baik di Tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota
  3. Publikasi dan kampanye sebagai salah satu bentuk sosialisasi kepada masyarakat luas dilaksanakan sejak awal kegiatan.
  4. Posko penyediaan bibit didirikan sejak awal kegiatan di kantor Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota.
  5. Penanaman Satu Milyar Pohon dilaksanakan sejak bulan Februari 2011 sampai dengan bulan Januari 2012
  6. Puncak Penanaman Satu Milyar Pohon dilaksanakan pada tanggal 28 Nopember 2011 sekaligus memperingati ”Hari Menanam Pohon Indonesia(HMPI)”
  7. Monitoring dan Evaluasi terhadap Penanaman Satu Milyar Pohon dilaksanakan sejak awal kegiatan sampai berakhirnya kegiatan (Februari 2011 s/d Januari 2012)
  8. Pelaporan terhadap pelaksanaan Penanaman Satu Milyar Pohon Tahun 2011 dilaksanakan setelah ada realisasi penanaman sejak Februari 2011.
  9. Lomba Penanaman Satu Pohon tahun 2011 dilaksanakan setelah kegiatan berakhir (setelah 31 Januari 2012).

V. MONITORING EVALUASI DAN PELAPORAN
A. Monitoring dan Evaluasi
Kegiatan monitoring merupakan aktivitas untuk mengetahui gambaran mengenai tahapan proses pelaksanaan, masalah yang dihadapi dan hasil-hasil keragaan (performance) kegiatan secara menyeluruh sebagai input untuk menyempurnakan kegiatan hasil lebih lanjut.
Kegiatan evaluasi merupakan aktivitas untuk mengetahui prosentase rencana dengan realisasi target sebagai dasar langkah-langkah yang harus dilakukan dalam rangka pencapaian target yang telah ditetapkan.
Pemantauan dan evaluasi dilaksanakan oleh :
1. Tingkat Pusat dilaksanakan oleh Menteri Kehutanan.
2. Tingkat Propinsi dilaksanakan oleh Gubernur.
3. Tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Bupati/ Walikota.
Kriteria keberhasilan Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon Tahun 2011 adalah terfasilitasi kepada para-pihak dalam rangka penanaman pohon sebanyak satu milyar pohon.
Ukuran keberhasilan Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon Tahun 2011 adalah:
a. Keberadaan dan efektifitas kinerja kelompok kerja di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota.
b. Keberadaan dan efektifitas kinerja posko penyaluran bibit di tingkat kabupaten/kota.
c. Realisasi Jumlah bibit yang ditanam di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota.

B. Pelaporan
Pelaporan gerakan penanaman satu milyar pohon merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan monitoring dan evaluasi. Sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan gerakan penanaman satu milyar pohon harus diketahui oleh para-pihak dan dilaporkoan kepada Presiden melalui UKP4.
Mekanisme Pelaporan dilakukan secara berjenjang dari unsur/elemen masyarakat (posko-bibit), pemerintah kabupaten/kota (pokja kabupaten/Kota), pemerintah propinsi (pokja-provinsi), kementerian/sektor lain (pokja-pusat), selanjutnya secara nasional dilaporkan ke Presiden melalui UKP4.
Mekanisme pelaporan pelaksanaan penanaman satu milyar pohon mengikuti diagram sebagai berikut :

PRESIDEN RI
MENTERI
KEHUTANAN
GUBERNUR
POKJA PUSAT
POKJA PROVINSI


tembusan kepada Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang Kehutanan Provinsi dan Balai Pengelolaan DAS setempat.
3. Berdasarkan laporan dimaksud butir 1, Bupati/Walikota menyampaikan laporan kepada Gubernur.
4. Gubernur menyampaikan laporan kepada Presiden melalui Menteri Kehutanan.
5. Menteri Kehutanan melaporkan pelaksanaan penanaman kepada Presiden Republik Indonesia.
6. Balai Pengelolaan DAS di daerah melaporkan kepada Direktur Jenderal BPDASPS.
Laporan Penanaman Satu Milyar Pohon meliputi lokasi dilengkapi dengan posisi geografis (koordinat), luas, jenis tanaman dan jumlah tanaman di seluruh wilayah administratif pemerintah kabupaten/kota. Laporan realisasi penanaman Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon Tahun 2011 Kabupaten/Kota dan Laporan Rekapitulasi penanaman Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon Tahun 2011, sebagaimana pada:
lampiran 1.1 dan Lampiran 1.2

VI. PENUTUP
Kepada seluruh lapisan masyarakat diseluruh Indonesia diharapkan ikut
berpartisipasi dan berkontribusi dalam mensukseskan Gerakan Penanaman Satu Milyar
Pohon Tahun 2011.
Dengan suksesnya Gerakan Penanaman Satu Milyar Pohon Tahun 2011 yang
diselenggarakan sepanjang tahun dan memberikan manfaat yang sebesar besarnya
untuk memperbaiki kondisi lingkungan hidup dan meningkatkan kesejahteraan rakyat
Indonesia umumnya.
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ZULKIFLI HASAN
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
ttd.
KRISNA RYA, SH, MH.
NIP. 19590730 199003 1 001

SOAL BUDAYA MENANAM POHON INDONESIA PERLU BELAJAR PADA KOREA

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan Indonesia perlu belajar dari Korea Selatan dalam hal budaya menanam dan memelihara pohon. “Di Korea Selatan telah tumbuh budaya menanam dan memelihara pohon. Saat ini di Korea Selatan tidak ada lagi tanah kosong atau gundul,” ujar Zulkifli dalam sambutannya saat meninjau Pusat Sumber Benih dan Persemaian Rumpin, Bogor, Kamis (3/11).

Ia mengatakan budaya menanam belum menyeluruh terjadi di Indonesia. Namun, ada beberapa daerah yang memiliki budaya menanam yang tak kalah dari Korsel, seperti di Gunungkidul, Yogyakarta. “Gunungkidul yang tadinya gersang sekarang hijau menghutan,” ujarnya.

Ia mengatakan pihaknya berupaya terus melakukan gerakan menanam dan memelihara pohon melalui berbagai aksi, seperti Aksi Penanaman Pohon Serentak Indonesia, Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon, Kecil Menanam Dewasa Memanen, Pencanangan Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Nasional, One Man One Tree, serta One Billion Indonesia Trees (Gerakan Penanaman 1 Milyar Pohon Setiap Tahun)

Pemerintah pun telah menetapkan tanggal 28 November sebagai Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI), dan bulan Desember sebagai Bulan Menanam Nasional. Untuk acara HMPI tahun ini, katanya, akan dilakukan di Indonesian Peace and Security Center Citeureup Sentul dengan melibatkan 4.000 anggota TNI-Polri, 4.000 masyarakat dari ormas, pramuka, murid-murid, dan anggota Korpri.

Ia mengatakan gerakan menanam dan memelihara pohon harus didukung oleh sumber bibit yang baik dan berkualitas. Karena itu, pada 2011, Kemenhut telah menetapkan pembangunan Kebun Bibit Rakyat sebanyak 10 ribu unit di 424 kabupaten/kota. Ini setara dengan 500 juta batang pohon. Selain itu juga pembangunan 23 unit persemaian bibit permanen di 22 provinsi dengan target produksi 35 juta batang/tahun.

Ia mengatakan pemerintah telah menjalin kerja sama dengan pemerintah Korsel untuk menghasilkan teknologi dan produksi yang mampu menyediakan sumber benih yang unggul, sesuai dengan lokasi penanaman, dan jumlah yang memadai. “Saya ingin sumber benih-benih unggul tersebut tersedia di setiap kabupaten/kota agar mudah diperoleh masyarakat. Untuk itu perlu ada pusat-pusat benih atau seed centre di setiap kabupaten/kota,” paparnya.

Untuk rentang 2010-2014, Kementerian Kehutanan akan merehabilitasi hutan dan DAS prioritas seluas 500 ribu hektar/tahun. Selain itu  membangun hutan tanaman industri dan hutan tanaman rakyat seluas 500 ribu hektar/tahun, hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa seluas 500 ribu hektar/tahun, dan Hutan Rakyat Kemitraan seluas 50 ribu hektar/tahun.

Jumat, 04 November 2011

Banjir Cermin Kegagalan Birokrasi

Banjir Cermin Kegagalan Birokrasi

Banjir di Jakarta, menurut ahli tata kota Marco Kusumawijaya, merupakan gabungan kondisi alam dan kesalahan pengelolaan manusia. Sebelum ada manusia yang menyesaki Jakarta, daerah ini sudah langganan banjir. Topografi Jakarta rendah dan dikepung oleh sungai-sungai yang mengalir dari kawasan selatan yang lebih tinggi.
Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DKI Jakarta menyebutkan, sekitar 40 persen luas Jakarta merupakan dataran yang lebih rendah dari elevasi pasang laut. Daerah itu rawan genangan air karena berada pada flood plain atau dataran banjir luapan air Kali Angke, Pesanggrahan, Kali Sekretaris, Kali Grogol, Kali Krukut, Ciliwung, Kali Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, dan Kali Cakung.
“Kita memang kebetulan tinggal di daerah yang rawan banjir. Sekarang, bagaimana kita mengatasi banjir ini dan selalu mempertimbangkan kondisi topografi rentan banjir ini dalam setiap pembangunan,” kata Marco.
Akan tetapi, jangankan mengatasi banjir, pertumbuhan Kota Jakarta justru mendorong terjadinya banjir yang makin parah. “Kita cenderung hanya membangun dengan paradigma pertumbuhan. Namun, nilai tambah yang dihasilkan tidak digunakan untuk reinvestasi guna mengatasi dampaknya maupun meningkatkan daya dukung lingkungan,” kata Marco.
Selama ini, menurut Marco, tidak ada yang menyambungkan antara pembangunan ekonomi dan reinvestasi untuk perbaikan lingkungan. Seharusnya ada anggaran yang ditabung untuk tujuan tertentu.
“Di Belanda dan Belgia, itu ada pajak perbaikan lingkungan. Tak peduli warga negara apa pun. Kalau Anda tinggal di negara itu harus membayar karena Anda dinilai membebani lingkungan. Pajak itu hanya boleh digunakan untuk kepentingan perbaikan lingkungan,” katanya.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Pitoyo Subandrio mengatakan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya menjelang musim hujan akhir tahun ini. Selain perkuatan kali, juga telah dilakukan revitalisasi situ, rehabilitasi waduk, penghijauan lahan kritis, dan pembuatan dam parit di wilayah hulu.
Namun, apakah ini akan mengatasi banjir Jakarta? Pitoyo mengatakan, itu tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas, tanpa diikuti kesadaran masyarakat dan tanpa penegakan hukum serta cetak biru yang telah disusun.
Cetak biru perencanaan pengendalian banjir yang terpadu di Jabodetabek sebenarnya sudah ada sejak tahun 1997, tetapi hingga kini belum terealisasi. Bahkan, rencana pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) sejak tahun 1973 pun belum juga terealisasi.
Rancangan Instruksi Presiden (Inpres) RI tentang Penanganan Masalah Banjir di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur juga ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam rancangan inpres itu, untuk upaya struktural penanganan banjir disediakan anggaran Rp 9,5 triliun.
Kegagalan birokrasi
Restu Gunawan, peneliti banjir dari Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala menyebutkan, proyek-proyek pengendalian banjir Jakarta selalu gagal dari zaman ke zaman. Sejak tahun 1913, Belanda mengalokasikan dana 2 juta gulden untuk mengatasi banjir. Van Breen menjadi insinyur yang mendesain upaya itu. Salah satu produknya adalah pembuatan banjir kanal.
Namun, Banjir Kanal Barat yang dibuat Van Breen tahun 1920-an belum tuntas pembangunannya hingga Belanda pergi. Sedangkan Kanal Lingkar Kota dan sistem polder di sejumlah area genangan banjir sama sekali belum terbangun.
Pascabanjir tahun 1965, Presiden Soekarno membentuk Komando Proyek (Kopro) Banjir Jakarta, yang tugasnya memperbaiki kanal dan membangun enam waduk di sekitar Jakarta. Rencana Induk Jakarta 1965-1985 menyatakan banjir sebagai salah satu masalah utama Ibu Kota. Namun, waduk itu sebagian sudah hilang dan ada yang belum terbangun hingga kini.
Banjir pun terus melanda Jakarta. Tahun 1973 direncanakan proyek Kanal Barat dituntaskan. “Anggaran sudah ada, bantuan dari Belanda. Namun, proyek ini ternyata batal dikerjakan,” kata Restu. Tahun 1984 pemerintah merencanakan pembangunan waduk Depok. Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan desain detailnya sudah selesai, tetapi juga tak jadi dibangun.
Tahun 2002 banjir besar kembali melanda Jakarta. Namun, menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Slamet Daroyni, sampai hari ini Pemprov DKI belum mengeluarkan hasil evaluasi penanganan banjir Februari 2002. Ini menyulitkan semua pihak untuk melakukan upaya-upaya jangka pendek, menengah, dan panjang dalam mengambil tindakan.
Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah itu tidak berkelanjutan dan sangat reaksioner, baik dalam melakukan penanganan darurat maupun upaya perbaikan infrastruktur. “Jadi jauh dari harapan kita. Dan kalau memang benar prakiraan BMG bahwa curah hujan itu sama dengan Februari lalu, saya pikir akhir 2007 Jakarta akan banjir kembali,” kata Slamet.
Kegagalan proyek-proyek banjir yang dibuat pemerintah sejak dulu hingga sekarang, menurut Marco, disebabkan perencanaannya terlalu besar dibandingkan dengan kemampuan birokrasi yang ada. Ke depan, kemampuan birokrasi ini seharusnya menjadi parameter perencanaan proyek.
“Jika memang birokrasi tak mampu, jangan merencanakan yang muluk-muluk. Buatlah rencana yang mungkin dilakukan, tetapi konsisten,” kata Marco. Akhirnya, banjir benar-benar menjadi ujian bagi birokrasi kita. (Aik/Rie/irn)
Sumber: Kompas, 10 November 2007

Buruknya koordinasi, Kisah Tanda Tangan untuk Pengendalian Banjir

Ini adalah kisah tentang tanda tangan. Kisah ini menjadi begitu penting karena tanda tangan itu milik orang penting dan menyangkut banjir yang sering menimbulkan situasi genting di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.
Mendung yang menutupi cakrawala Jakarta dan hujan yang kini makin sering turun adalah pertanda musim banjir akan tiba. Banjir membuat kita menoleh ke belakang, menyaksikan kembali apa yang terjadi pada awal 2002 dan apa yang terulang pada awal 2007.
Banjir pada awal Februari 2002 melanda 168 kelurahan di 42 kecamatan dalam wilayah Jakarta dan memaksa 97.380 keluarga (365.435 jiwa) mengungsi. Banjir menelan korban 32 orang meninggal dunia. Air mengalir tak hanya di kawasan perumahan biasa, tetapi juga hingga ke kawasan elite di Menteng, Jakarta Pusat.
Hingga tahun 2002, itulah banjir yang dinilai terparah dan terluas yang pernah melanda Ibu Kota (Kompas, 3 Februari 2002). Karena itulah, pada bulan Juni 2002 delapan instansi pemerintah membuat kesepakatan bersama: Program Penanganan Banjir.
Dalam kesepakatan itu, penanganan banjir dibagi menjadi Program Mendesak (jangka pendek) dengan biaya Rp 731,95 miliar, Program Jangka Menengah berbiaya Rp 4,334 triliun, dan Program Jangka Panjang dengan dana Rp 11,58 triliun.
Ada delapan petinggi—Menteri Kimpraswil Soenarno, Menteri Dalam Negeri Hari Subarno, Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim, Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas Kwik Kian Gie, Menteri Keuangan Boediono, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Gubernur Jawa Barat R Nuriana, dan Gubernur Banten H Djoko Munandar—yang seharusnya membubuhkan tanda tangan dalam kesepakatan itu. Namun, tanda tangan itu tak pernah terkumpul lengkap.
Waktu dua tahun tak cukup untuk mendapatkan delapan tanda tangan pejabat tinggi ini. Seperti pernah dinyatakan Sutiyoso, ketidaklengkapan itu terjadi karena terdesak oleh Pemilihan Umum 2004.
Banjir yang merusak kenyamanan, mengancam keselamatan warga, dan keamanan fasilitas publik biasanya diiringi banjir kritik, terutama lewat media massa. Tudingan, antara lain, diarahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI yang dianggap tidak serius membersihkan sungai dari sampah dan tidak kunjung memperbaiki drainase.
Kritik lainnya tertuju kepada pemerintah pusat yang dinilai tidak memiliki komitmen dan ketegasan dalam penataan ruang di kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur), daerah hulu 13 sungai yang melintasi kota Jakarta.
Wilayah yang seharusnya berfungsi sebagai reservoir—daerah resapan air—itu mengalami perubahan fungsi lahan yang berlangsung secara cepat. Hampir semua peraturan perundang-undangan buat melindungi kawasan resapan itu tidak membuahkan hasil. Itu yang dialami Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 48 Tahun 1983, Keppres No 79/1985, UU No 24/1992, dan juga Peraturan Pemerintah No 47/1997.
Karena itulah, untuk maksud yang sama, dikeluarkan pula Keppres No 114/1999. Akan tetapi, hingga 2001 di kawasan Bopunjur telah terjadi penyimpangan pemanfaatan lahan sebesar 79,5 persen dari ketentuan yang ditetapkan Keppres No 114/1999 tersebut. Penegakan hukum yang menjadi tanggung jawab pemerintah tidak terasa dalam urusan ini.
Maka, pada awal tahun 2007, Jakarta dan daerah sekitarnya kembali dilanda banjir besar. Hujan sejak 29 Januari hingga 2 Februari mengakibatkan sekitar 60 persen wilayah Ibu Kota terendam. Ketinggian air bervariasi mulai dari 30 sentimeter-3 meter. Jakarta lumpuh.
Kerugian ekonomi
Sama dengan banjir 2002, banjir 2007 juga mematikan aktivitas ekonomi. Penghitungan yang dibuat Bappenas menyebutkan, banjir itu menimbulkan kerugian senilai Rp 5,16 triliun di wilayah Jabodetabek. Ia merenggut 79 korban jiwa, 48 dari DKI Jakarta, 13 korban dari Kabupaten dan Kota Tangerang, serta 18 orang lagi di Depok, Bekasi, dan Bogor.
Setelah banjir surut, Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat mengadakan rapat kerja bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perhubungan, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Pekerjaan Umum, Kepala Bappenas, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten. Hasilnya adalah kesepakatan pengalokasian dana untuk antisipasi banjir di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Menurut kesepakatan itu, dana antisipasi banjir ini akan disalurkan melalui APBN Perubahan 2007 dan program tahun jamak pada APBN 2008 dan 2009. Agar rencana itu terealisasi, dibuatlah Rancangan Instruksi Presiden (Inpres) RI tentang Penanganan Masalah Banjir di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur (Jabodetabekjur).
Rancangan Inpres ini menyatakan, penanganan masalah banjir akan dilakukan dengan upaya struktural dan non-struktural. Upaya struktural, antara lain, dengan percepatan pembangunan BKT, penanganan sungai (normalisasi, pengerjaan pintu air, pengerukan muara) di wilayah Jabodetabek, rehabilitasi situ, perbaikan drainase, pengerukan waduk, dan pembuatan polder baru.
Untuk upaya struktural ini, dana yang dianggarkan Rp 9,5 triliun. Upaya non-struktural dilakukan dengan penataan ruang. Dana yang dialokasikan Rp 105,60 miliar.
Inpres yang direncanakan ditandatangani oleh RI 1, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada bulan Maret 2007 itu hingga kini masih tetap berupa rancangan. Jika Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat “berteriak-teriak” karena dana dari pusat untuk merealisasikan program pengendalian banjir itu tak kunjung turun (Kompas, 26/10), penyebabnya adalah Inpres yang menggantung itu.
Di Jakarta, Wakil Gubernur DKI Prijanto seperti orang yang hendak mengibarkan “bendera putih” ketika berbicara tentang kendala dana ini. Sulit mengatasi genangan dan banjir yang terjadi di Jakarta karena terbatasnya anggaran, katanya (Kompas, 3/11). Dana buat mengatasi banjir dalam APBD DKI 2007 hanya Rp 272 miliar. Kebutuhannya hampir empat kali lipat jumlah itu, yakni Rp 1,2 triliun.
Memenuhi kebutuhan itu, rupanya bagi pemerintah tidaklah mudah walau nilainya cuma 2,5 persen dari biaya Pemilu 2009, yang dianggarkan Komisi Pemilihan Umum.
Kendati Dinas Pekerjaan Umum DKI sedang memperbaiki drainase lingkungan dan kolektor di 230 lokasi di Ibu Kota, belum ada jaminan genangan sehabis hujan tak akan terjadi. Kali Grogol di Slipi memang sedang dikeruk. Sebagian Sungai Krukut dan Pesanggrahan juga sudah. Kegiatan itu akan disusul oleh Kali Sekretaris dan Kali Angke. Bangunan liar milik warga ditertibkan. Pembangunan Banjir Kanal Timur yang tersendat-sendat memang terus berjalan. Akan tetapi, di balik upaya Jakarta “menghindar” dari banjir, yang terbaca adalah tingkat keseriusan “menghindar” dari implementasi kebijakan penanganan banjir Jakarta.
Setelah penegakan hukum demi kelestarian kawasan Bopunjur tak membuahkan hasil, sesudah tanda tangan delapan pejabat tinggi tak terkumpulkan sampai bergantinya pemeritahan tahun 2004, Inpres penanganan banjir yang kini sudah berumur sekitar tujuh bulan masih tetap berupa rancangan.
Tidak lama lagi, mungkin, seiring dengan mengalirnya air butek bercampur sampah ke dalam rumah penduduk dan terjadinya pengungsian warga, saling lempar kesalahan atas tidak berjalannya rencana penanganan banjir di Jakarta bisa terjadi lagi. Kepepet menghadapi pemilu 2009 mungkin saja kelak akan menjadi alasan yang membuat Inpres penanganan banjir itu tak kunjung ditandatangani.
(BE Julianery/ Litbang Kompas)

Banjir (Lagi)

Oleh: Fitri Indra W
AWAL Februari 2007, Jakarta kembali digempur banjir. Rasanya belum lepas dari ingatan kita ketika hal sama terjadi di tahun 2002 lalu.
Kala itu puncak dari kepanikan adalah pada Jumat sore, 1 Februari 2002 hingga Sabtu 2 Februari 2002 dini hari,di mana ribuan karyawan terjebak banjir di jalan-jalan di seputar Jakarta, hingga tidak dapat pulang ke rumahnya. Kali ini pun terjadi pada tanggal dan hari yang hampir bersamaan.
Barangkali penduduk Jakarta perlu menjadikan tanggal 1 Februari sebagai Hari Waspada Banjir, atau 29 Januari sampai 4 Februari sebagai Pekan Waspada Banjir. Pada banjir besar yang terjadi Januari– Februari 2002 yang lalu, warga Jakarta dan sekitarnya panik, dan pasrah (tapi tidak rela tentunya) menghadapinya.
Walaupun sudah memiliki pengalaman tersebut, namun pada 2007 ini tetap saja rasa panik dan pasrah tetap ada. Penyebabnya? Katanya,topografi dataran Jakarta hampir 40% berada di bawah permukaan laut. Selain itu, 13 sungai mengalir melintasi wilayah DKI Jakarta. Jadi jangan heran jika Jakarta harus senantiasa waspada terhadap banjir. Penduduk Jakarta diminta oleh ”yang berwenang”untuk ”akrab”dengan banjir.
Ini dikatakan di tahun 2002 yang lalu, namun ucapan senada dalam susunan kata dan kalimat yang berbeda keluar lagi di tahun 2007 ini. Kala itu tidak kurang dari 20 LSM menuntut Gubernur Sutiyoso untuk mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban atas penderitaan banyak orang akibat banjir. Untuk 2007 ini,tanpa dituntut untuk mundur pun memang sudah waktunya mundur.
Atau ke-20 LSM tersebut akan menuntut ”kambing hitam” yang lain, karena yang ini sudah waktunya mundur sehingga tidak ada gunanya dituntut. Apakah akan tetap 20 LSM, atau akan bertambah lagi untuk ”mengeroyok” topik menarik ini. Waktu itu (2002), sejumlah ”pakar” ramai-ramai bersuara.
Para ahli menyimpulkan bahwa penyebab banjir adalah gabungan dari faktor-faktor berikut :
  1. curah hujan yang tinggi;
  2. perubahan tata guna tanah di daerah hulu yang menyebabkan bertambahnya surface run-off serta terjadinya erosi;
  3. penyimpangan- penyimpangan dalam pemberian IMB dan SIPPT, sehingga menyebabkan hilangnya tempat parkir air dan bertambah besarnya surface runoff di Jakarta, termasuk di sini kegiatan reklamasi dan/atau pengurukan di daerah rawa-rawa di utara Jakarta;
  4. penyempitan dan pendangkalan sungaisungai yang mengalir melalui Jakarta akibat digunakannya bantaran sungai sebagai permukiman liar;
  5. kebiasaan sebagian masyarakat membuang sampah ke sungai,dan erosi pada daerah hulu;
  6. belum bisa dibangunnya sarana pengendalian banjir sesuai master plan pengendalian banjir 1997 akibat terbatasnya dana,
  7. naiknya permukaan air laut atau turunnya permukaan tanah. Apakah kali ini (2007) akan ada kegiatan ramai-ramai lagi memberikan pendapat dan usulan solusi? Kita lihat,tunggu dan saja, siapa yang mendapat keuntungan dari kepakarannya akibat bencana banjir ini.
Waktu itu (2002), ada tiga tahapan program : jangka pendek/mendesak, jangka menengah (2003–2004), dan jangka panjang (2005–2012). Program jangka pendek/mendesak yang akan dilaksanakan dalam satu tahun (2002) meliputi kegiatan-kegiatan pemulihan fungsi prasarana pengendalian banjir yang rusak akibat banjir awal 2002.
Program jangka menengah (2003–2004) meliputi normalisasi Ciliwung hilir (Condet–Manggarai), Banjir Kanal Barat, sungai-sungai besar dan kecil,Cengkareng Drain, serta sistem peringatan dini. Program jangka panjang (2005– 2012) akan mengacu pada Master Plan 1997 yang disesuaikan dengan perkembangan di lapangan.
Posisi saat ini (2007), tentunya berada dalam periode jangka panjang (2005–2012).Tetapi, bagaimana pelaksanaan yang jangka pendek/ mendesak dan jangka menengah. Kokrasanya tidak ada kemajuan dari kejadian bencana di tahun 2002 tersebut. Waktu itu (2002), ada pula masukan dari para ahli untuk mengurangi surface run-offadalah dengan membangun tangkapan air/kolam resapan di hulu, membangun sumur resapan individual untuk masing-masing rumah di hilir,dan untuk daerah hulu agar membangun rumah dengan sistem panggung.
Waktu itu (2002) diharapkan agar usulan dari para ahli ini tentunya dapat diakomodasikan oleh para pembuat kebijakan ke dalam kebijakan nasional pengendalian banjir. Entah bagaimana pelaksanaannya, kok banjir tetap ada. Mengenai sumur resapan, waktu itu (2002) dikatakan : (1) di DKI Jakarta sebenarnya telah menjadi keharusan bagi pemilik bangunan tinggi dengan mengaitkannya dengan pemberian IMB, dan (2) masalahnya kurang efektifnya pengawasan menyebabkan pembangunan sumur resapan ini hanya bersifat proforma untuk mendapatkan IMB.
Apakah hal ini sudah dibenahi di tahun 2007 ini? Katanya, untuk mengatasi permasalahan banjir di Jakarta, antara lain diperlukannya rencana tata ruang Jabodetabek Punjur. Lho, kalau sudah tahu ada kebutuhan tersebut, mengapa RT/RW Jabodetabek Punjur tidak juga dihasilkan. Katanya, masih dalam proses. Sampai kapan ? Masyarakat keburu kelelep. Waktu itu (2002), disebutkan bahwa konsep penataan ruang Bopunjur berdasarkan Rencana Tata Ruang Bopunjur, Keppres No. 114/1999, adalah mengarahkan sebagian besar kawasan tersebut sebagai daerah resapan (83,88%), sedangkan kawasan perkotaan hanya 16,12%.
Ditjen Penataan Ruang Dep. Kimpraswil menyatakan bahwa berdasarkan Citra Landsat tahun 2001, luas kawasan perkotaan menjadi 35000 Ha atau 29%.Jadi telah terjadi pertambahan luas kawasan perkotaan dari 1999 sampai tahun 2001 sebesar 6% (dari 23% menjadi 29%). Ini berarti juga telah ada penyimpangan dari arahan Keppres 114/1999 sebesar kurang lebih 80%. Jadi waktu itu saja sebenarnya sudah tahu salah satu penyebab banjir.Masalahnya, untuk mengembalikan kawasan perkotaan dari 29% menjadi 16,12 %,kelihatannya merupakan hal muskil.Siapa yang harus melaksanakan?
Departemen PU, Pemerintah Kabupaten Cianjur, Pemerintah Kabupaten/Kota Bogor, Pemerintah Kota Depok, BKSP Jabodetabek, Bappenas? Siapa donk? Biayanya berapa dan dari mana? Kalau tidak melaksanakan, sanksinya apa? Siapa yang bisa memberikan sanksi tersebut? Kepada siapa sanksi diberikan? Ah,ruwet juga urusan mengatasi banjir ini, sehingga walaupun di tahun 2002 sudah terjadi, di tahun 2007 terjadi lagi. Barangkali kita perlu melantik ”kambing hitam”baru : banjir 5 tahunan.Jadi tahun 2012 mendatang waspada. Lalu kalau tahun 2008 mendatang terjadi lagi, tinggal tunjuk kambing hitam baru : banjir tahunan.
Tinggal ubah waktunya saja, mau tahunan, 5 tahunan, 20 tahunan, atau 50 tahunan, silakan pilih, yang penting kambing hitam selalu rela. Lalu sebagaimana biasa kita tinggal berkata : kita ambil hikmahnya. Memang kita bangsa yang rajin memetik hikmah, dari kekalahan tim sepak bola, kegagalan tim bulu tangkis, dan sekarang banjir. Bulan depan paling-paling masyarakat sudah lupa dan kehidupan akan berjalan normal kembali. Saat ini, mari berakrab-akrab dengan banjir. (*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/banjir-lagi-3.html
FITRI INDRA W, Pengamat Masalah Perkotaan dan Wilayah
Sumber: Koran Sindo, Tanggal: 05 Feb 07

JAKARTA JADI KOLAM RAKSASA (LAGI)

Oleh: Tri Dirgantara Pamenan
Seharian kemarin, hujan deras tak lagi mengguyur Jakarta. Sang Mentari, meski masih malu-malu, sempat pula menampakkan dirinya beberapa kali.Seharian kemarin, hujan deras tak lagi mengguyur Jakarta. Sang Mentari, meski masih malu-malu, sempat pula menampakkan dirinya beberapa kali.
Tapi itu bukan berarti derita warga yang menjadi korban banjir berakhir. Banyak di antaranya bahkan justru semakin parah kondisinya akibat luapan Sungai Ciliwung yang tak kuat lagi membendung arus dari pintu air Katulampa, Bogor.
Di beberapa tempat, air memang sudah mulai surut, tapi tak sedikit pula yang masih terendam sampai ke atap rumah. Sampai tadi malam pun proses evakuasi masih terus dilakukan. Jakarta tiba-tiba dipenuhi ratusan ribu pengungsi. Sebagian tinggal di masjid-masjid, sebagian lagi di sekolah-sekolah, bahkan di kuburan. Sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya.
Kalau pada Jumat lalu banjir menyisakan mimpi buruk bagi warga Ibu Kota yang terjebak macet semalaman, bukan berarti kejadian serupa tak akan terulang lagi hari ini atau pekan ini. Data dari posko banjir DKI, sampai tadi malam seluruh pintu air masih berada pada posisi siaga I.
Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika, hari ini hujan ringan sampai lebat masih akan mengguyur sebagian wilayah Jakarta, Depok, dan Bogor. Tadi malam pun, ketika laporan ini selesai dibuat, hujan mulai kembali mengguyur sebagian wilayah.
Banyak warga yang tak kaget dengan banjir lima tahunan ini karena rumahnya sudah menjadi langganan banjir. Gubernur DKI Sutiyoso pun tak tampak kaget dengan musibah ini. “Ini memang siklus lima tahunan. Ada 13 sungai yang masuk ke Jakarta. Kalau hulunya tidak dibenahi, tentu sulit bagi saya untuk bergerak. Solusinya ya megapolitan,” ujar dia.
Tapi, sebagian lagi menganggap peristiwa ini sebagai yang terburuk di Jakarta karena pada peristiwa-peristiwa sebelumnya rumah mereka tak terkena banjir. Lebih buruk atau tidak, Jakarta kini memang sudah menjadi kolam atau waduk raksasa. Banjir kali ini juga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa sedikitnya 20 orang tewas dan satu orang hilang.
Menurut Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol. I Ketut Untung Yoga Ana, korban meninggal umumnya disebabkan sakit, kedinginan, kesetrum aliran listrik atau terseret derasnya arus banjir. “Angka korban masih bisa berubah karena petugas masih melakukan pendataan,” ujarnya.
Data korban tersebut dikumpulkan Polda sejak banjir melanda Jakarta pada Kamis (1 Februari) hingga Minggu (4 Februari). Para korban ini tersebar di wilayah Polda Metro Jaya, yakni Jakarta, Bekasi dan Bogor.
Lemah koordinasi
Polda Metro Jaya pun menambah jumlah personel dari 7.000 orang pada hari sebelumnya menjadi 12.660 personel yang meliputi semua unsur, termasuk Polres dan Polsek. Para personel ini dilengkapi dengan perahu karet 58 unit, rakit 231 buah, pelampung 420 buah, truk 63 unit, ambulans 27 unit, tenaga medis 68, helikopter empat unit, tenda 51 dan mobil toilet lima unit.
Polisi selain menjalankan tugas-tugas SAR dan misi kemanusiaan, juga menjaga keamanan rumah warga yang ditinggal mengungsi. Menurut pantauan Polda Metro Jaya, terdapat 122 titik banjir yang dinilai parah di wilayahnya dan tersebar di Jakarta, Tangerang, Depok, dan Bekasi.
Untung Yoga juga mengatakan paling tidak 23 asrama Polri yang terdiri dari 793 KK atau 2.637 jiwa terendam banjir kali ini.
“Karena itu Polda membuka pos laporan, dalam keadaan darurat warga dapat menghubungi kantor polisi terdekat atau kirim SMS ke nomor 1717 untuk semua operator,” ungkapnya.
Menurut pantauan Bisnis, satuan-satuan lain juga sudah menerjunkan bala bantuan masing-masing untuk membantu evakuasi, atau sekadar memasok bantuan makanan. Mulai dari TNI, Unit Pemadam Kebakaran, PMI, termasuk unit siaga dari berbagai perusahaan. Beberapa di antaranya tak lupa memasang bendera partai. Beberapa calon gubernur juga tampak tak mau kalah dan ikut mendirikan tenda bantuan.
Depdiknas juga menurunkan unit bantuannya di daerah korban banjir. Satu tim mendirikan bengkel darurat untuk melayani korban banjir yang sepeda motornya terendam. “Mekaniknya kami ambil dari siswa-siswa lembaga kursus di Cirebon yang diselenggarakan oleh Ditjen Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas,” ujar Berry, koordinator pelaksana tim bantuan Depdiknas. Tim mereka juga dilengkapi mobil sekolah dan bantuan makanan.
Sayangnya, tak sedikit bantuan yang diberikan tanpa koordinasi. Salah seorang petugas Satkorlak Kelurahan Pengadegan, Kecamatan Pancoran, misalnya, mengeluhkan buruknya koordinasi itu. Sebagian tim bantuan yang sampai di lokasi tak mau berkoordinasi, mereka hanya mau membagikan sendiri bungkusan makanan ke warga.
Boleh jadi mereka cuma ingin memastikan bantuannya sampai ke para korban. Tapi, upaya tanpa koordinasi itu tak pelak telah menyebabkan distribusi bantuan jadi tidak merata. Di beberapa tempat lain, pembagian makanan kepada para pengungsi malah menyebabkan kericuhan.
Banjir Kanal
Kisah ini seperti mengulang peristiwa yang sama pada 2002 atau 1996. Maklum, katanya siklus lima tahunan. Akibat banjir musim lalu, tak sedikit pegawai bank yang harus dipersenjatai oleh hair drier dan setrika saat masuk kantor akibat brankasnya yang terendam banjir.
Kisah ini seperti terulang kembali tahun ini. Banjir sekarang juga membuat banyak orang mengumpat akibat mobilnya harus menginap di jalan tol selama delapan jam. Sebagian lainnya juga terpaksa menginap di kantor atau berjalan kaki karena tak ada kendaraan yang beroperasi. Sejarah seperti berulang kembali.
Jauh-jauh hari Pemprov DKI memang sudah mengumumkan kesiapan antisipasi banjir, mulai dari pembersihan sungai sampai memperbanyak pompa air dan perahu karet. Langkah terakhir ini membuat banyak pihak cuma bisa tersenyum kecut. “Artinya, Jakarta memang sudah disiapkan banjir dong.”
Akibat banjir kali ini, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto kemarin mengumumkan rencana mempercepat pelaksanaan proyek Banjir Kanal Timur (BKT). “BKT akan selesai pada 2008 jika pembebasan tanah selesai tahun ini.”
Menurut dia, proyek BKT sepanjang 23 km dari Duren Sawit sampai dengan Marunda, hingga saat ini baru bisa dikerjakan tujuh kilometer karena sulitnya membebaskan tanah warga.
Dengan peristiwa banjir saat ini, Djoko mengimbau masyarakat merelakan tanahnya untuk proyek tersebut guna mengurangi potensi banjir di wilayah Jakarta. Apalagi, kata dia, tanah tersebut dibeli sesuai dengan harga pasar dan tanpa upaya penekanan.
Proyek BKT, lanjutnya, dilakukan untuk mengatasi banjir di wilayah timur Jakarta. Bila BKT diselesaikan, dia memperkirakan banjir tidak akan separah yang terjadi saat ini.
Alternatif solusi lain, Menakertrans Erman Soeparno menawarkan transmigrasi bagi warga Ibu Kota yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung. “Daripada terus berjubel di bantaran sungai, lebih baik bertransmigrasi demi masa depan anak-anak mereka,” ujarnya.
Daerah tujuan transmigrasi yang disiapkan untuk 15.000 korban a.l. di Sumatra Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Hayoo, siapa yang minat?
Sumber: Bisnis Indonesia online, 5 Pebruari 2007

Penanganan Banjir di Jakarta Perlu Koordinasi Jelas

Jakarta, Sinar Harapan
Penanganan banjir di Jakarta perlu koordinasi yang jelas dan kerja sama yang padu dalam melaksanakan tugas di lapangan. Masyarakat tidak mau tahu siapa yang menangani dan siapa yang bertanggung jawab yang penting Ibu Kota ini harus aman dari genangan dan banjir.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Ibnu Soemantri menegaskan hal ini kepada SH, Rabu (28/4). Bagi Ibnu, tidak masalah bila masih ada sebagian pekerjaan ditangani pusat dan sebagian besar menjadi kewajiban Pemda DKI Jakarta. Paling penting dalam menangani banjir adalah koordinasi antara pusat dan Pemda DKI Jakarta.
Dengan kerja sama dan koordinasi yang baik serta pelaksanaan sesuai rencana, tidak ada lagi lempar tanggung jawab bila terjadi hujan dan banjir di DKI Jakarta.
Penanganan sampah di DKI Jakarta juga harus terpadu. Jangan sampah pasar diurus sendiri oleh orang pasar, sampah kali diurus Dinas Pekerjaan Umum, dan sampah rumah tangga yang ditumpuk di lokasi pembuangan sementara menjadi tanggung jawab Dinas Kebersihan DKI Jakarta.
”Harus ada kepastian dan keterpaduan soal penanganan sampah,” kata Ibnu, wakil rakyat dari Fraksi TNI/Polri.
Sebagaimana diketahui, penanganan dan pengendalian banjir di DKI Jakarta belum berada dalam satu tangan. Sebagian masih menjadi kewenangan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) dan sebagian Pemda DKI Jakarta dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum (DPU) DKI Jakarta. Begitu pula dalam penanganan sampah kali di DKI Jakarta. Sebagian masih ditangani pusat dan sebagian lagi oleh DPU DKI Jakarta.
Otoritas dan Kewilayahan
Sementara itu, pengamat kota, Marco Kusumawijaya dan Yayat Suriyatna, ketika dihubungi SH secara terpisah, Rabu (28/4) petang, menyatakan pengendalian banjir yang kerap terjadi di wilayah Jakarta seharusnya di bawah koordinasi satu badan khusus. Badan ini yang akan mengoordinasi pihak-pihak terkait dalam pengendalian banjir di Jakarta.
”Tidak masalah harus Dinas PU DKI atau Depkimpraswil yang mengendalikan, tetapi harus ada satu badan khusus yang mengoordinasikan pihak-pihak yang terkait dalam pengendalian banjir tersebut,” kata Marco.
Yayat melihat masalah pengendalian banjir lebih ke otoritas dan kewilayahan. Kalau misalnya masalah banjir lebih ke urusan Pemda DKI, seharusnya Pemda DKI yang mengendalikan dan menanganinya.
Namun, apabila skalanya lebih makro, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil) yang mengendalikannya karena departemen ini akan mengoordinasikan antara pihak-pihak terkait.
Menurutnya, seharusnya hal yang lebih teknis seperti pengawasan dan pengelolaan pompa air, lebih baik diserahkan ke Pemda DKI karena Pemda DKI lebih mengenal wilayahnya. ”Kalau DKI yang mengelola dan mengawasi pompa air tersebut, akan dianggarkan dalam APBD,” kata Yayat.
Marco menambahkan banjir di Jakarta yang kerap datang setiap tahun di musim penghujan disebabkan dua hal. Yang pertama adalah air yang turun dari daerah Bogor dan ketidakseimbangan air yang mengalir di permukaan tanah dan air yang diserap oleh tanah. Salah satu upaya untuk menyeimbangkan antara air yang mengalir di permukaan dan diserap oleh tanah, lanjut Marco adalah dengan memperluas daerah resapan air baik dengan memperluas ruang terbuka hijau (RTH).
Selain itu juga, kantung-kantung air yang bisa menampung air di Jakarta ditambah karena kantung-kantung (folder) air di Jakarta sangat minim dan kalaupun ada sudah berubah menjadi lahan permukiman atau pusat perbelanjaan, misalnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Wilayah yang dahulunya rawa-rawa dan bisa menampung air di kala jumlah air yang mengalir di permukaan jumlahnya banyak, sekarang banyak berdiri rumah toko (ruko).
Pemda DKI, harus bekerja sama juga dengan Pemerintah Kabupaten Bogor maupun Kota Bogor untuk menangani dan mengendalikan air yang datang dari Bogor. ”Pihak hulu dan hilir harus bekerja sama dalam mengendalikan banjir kiriman tersebut,” jelasnya.
Menurutnya, masalah lingkungan, terutama sungai, bukanlah masalah otoritas dan kewilayahan, tetapi menjadi masalah hulu dan hilir. ”Masalah lingkungan terutama sungai, tidak mengenal batas wilayah. Pihak hulu dan hilir harus bekerja sama untuk menangani masalah sungai tersebut,” kata Marco. (dre/sat/tom)
Sumber: Sinar Harapan, Kamis, 29 April 2004

Antisipasi Banjir di Jakarta Berharap pada Konsistensi Perencanaan Kota

Oleh: IR. VERONICA A. KUMURUR, M.Si  dan IR. INDRIAN TAGOR LUBIS, M.Si
SUTIYOSO tengah mempersiapkan aparatnya dalam menghadapi banjir Jakarta. Mulai dari apel siaga aparat Pemprov DKI hingga sejumlah aksi penggusuran di sepanjang kanal banjir sedang disiapkan.
Bulan November, orang nomor satu DKI tersebut diperiksa Polda Metro Jaya dalam kasus dana banjir sebesar 4,2 miliar yang melibatkan lembaga ICE on Indonesia. “Dosa” yang menumpuk di pundak Sutiyoso pada kasus banjir musim penghujan tahun lalu belumlah hilang. Kini, potensi potensi tersebut bertambah dengan terpilihnya ia sebagai Gubernur DKI periode 2002-2007.
Birokrasi yang buruk selama masa pemerintahannya akan mempunyai implikasi terhadap penurunan dan kerusakan lingkungan seperti yang diungkap dalam sebuah studi Asia Development Bank. Penurunan terhadap kualitas lingkungan juga berarti penurunan kualitas hidup. Penampilan birokrasi yang ditampilkan Sutiyoso tampak seperti gambaran tragedi banjir tahun lalu.
Tampaknya tidak ada perubahan yang berarti dari kebijaksanaan yang dijalankan oleh Sutiyoso dan jajarannya dalam mengantisipasi problem banjir yang mengancam ibu kota. Di mana salah satu akar masalah banjir di Jakarta adalah penataan ulang terhadap perencanaan kota yang tidak memihak pada kepentingan publik.
Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu banjir. Pertama, faktor iklim. Curah hujan yang terjadi pada Januari-Februari tergolong tertinggi dibanding bulan-bulan lainnya, mencapai 2000 sampai 4000 mm/tahun. Kedua, faktor topografi. Hampir 40 persen wilayah Jakarta berada pada keadaan topografi yang relatif rendah dan sebagian besar wilayah tersebut berada pada 13 daerah aliran sungai (DAS) yang bermuara di Teluk Jakarta. Ketiga, faktor konversi lahan di hulu dan di hilir. Keempat, faktor penyempitan alur sungai akibat sedimentasi serta munculnya pemukiman di sekitar bantaran sungai.
Penelitian yang dilakukan tahun 1996 menunjukkan banjir di Jakarta disebabkan dua faktor, yaitu faktor alamiah dan faktor aktivitas manusia. Faktor alamiah — iklim dan topografi– cukup sulit untuk bisa diubah.
Sedangkan faktor akibat manusia, yaitu faktor perencanaan wilayah (yang berakibat konversi lahan) dan faktor penyempitan alur sungai, merupakan faktor yang dapat dikendalikan oleh manusia.
Karena itu, faktor akibat aktivitas manusia seharusnya menjadi konsentrasi penyelesaian secara fundamental. Solusi membuat kanal timur, tanggul dan menambah pompa-pompa yang disebar di beberapa titik memang membantu secara temporer, tetapi untuk jangka panjang tidak akan dapat membendung air yang berasal dari hulu sungai maupun air dari hilir sungai.
Solusi teknis seperti di atas kurang dapat diandalkan untuk jangka panjang serta tidak menyentuh akar persoalan.
Selama ini, pemukiman kumuh pada bantaran kali adalah sasaran utama yang menjadi target pembersihan pihak Pemda dan dijadikan “tertuduh” jika banjir melanda Jakarta. Kawasan kumuh atau ”slump area” terjadi akibat tingginya tingkat urbanisasi dan tidak seimbangnya pertambahan jumlah perumahan yang disediakan di kota dengan pertumbuhan penduduk.
Kawasan ini selalu dianggap sebagai ancaman serius bagi sistem dan mekanisme kehidupan perkotaan, karena umumnya sengaja menggunakan lahan-lahan yang seharusnya bukan untuk hunian.
Berdasarkan hasil studi pengamatan suatu lingkungan pemukiman yang kumuh memiliki ciri, sebagai berikut:
  • Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/ha, biasanya berada dekat dengan pusat ekonomi kota.
  • Fasilitas drainase/sanitasi tidak memada.dan kualitas udara yang kurang baik
  • Jumlah ruang dalam rumah terbatas dibandingkan dengan jumlah penghuni.
  • Tata bangunan tidak teratur
  • Pemilikan hak terhadap lahan umumnya ilegal.
Revitalisasi
Konsep hunian rumah susun, adalah salah satu pilihan solusi untuk menampung jumlah penghuni yang banyak dengan fasilitas bersama yang memadai di tengah keterbatasan lahan yang menimpa kota besar.
Selain itu pula konsep ini, bisa mengatur kembali pemandangan etalase (façade) suatu kota yang cenderung terlihat semrawut.
Tidak perlu merelokasi penduduk di kawasan kumuh kota ini, melainkan me”revitalisasi” atau memperbaiki hunian mereka dengan cara membentuk ”blok-blok” bersama dengan model horisontal atau vertikal, dilengkapi dengan sarana air bersih dari perusahaan air setempat, listrik yang layak dan aman, juga ruang-ruang terbuka dengan fasilitasnya yang memadai dan sesuai standar yang ditentukan.
Konsep lain dalam rangka revitalisasi adalah mengatur fungsi-fungsi lahan dengan baik sehingga memperkuat daya dukung lingkungannya seperti konsep yang dikerjakan oleh Romo Mangunwidjaya di Kali Code, Yogyakarta.
Konsep ini menafikan keterbatasan lahan dan biaya yang dimiliki oleh masyarakat pinggiran.
Manusiawi dan asri itu tidak mesti identik dengan material yang mahal sehingga harga hunian itu menjadi mahal.
Ada arsitek yang dapat merekayasa bentuk-bentuk hunian dengan material yang murah dengan kaidah-kaidah merancang yang telah dipelajarinya yang tentunya layak untuk dihuni.
Namun sebenarnya, tudingan ke arah permukiman kumuh di bantaran sungai sebagai biang keladi dari banjir adalah tudingan yang kurang tepat.
Memang dalam konteks penyempitan daerah bantaran kali akibat sampah dan lain sebagainya, tuduhan dapat dibenarkan. Akan tetapi konsistensi perencanaan kota adalah problem utama dari pemukiman kumuh.
Tidak ada blue print yang komprehensif dan proses monitoring yang ketat dalam perencanaan kota di Indonesia. Mulai dari RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) sampai dengan RTDR (Rencana Tata detail Ruang) terdapat bias yang sangat besar dan tidak pernah konsisten. Sehingga arah perencanaan kota dikendalikan oleh segelintir elit politik dan para pemilik modal.
Akan terdapat beberapa kecenderungan yang terjadi bila situasi ini tetap dibiarkan. Pertama, pemukiman kumuh tetap akan tumbuh di mana-mana selama terjadi inkonsistensi dalam proses perencanaan kota.
Dengan demikian proses perencanaan dan pengawasan wilayah atau kota seharusnya melibatkan satu dewan kota yang melibatkan seluruh unsur dalam masyarakat, agar perencanaan dan pengawasan kota memihak pada kepentingan publik bukan para pemilik modal.
Kedua, selama belum ada master plan atau perencanaan yang konsisten dan komprehensif maka banjir yang terjadi akan lebih parah daripada tahun 2001, seiring dengan rusaknya daerah Bogor, Puncak dan Cianjur serta hilangnya daerah resapan (in situ) di banyak tempat wilayah di Jakarta.
Kedua Penulis adalah Analis di EEFOR (Environmental Empowering Forum)
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0212/11/ipt02.html

CATATAN PENTING HASIL LOKAKARYA BANJIR DAN LONGSOR

Di JAKARTA, 8 JANUARI 2008

Banjir dan longsor merupakan bencana yang predictable disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor alam dan kegiatan manusia yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya daya alam yang menyebabkan menurunnya fungsi hdrologis ekosistem DAS. Dalam kejadian banjir, hujan bukan satu-satunya penyebab banjir tetapi juga tergantung pada daya dukung lingkungan. Sedangkan tanah longsor sangat terkait dengan kerentanan gerakan tanah (faktor geologi) dan curah hujan.
Pemerintah telah berupaya melakukan perbaikan kondisi DAS melalui berbagai program dan kegiatan baik menyangkut kegiatan fisik di lapangan (rehabilitasi hutan dan lahan, bangunan struktural) maupun non fisik seperti penguatan kapasitas kelembagaan diberbagai tingkat dan pemberdayaan masyarakat, akan tetapi hasilnya masih belum memadai.
Penanggulangan bencana banjir dan longsor meliputi pencegahan, kesiapsiagaan, mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Penanggulangan banjir dan longsor tersebut tidak bisa dilakukan oleh hanya satu sektor atau satu departemen teknis saja, melainkan harus bersifat multisektor dan multi pihak serta melibatkan beberapa wilayah administrasi pemerintahan. Dengan demikian diperlukan koordinasi, integrasi, sinergi dan sinkronisasi (KISS) para pihak tersebut dalam tingkat perumusan kebijakan, perencanaan program, implementasi kegiatan dan penganggaran/ pembiayaannya, termasuk mengoptimalkan peran TKPSDA, Forum DAS, MKTI dan Masyarakat Hidrologi Indonesia.
Biaya rekunstruksi dan rehabilitasi pasca bencana relatif jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya untuk pencegahan dan dan mitigasi. Karena itu perlu penekanan pada upaya-upaya pencegahan dan kesiapsiagaan dengan cara mengurangi risiko bencana berupa : integrasi penanggulangan bencana dlm.pembangunan nasional, risk assessment dan system peringatan dini, membiasakan budaya keselamatan dan ketahanan/resilence, mengurangi faktor penyebab dasar bencana dan kesiapsiagaan menghadapi bencana.
Strategi pencegahan dan penanggulangan banjir dan longsor antara lain :
Review RTRW berdasarkan kemampuan lahan, mempertimbangkan faktor geologi dan hidrologi DAS.
Pencegahan penyimpangan tata ruang
Penegakan hukum yang lebih tegas terhadap para pelangar peraturan.
Klasifikasi sumberdaya lahan berdasarkan kemammpuannya
Penggunaan lahan berdasarkan kemampuan lahan
Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu (Grand Design/ Management Plan) dan Rencana Tindak.
Menerapkan teknologi konservasi tanah dan air secara memadai baik secara vegetative maupun structural.
Mempercepat pembuatan Undang-undang Konservasi Tanah, serta peraturan perundangan lainnya seperti 9. Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan DAS Terpadu dan peraturan tentang System Standar Operasi Prosedur Pengendalian Banjir dan Tanah Longsor
Departemen terkait perlu memprogramkan pencegahan degradasi lahan dan rehabilitasi lahan rusak/kritis sebagai prioritas (mainstreaming)
Memasukkan materi pencegahan degradasi lahan/penerapan teknologi konservasi tanah dan air, serta pengelolaan DAS dalam kurikulum pendidikan dan latihan.
Dalam perencanaan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan DAS harus menggunakan data spatial/peta yang baik (memenuhi standar). Untuk itu diperlukan pembagian tugas dalam perpetaan baik antara pusat dan daerah maupun antar sektor/instansi di pusat serta pengembangan jaringan data spatial diantara instasi terkait, sehingga terjadi komunikasi antar para pihak berkepentingan yang selanjutnya diharapkan akan meningkatkan efisiensi.
Kejadian banjir di wilayah Indonesia pada Desember 2007 belum disebabkan oleh kondisi atmosfir yang ekstrim. Untuk perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya banjir yang lebih besar sampai bulan Januari Februari 2008.
Data peringatan dini tentang bencana alam sangat penting bagi banyak pihak, karena itu data tsb harus dapat diakses dengan mudah baik untuk perencanaan, (RPJMP) maupun dalam rangka kesiapsiagaan daerah dan masyarakat dalam mengantisipasi bencana yang mungkin terjadi. Salah satu instrument dalam mengantisipasi bencana alam banjir dan longsor adalah “Pemberdayaan masyarakat dalam mitigasi banjir dan tanah longsor” yang dikembangkan oleh Badan Litbang Kehutanan.
Dalam KISS penanggulangan bencana banjir, longsor dan pengelolaan DAS perlu ditentukan siapa instansi yang memimpin (leader institution). Kemudian dalam implementasi kegiatan pemanfaatan lahan perlu ditetapkan hak dan kewajiban para pihak berkepentingan termasuk pemilik lahan.
Sangat diperlukan komitmen Pemerintah, Pemerintah Daerah dan para pihak lain yang berkepentingan (BUMN/BUMD/BUMS dan masyarakat) dalam pembiayaan kegiatan-kegiatan pengelolaan DAS secara berkelanjutan.
Demikian catatan penting lokakarya ini sebagai salah satu bahan pertimbangan atau masukan dalam menanggulangi banjir dan longsor oleh para pihak berkepentingan.
Tim Notulis /Perumus :
Dr. Saeful Rachman, MSc.
Dr. Syaiful Anwar, MSc.
Prof Totok Gunawan
Ir. Yuli Utami, MS
Ir. Nurul Iftitah, MSi

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI SWS CILIWUNG-CISADANE UNTUK MENGATASI KRISIS AIR JAKARTA

Oleh : Bapeda Propinsi Jawa Barat
Disampaikan pada Acara Seminar Krisis Air Jakarta: Tinjauan Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu Ciliwung Cisadane

A. Pendahuluan
Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan, bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat secara adil dan merata”. Selanjutnya pasal ini dijelaskan lebih lanjut dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, bahwa:
  1. Sumber Daya Air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat serbaguna untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat di segala bidang baik sosial, ekonomi, budaya, politik maupun bidang ketahanan nasional
  2. Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun, dan kebutuhan air yang cenderung meningkat sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat, sumberdaya air harus dikelola, dipelihara, dimanfaatkan, dilindungi dan dijaga kelestariannya dengan memberikan peran kepada masyarakat dalam setiap tahapan pengelolaan sumberdaya air.
  3. Pengelolaan sumberdaya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan antar wilayah, antar sektor, dan antar generasi dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Pernyataan pasal-pasal kedua undang-undang di atas mengingatkan kepada pengelola sumberdaya air tentang pentingnya peran air bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Hal tersebut jelas terlihat dalam permasalahan krisis air Jakarta, di mana permasalahan pengelolaan sumber daya air di Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane sebagai pemasok air baku bagi Jakarta sangat berkorelasi dengan permasalahan ekosistem di wilayah sekitarnya, yaitu Kawasan Jabodetabek-Punjur.
Untuk itu, strategi yang seharusnya dipilih adalah yang berdasarkan pada pendekatan perencanaan yang integratif sinergik. Sehubungan dengan itu, Propinsi Jawa Barat telah mencoba menggunakan pendekatan tersebut dalam Penyusunan RTRW Propinsi Jawa Barat yang telah ditetapkan dalam Perda Propinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat 2010, yang termasuk di dalamnya adalah penataan ruang Kawasan Bodebek dan Bopunjur yang dikaitkan dengan kemampuan daya dukung dan daya tampung Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Kawasan tersebut.
Dalam RTRW Propinsi Jawa Barat 2010, Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane yang mempunyai luas sekitar 4.496 km2 dengan potensi Sumber Daya Air Permukaan sebesar 5,5 Milyar M3 per tahun, terdiri dari 4 Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Ciliwung, DAS Cisadane, DAS Kali Buaran, dan DAS Kali Bekasi, yang berdasarkan hasil kajian pada tahun 2001 mempunyai kondisi sangat kritis, di mana rasio aliran mantap atau perbandingan antara kebutuhan air dan ketersediaan air atau kondisi debit aliran sungai yang diharapkan selalu ada sepanjang tahun dari ke empat DAS tersebut telah jauh melebihi 100%. Hal tersebut tentunya sangat kontras dengan kenyataan bahwa Kawasan Bodebek-Punjur merupakan dua Kawasan yang mempunyai potensi perkembangan yang sangat pesat, baik dari aspek pertumbuhan penduduk (sepertiga penduduk Jabar) maupun dari Laju Pertumbuhan Ekonominya (4,5% tahun 2001) yang selalu di atas rata-rata Jawa Barat.
Berdasarkan analisis citra landsat 1994 dan 2001, telah terjadi pergeseran penggunaan lahan (perubahan tata guna tanah) dari hutan primer sebesar 41,12% di Kawasan Bodebek dan sebesar 6,76% di Kawasan Bopunjur, dari hutan sekunder sebesar 68,94% di Kawasan Bodebek dan sebesar 1,2% di Kawasan Bopunjur, serta dari penggunaan sawah sebesar 11,98% di Kawasan Bodebek dan sebesar 4,42% di Kawasan Bopunjur.
Berdasarkan berbagai perkembangan dan kondisi tersebut, terdapat beberapa permasalahan, baik dalam penataan ruang di Kawasan Bodebek-Punjur tersebut, maupun dalam pengelolaan Sumber Daya Air di DAS-DAS dalam Kawasan tersebut. Permasalahan penataan ruang yang dapat teridentifikasi adalah sebagai berikut:
  1. Masih belum tuntasnya penjabaran Keppres 114/1999 maupun Ra Keppres RTR Jabodetabekpunjur sebagai suatu acuan penataan ruang yang operasional,
  2. Belum sinerginya penanganan atas terjadinya pergeseran penggunaan lahan terutama di Kawasan Lindung hutan, serta belum memadainya acuan penanganan kawasan yang ditetapkan fungsinya sebagai Kawasan Lindung non hutan, misalnya acuan dalam pemanfaatan lahan perkebunan yang telah habis HGU-nya,
  3. Kawasan perkotaan yang terus meningkat dan telah melebihi yang ditetapkan dalam rencana, sehingga berdasar data tahun 2001 telah terjadi penyimpangan sebesar 79,5%).
Permasalahan dalam pengelolaan sumber daya air dapat diidentifikasi sebagai berikut:
  1. Ketersediaan air di Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane secara umum telah sangat kritis,
  2. Belum terkendalinya pemanfaatan ruang baik di sepanjang sempadan sungai maupun pengelolaan di badan sungainya,
  3. Ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan semakin mahal dan langka baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga menimbulkan berbagai konflik antar sektor maupun antar wilayah,
  4. Fluktuasi ketersediaan air permukaan sangat tinggi, sehingga sering terjadi kebanjiran di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Hal tersebut merupakan wujud dari hulu DAS yang fungsi konservasinya telah jauh berkurang,
  5. Belum adanya kesinergian antar wilayah dalam bentuk role sharing antara Propinsi/Kabupaten/Kota di daerah hulu dengan Propinsi/Kabupaten/Kota di daerah hilir dalam rangka penanganan hulu DAS.
Kondisi tersebut memberikan gambaran tentang telah terjadinya kerusakan DAS yang berdampak terhadap permasalahan surplus/defisit neraca air sepanjang tahun.
Sesuai dengan Perda No. 2 Tahun 2003 tentang RTRW Propinsi Jawa Barat 2010, maka kebijakan penataan ruang Jawa Barat untuk Kawasan Bodebek dan Bopunjur adalah menetapkan Kawasan Bodebek dan Bopunjur sebagai 2 dari 8 Kawasan Andalan (Kawan) di Jawa Barat. Kawan Bodebek mempunyai kegiatan utama industri, pariwisata, jasa, dan pengembangan SDM, sedangkan Kawan Bopunjur diarahkan dengan kegiatan utama agribisnis dan pariwisata.
Sedangkan, dalam rangka meraih posisi sebagai mitra sejajar Jakarta, maka Kawasan Bodebek juga ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) agar terjadi keseimbangan perkembangan seiring dengan beban yang ditimbulkan oleh Metropolitan Jakarta terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana perkotaan di PKN Bodebek.
Hal tersebut sesuai dengan ’concern’ Jawa Barat dalam penataan ruang Bodebek-Punjur, yaitu:
  1. Pengendalian pertumbuhan penduduk,
  2. Peningkatan daya dukung dan daya tampung lingkungan baik di hulu maupun di hilir dalam kesatuan Daerah Aliran Sungai (DAS),
  3. Pengendalian pemanfaatan ruang yang cenderung menjadi daerah perkotaan, sehingga cenderung membentuk suatu conurbation di koridor Jakarta-Bandung,
  4. Pengendalian alih fungsi lahan sawah irigasi teknis dan hutan termasuk mangrove,
  5. Peningkatan penyediaan pelayanan transportasi masal, serta pemenuhan pelayanan sarana dan prasarana dasar perumahan dan permukiman.
B. Kebijakan Propinsi Jawa Barat dalam Pengelolaan Sumber Daya Air di SWS Ciliwung Cisadane
Secara umum, sesuai Perda No. 2 Tahun 2003 tentang RTRW Propinsi Jawa Barat 2010, telah ditetapkan kebijakan untuk meningkatkan fungsi dan kualitas kawasan lindung di Jawa Barat, termasuk kawasan lindung di Kawasan Bodebek dan Bopunjur. Kebijakan dijabarkan dalam beberapa program, yaitu (1) Pengukuhan kawasan lindung agar tercapai target luasan kawasan lindung hutan dan non hutan untuk seluruh Jawa Barat sebesar 45%; (2) Rehabilitasi lahan konservasi termasuk rehabilitasi lahan-lahan kritis; (3) Pengawasan, pengamanan, dan pengaturan pemanfaatan sumber daya; serta (4) Pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Kawasan Lindung.
Kemudian, dalam rangka mendukung Visi Pemerintah Propinsi Jawa Barat sesuai Perda No. 1 Tahun 2004 tentang Rencana Strategis Propinsi Jawa Barat, terdapat Misi mengenai pembangunan berkelanjutan, yaitu Misi 4. Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan melalui Keseimbangan Penduduk dan Lingkungan dalam Kesatuan Ruang, yang dijabarkan dalam beberapa program, yaitu (1) Pengendalian pertumbuhan penduduk; (2) Penataan Ruang; (3) Pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan; (4) Peningkatan efektivitas pengelolaan dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup; serta (5) Pemantapan kawasan lindung.
Berdasarkan kebijakan tersebut di atas, upaya pengelolaan sumber daya air di SWS Ciliwung Cisadane untuk mengatasi krisis air Jakarta adalah melalui penataan situ, waduk, dan sungai sebagai sarana dan prasarana konservasi, penyedia air baku, dan pengendali banjir, serta melalui konservasi lahan yang diprioritaskan pada kawasan lindung baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan melalui rehabilitasi lahan kritis, pengendalian pemanfaatan lahan dan pengendalian kualitas air.
Secara khusus, pengembangan dan pengelolaan infrastruktur sumber daya air diarahkan untuk mendapatkan sasaran sebagai berikut:
  1. Meningkatnya kondisi dan fungsi waduk, situ, dan sungai sebagai sarana dan prasarana konservasi, penyedia air baku, dan pengendali banjir,
  2. Meningkatnya produktivitas sumber-sumber daya air melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan air,
  3. Meningkatnya kemitraan dan peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air,
  4. Meningkatnya penerapan insentif dan disinsentif ekonomi dalam kebijakan pengelolaan air buangan/ limbah baik limbah industri maupun domestik.
C. Langkah dan tindak lanjut Propinsi Jawa Barat dalam Pengelolaan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane
Dalam rangka penanganan situ, pada tanggal 12 Mei 2004 telah terwujud penandatanganan kesepakatan bersama antara Pemerintah Pusat bersama-sama dengan Pemerintah Propinsi dan Kabupaten Kota di Wilayah Jabodetabek untuk melaksanakan Kerjasama dalam rangka Perlindungan dan Pelestarian Situ Terpadu Di Wilayah Jabodetabek. Sebagai tindak lanjut kesepakatan tersebut, Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Wilayah Bodebek telah melakukan berbagai upaya, antara lain:
a. Menyusun pembagian peran dalam pengelolaan situ antara Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat yang meliputi beberapa kegiatan, yaitu survai/identifikasi, perencanaan, pembangunan, Operasinal dan Pemeliharaan, rehabilitasi, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan aparat, perijinan, pengamanan serta monitoring dan evaluasi.
b. Menginventarisir data situ di Wilayah Bodebek (Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten/Kota Bekasi, dan Kota Depok)
c.Menginventarisir penanganan situ yang telah pernah dilakukan, yaitu berupa kegiatan survai/identifikasi, perencanaan, pembangunan, rehabilitasi, Operasional dan Pemeliharaan, serta kerjasama baik yang didanai melalui APBN, APBD Propinsi maupun APBD Kabupaten/Kota.
d. Menyusun rencana penanganan situ di Wilayah Bodebek pada tahun 2005-2010, jenis penanganan yang dibutuhkan serta usulan sumber dananya.
Dari kesepakatan pembagian peran dalam pengelolaan situ, Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Wilayah Bodebek telah sepakat bahwa kegiatan survey/identifikasi, pembangunan, operasi dan pemeliharaan, rehabilitasi, pengamanan dan monitoring akan dilakukan bersama-sama oleh Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota, kegiatan perencanaan/desain akan dilakukan Pemerintah Pusat dan Propinsi sedangkan kegiatan perijinan dan pemberdayaan masyarakat akan dilakukan oleh Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Selanjutnya berdasarkan inventarisasi situ di Wilayah Bodebek, telah teridentifikasi 161 situ dengan luas sekitar 1 sampai 30 ha per situ yang tersebar di Kabupaten Bogor (102 situ), Kota Bogor (9 situ), Kabupaten Bekasi (33 situ), Kota Bekasi (3 situ) dan Kota Depok (14 situ). Secara umum kondisi situ-situ tersebut cukup memprihatinkan karena tertutup gulma, mengalami sedimentasi, tidak memiliki bangunan outlet yang memadai serta telah berubah fungsi menjadi peruntukan non situ seperti sawah dan perumahan. Selain itu, telah disepakati rencana penanganan situ di Wilayah Bodebek tahun 2005-2010 oleh Pemerintah Pusat (melalui PIPWS Ciliwung Cisadane), Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Selain situ, rencana pembangunan waduk juga telah teridentifikasi, di mana pada Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane terdapat 10 buah rencana waduk yang terletak di Kabupaten Bogor dan Bekasi sebagaimana tabel di bawah ini :
Selanjutnya sesuai RTRWP Jawa Barat 2010, Program Pengembangan Kawasan Lindung dilaksanakan melalui pengukuhan kawasan lindung, rehabilitasi dan konservasi lahan di kawasan guna mengembalikan dan meningkatkan fungsi lindung, pengendalian kawasan lindung, pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung serta pengembangan pola insentif dan disinsentif pengelolaan kawasan lindung. Pengembangan kawasan lindung di wilayah Bodebek dilaksanakan di beberapa lokasi, di antaranya :
􀂃 Kawasan Gunung Salak
􀂃 Kawasan Gunung Gede Pangrango
􀂃 Kawasan Gunung Halimun
􀂃 Lahan kritis daerah hulu DAS Ciliwung
􀂃 Lahan kritis daerah hulu DAS Cisadane
D. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan pembahasan mengenai pengelolaan sumber daya air di WS Ciliwung Cisadane tersebut maupun yang berkaitan dengan penataan ruang di Kawasan Bodebek dan Bopunjur, maka dapat disimpulkan dan disarankan beberapa hal sebagai berikut:
  1. Perlunya kesinergian dalam kebijakan penataan ruang antara Pemerintah Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota di Kawasan tersebut dengan suatu acuan bersama (perlu segera melegalisasikan Ra Keppres RTR Jabodetabek) dan menindaklanjutinya dengan penjabarannya secara operasional sehingga dapat dilaksanakan bersama-sama sesuai dengan pembagian peran yang ditetapkan,
  2. Dalam mengatasi permasalahan sumber daya air di Propinsi Jawa Barat khususnya di Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane seperti krisis ketersediaan air baku, banjir dan kekeringan, upaya-upaya menuju perbaikan lingkungan harus diprioritaskan seperti perbaikan dan peningkatan kondisi situ dan waduk, konservasi lahan yang berfungsi lindung serta pengendalian pemanfaatan lahan baik yang berfungsi lindung maupun budidaya,
  3. Untuk mengoptimalkan implementasi berbagai kegiatan tersebut, koordinasi di antara berbagai level pemerintah yaitu Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota diharapkan dapat lebih ditingkatkan. Hal ini sesuai dengan pasal 85 UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bahwa pengelolaan sumber daya air mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah dilakukan melalui koordinasi oleh suatu wadah koordinasi yang bernama dewan sumber daya air.

Selasa, 01 November 2011

Kasus rusaknya kawasan konservasi air Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur)

TUMPUKAN SAMPAH DI DAS CISADANE
Kawasan Bopunjur memiliki curah hujan yang tinggi, yaitu rata-rata 3500 mm per tahun. Bopunjur juga merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) dari beberapa sungai yang melewati Jakarta, Tangerang, Bekasi, Depok, dan bermuara ke teluk Jakarta.
Sungai-sungai ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari penduduk sekitar, juga untuk irigasi. Karena banyaknya manfaat dari kawasan Bopunjur ini, makaperaturan perundangan yang mengatur mengenai kawasan ini telah ada sejak 39 tahun
lalu. Mulai dari Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 1963 hingga yang terbaru, yaitu
Keputusan Presiden No. 114 Tahun 1999. Dalam peraturan-peraturan tersebut, fungsi
utama kawasan Bopunjur adalah konservasi air tanah, udara, flora, dan fauna. Akan
tetapi, luas kawasan ini yang awalnya mencapai 130.000 ha, semakin berkurang.
Selama 10 tahun terakhir, kawasan ini telah mengalami konversi besar-besaran (sekitar
22 %) menjadi permukiman, hotel, villa, dan restoran. Jika pelanggaran-pelanggaran
tersebut terus dibiarkan terjadi, fungsi kawasan Bopunjur menjadi hilang. Masyarakat di
hilir seperti Jakarta, Tangerang dan Depok, akan sulit mendapatkan sumber air bersih,
banjir, kemacetan lalu lintas, kekeringan, dll. Kebutuhan irigasi pun tidak akan terpenuhi yang akan berdampak pada pengurangan produktifitas lahan pertanian dan pada akhirnya mengancam stok pangan nasional.

Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penatagunaan Tanah

Lokasi Mal Taman Anggrek (Jakarta) berada di kawasan hijau, sedangkan lokasi
kawasan bisnis Kemang (Jakarta) seharusnya merupakan kawasan perumahan
(menurut RTRW). Sementara itu, lokasi perumahan mewah Pantai Indah Kapuk
(Jakarta) yang dekat dengan bandara menyebabkan banjir di sekitar jalan tol menuju
bandara. Ketiga kasus tersebut merupakan contoh dari akibat ketidakpastian hukum tata
ruang di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan peraturan perundangan yang
mengaturnya secara lebih tegas. Saat ini, pemerintah sedang membuat Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penatagunaan Tanah. Bila ada bangunan yang
tidak sesuai dengan tata ruang, maka akan dibongkar, bahkan akan dicabut hak atas
tanahnya. Di satu sisi, pemberlakuan RPP ini dikhawatirkan akan menakuti para investor
asing. Akan tetapi, di sisi lain, berbagai bentuk pelanggaran tata ruang memang
memerlukan peraturan yang lebih tegas. Jika tidak, dikhawatirkan berbagai dampak
negatif akan terjadi, seperti banjir yang sering melanda Jakarta akhir-akhir ini.
Beberapa cuplikan kasus aktual tentang pemanfaatan dan pengendalian
pemanfaatan ruang di atas menunjukkan kepedulian masyarakat dalam penataan ruang
sangat penting agar skenario terburuk (worst scenario) seperti banjir, kesulitan air
bersih, kemacetan lalu lintas, terbentuknya slum area, turunnya produksi pangan, dan
sebagainya tidak terjadi. Namun, meningkatnya kepedulian masyarakat akan penataan
ruang bukan sesuatu yang muncul secara tiba-tiba, melainkan sebuah proses jangka
panjang yang membutuhkan tahapan-tahapan sistematis dalam pencapaiannya. Oleh
karena itu strategi yang harus dilakukan dalam mengatasi kondisi tersebut agar worst
scenario tidak terjadi adalah strategi yang berupaya untuk mengubah attitude
masyarakat Indonesia yang disebut strategi perubahan sosial. Pada hakikatnya, gerakan peningkatan kepedulian publik terhadap penataan
ruang melalui strategi perubahan sosial merupakan sebuah proses untuk mengubah
knowledge, opinion, dan attituded masyarakat terhadap pemanfaatan dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Lebih jelas mengenai strategi perubahan sosial akan diuraikan.

Strategi Perubahan Sosial
Perubahan sosial dengan tujuan akhir diadopsinya norma pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan ruang oleh masyarakat binaan, dapat dilakukan melalui
beberapa cara:

1) Persuasive Strategy.
Dalam strategi ini media massa mengambil peranan besar, karena pada umumnya
komunikasi persuasi dapat berfungsi melalui pembentukan opini publik, publikasi dan
iklan.
2) Normative-reeducative.
Norma adalah aturan yang berlaku di masyarakat. Peranan penting norma telah
dijelaskan sebelumnya sebagai fungsi kohesi dan motivasi sosial. Dengan strategi ini,
norma diajarkan kembali kepada kelompok masyarakat untuk menanamkan dan
mengganti agar paradigma berpikir lama diganti dengan yang baru. Strategi ini
berlangsung lebih lama dan panjang karena menggunakan model komunikasi pribadi
dan kelompok.
3) Power Strategy.
Strategi ini menggunakan pendekatan otoritatif yang membongkar semua sistem dan
nilai yang ada secara koersif (memaksa) dan represif (menekan). ‘Sweeping’ IMB
terhadap villa di Puncak adalah contoh yang gamblang.
Sebagai catatan, pendekatan otoritatif tidak kami gunakan dalam skenario ini
karena wewenang penindakan merupakan wewenang pemerintah daerah, sehingga
tidak termasuk dalam kerangka perubahan sosial yang kami rencanakan. Dalam pendekatan persuasif, perubahan sosial didorong dengan pembentukan opini publik
melalui teknik kehumasan atau kejurnalistikan. Sementara pendekatan pembelajaran
normatif dilakukan melalui komunikasi personal dan komunikasi kelompok melalui
pembinaan masyarakat.


Warga Minta Penambahan Tempat Sampah

Jakarta
BERITAJAKARTA.COM — 04-07-2011 19:55
Gencarnya sosialisasi yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta mengenai pengurangan volume serta manfaat sampah, mulai dirasakan warga DKI Jakarta. Seperti yang dirasakan warga RW 08 Jl Kramat Pulo Dalam II gang 21 Kelurahan Kramatpulo, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Warga menilai, apa yang dilakukan Pemprov DKI sangat positif dan memberi pengetahuan lebih mengenai bahaya dan manfaat sampah. Namun begitu, warga berharap agar pemerintah dapat menambah jumlah tempat sampah dilingkungannya agar memudahkan warga membuang dan memilah sampah yang bisa dimanfaatkan kembali.

"Apa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta sangat baik dan bermanfaat. Karena warga yang ada di sini jadi lebih tahu, mana saja sampah yang bisa dimanfaatkan. Tapi kami harap, jumlah tempat sampah dapat ditambah untuk memudahkan warga membuang dan memilah sampah untuk dimanfaatkan kembali," ujar Yayan, Pembina Majelis Taklim Tarbiyatul Ummahat, saat mengikuti dialog yang digelar Dinas Komunikasi Informasi dan Kehumasan (Komifomas) DKI Jakarta di Masjid Al Islah, Jl Kramat Pulo Dalam II gang 21 Kelurahan Kramatpulo, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, dengan tema `Jakarta Bersih dan Hijau dan Manfaatnya Bagi Warga DKI Jakarta`, Senin (4/7).

Dijelaskan Yayat, sampah yang berserakan karena tidak dibuang pada tempatnya tentu saja dapat merugikan masyarakat. Karena selain merusak keindahan lingkungan, juga dapat memberikan efek negatif yang dapat merugikan kesehatan warga. Sebenarnya, sambung Yayan, warga dilingkungan RW 08 sudah melakukan pemilahan sampah, yang kemudian diolah menjadi kompos. Kegiatan itu sendiri sudah berlangsung selama 3 bulan lamanya.

Minta Dibuatkan Pos RW

Sementara itu, Tatik (42), salah seorang pengurus kebersihan lingkungan warga di RW 08, menambahkan, kegiatan komposting yang dilakukan warga saat ini masih terkendala karena tidak adanya lahan untuk memproduksi kompos. Sebab, hingga saat ini warga memproduksi kompos dengan menumpang tempat disalah satu rumah kosong milik warga yang tidak ditempati. Oleh karenanya, selain meminta agar jumlah tempat sampah ditambah, warga juga meminta agar pemerintah setempat bisa membangun pos RW di lingkungan mereka.

"Tujuannya, agar pengolahan kompos tidak lagi menumpang. Jadi warga memiliki tempat yang bisa berfungsi banyak. Tidak hanya sebagai tempat proses komposting, tapi pos RW itu nantinya juga bisa menjadi tempat pengawasan lingkungan warga baik dari sisi keamanan maupun pengawasan kebersihan lingkungan dan juga berfungsi untuk tempat pertemuan warga," tandasnya.

EASYHITS4U

Link akun paypal Untuk transaksi bisnis anda yang lebih mudah

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

PINGLER.COM