Jumat, 21 Oktober 2011

melintasi lereng halimun

Melintasi Lereng Halimun

Warga kesepuhan Ciptagelar mengaku sangat senang, karena sekarang sudah bisa menikmati sinyal XL, satu-satunya operator yang melayani kampung adat yang terletak di lereng Taman Nasional Gunung Halimun itu. 
Perintisan pembangunan BTS (Base Transceiver Station), bermula dari hoby berpetualang sepeda di alam terbuka yang dilakoni sejumlah tim planning XL. Pada akhir pekan di awal Februari 2009, mereka berhasil melintasi sejumlah perkampungan lereng Taman Nasional Gunung Halimun. Kampung itu adalah Ciptarasa dan Ciptagelar. Kampung Ciptagelar yang sekarang jadi pusat adat kesepuhan terletak di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, berjarak kurang lebih 44 km dari kota pelabuhan ratu Ciptagelar merupakan daerah cekungan, dikelilingi Gunung Surandil, Gunung Karancang, dan Gunung Kendeng.
Berada di ketinggian 1,050 meter di atas permukaan laut, daerah tersebut bisa dibilang terisolir. Selain jaraknya sangat jauh dan medan yang ditempuh sangat berat, kondisi jalan tak beraspal Dengan trek yang berupa jalan bebatuan dan juga melintasi hutan lindung Gunung Halimun yang berkabut tebal. Karenanya kalau ingin melintasi daerah ini sebaiknya menggunakan mobil offroad.
Kampung Ciptagelar dihuni oleh Suku Banten Kidul. Walaupun hanya masyarakat kecil, suku ini menarik perhatian orang luar sehingga selalu dikunjungi. Mereka masih kukuh menganut adat istiadat yang diturunkan nenek moyang mereka. Pengetahuan lokal dan kearifan lokal kampung Ciptagelar berhubungan dengan bagaimana masyarakat memaknai peran dari sumber daya yang ada yang meliputi hutan, tanah dan air. Namun mereka sangat terbuka dengan pemanfaatan teknologi terutama untuk membuka akses dengan dunia luar.
Tak heran, kedatangan tim network planning XL di Ciptagelar disambut dengan hangat oleh warga lokal bahkan malam harinya dijamu langsung oleh Abag Ugi Sugriwa Rakasiwi, Ketua Adat Kesepuhan Ciptagelar. Dalam pertemuan itu, Abah Ugi meminta, jika memungkinkan sinyal XL diusahakan masuk di Kampung Ciptagelar “Abah, bilang disini belum dapat sinyal XL. Nah kebetulan saya orang planning. Saya bilang ya udah Abah, nanti diusahakan,”kata Deden Pramono, tim network planning XL.
Namun rencana itu, tak semudah untuk direalisasikan. Selain tantangan geografis, akses jalan menuju kesana cukup menantang, jalanan tak beraspal, berliku, dan ditepi kiri jalan terdapat jurang menganga dengan kedalaman bisa mencapai satu kilometer lebih. XL juga diperhadapkan dengan kendala birokasi perijinan, apalagi daerah ini masuk dalam areal konservasi Taman Nasional Gunung Halimun.
Untungnya segala hal yang berhubungan dengan perijinan, Abah bersedia membantu. “Setelah semuanya mendapat “lampu hijau” baru bikin SSR buat membebaskan lahan yang sekarang ditempati sebagai tempat menara BTS XL di Ciptagelar,”ungkap Deden saat bercerita awal pembangunan BTS di Ciptagelar. Sekalipun kondisi medan yang susah dijangkau, namun tak menyurutkan niat tim XL untuk menembus daerah terpencil, demi memberikan pelayanan terbaik bagi warga.
Setelah berjalan sekitar hampir 1 tahun, tepat pada tanggal 1 April 2010 akhirnya BTS sudah bisa menyala. Sejumlah warga Ciptagelar mengaku senang dengan beroperasi XL di kampung mereka. “Sebelumnya XL masuk, kadang ada sinyal tapi muncul tenggelam. Kadang ada, kadang hilang. Kami sangat berterimakasih, dengan adanya sinyal XL disini. Saya dan warga disini akhirnya bisa berkomunikasi dengan keluarga di luar Ciptagelar,”kata Pi Katna, warga kesepuhan Ciptagelar.
Ilmit (66) juga mengungkapkan hal serupa. Menurutnya, ia sangat terbantu dengan sinyal XL di Ciptagelar. “Sebelumnya susah sekali berkomunikasi dengan saudara di luar Ciptagelar. Namun dengan adanya sinyal Xl disini, silaturahmi dengan keluarga makin sering dilakukan. Apalagi kalau ada kesulitan antar keluarga, terutama saat ada anggota keluarga yang sakit. Dengan hadir XL disini, ini sangat membantu,”ujar mantan guru SD yang sekarang dipercaya sebagau sesepuh induk di Ciptagelar.
Hal itu juga diamini Yoyok Yoga Asmara, juru bicara adat kesepuhan Ciptagelar. “Kami sangat senang. Ini sudah tunggu lama, karena banyak operator seluler yang datang atau pernah mampir kesini. Namun tidak ada niat untuk membangun BTS karena mereka berpikir sulitnya medan yang harus ditempuh, diatas gunung, harus melewati lembah, dan jauh sebagainya,”ujarnya.
Namun XL berupaya mengatasi rintangan lanjut Yoyok. Caranya dengan bekerjasama dengan warga. “Apa sih yang tidak mungkin, kalau dikomunikasikan. Saling membantu, bekerjasama dengan masyarakat. Warga sangat mendukung kehadiran XL disini karena layanan XL bisa membantu komunikasi dengan keluarga di daerah lain. Disini kan agak terpencil, kondisi jalan juga sangat memprihatinkan. Jadi ini sangat membantu,”tandasnya. Sejumlah warga Ciptagelar juga terlihat mulai merintis bisnis jual pulsa di kampung mereka. Inilah salah satu efek positif dari bisnis telekomunikasi yakni menggerakan perekonomian warga. (Marwan Azis).

RDF (SAMPAH PLASTIK, STEROFOAM KERTAS, BAN) SOLUSI SAMPAH IRASIONAL UNTUK ENERGI ALTERNATIF

Saat ini sampah menjadi masalah besar sejalan dengan meningkatnya jumlah sampah sebagai konsekuensi semakin bertambahnya tingkat konsumsi masyarakat dan kegiatan industri. Berdasarkan survei yang dilakukan Kementerian Negara Lingkungan Hidup pada tahu 2008, sampah yang timbul di Indonesia sebesar 52.389.193 ton. Namun jumlah sampah yang terus meningkat kuantitasnya tidak diikuti dengan peningkatan kemampuan untuk mengolah dan memanajemen sampah dengan baik ditambah kemampuan lingkungan untuk mengurai sampah secara alami terus menurun.
Untuk ketahanan ekonomi berwawasan lingkungan, harus dilakukan pengolahan untuk menambah nilai ekonomis sampah atau memanfaatkan sampah untuk kepentingan yang lebih menguntungkan. Memanfaatkan sampah untuk menghasilkan renewable energy merupakan alternatif pengolahan sampah yang akan meningkatkan nilai ekonomis sampah dan dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil sehingga dapat berkontribusi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca penyebab global warming.
Karya tulis ini bertujuan untuk memberikan gagasan baru dalam menyelesaikan masalah sampah sekaligus menyediakan sustainable and renewable energi dan meminimalisasi polusi dari pembakaran sampah dengan memberdayakan pemulung dan masyarakat sekitar tempat pembangan akhir (TPA) sebagai upaya peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat miskin. Metode penulisan karya tulis yang digunakan meliputi pengumpulan data, pengolahan data dan analisis sintesis mengenai optimalisasi thermal treatment untuk recoveri energi sampah melalui pembuatan RDF dengan teknik pirolisis.
Recoveri energi dari sampah dapat diperoleh dari pembakaran konvensional yaitu sampah secara langsung dibakar dalam incinerator pada suhu 900-1400 0C. Namun, pembakaran konvensional menghasilkan efisiensi energi yang rendah. Pembakaran sampah secara langsung hanya memiliki nilai kalor sekitar 2000-2600 kkal/kg. Limbah hasil pembakaran konvensioal seperti gas asam, NOx, partikulat, logam berat dan dioksin juga dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada masyarakat yang tinggal di sekitar incinerator. Selain itu, pemanfaatan energi dari pembakaran konvensional berupa steam untuk menggerakan turbin sangat rumit dan butuh biaya instalasi yang mahal.
Modifikasi teknologi untuk optimalisasi recoveri energi dapat dilakukan melalui pembuatan RDF. Sebelum dibakar, dilakukan kegiatan pre-processing untuk memisahkan sampah dari recycable materials seperti kaca, plastik, kertas dan kaleng botol. Dalam kegiatan pre-processing material yang dapat direcycle atau sesuai untuk pengomposan dengan bantuan pemulung dipisahkan untuk diolah dan non-combustible materials seperti besi dan batu direject. Oleh karena itu, modifikasi teknologi ini memungkinkan untuk meminimalisasi limbah berbahaya hasil pembakaran. Sampah yang tertinggal kemudian melalui tahap proses pencacahan (crushing process), proses pengeringan (dryng process), proses pirolisis (Pyrolisis process), dan proses pemadatan (soliditying process) untuk menghasilkan RDF. RDF memilki nilai kalor mencapai 4000-4700 kkal/kg hampir setara dengan nilai kalor batubara yang biasa digunakan di industri yaitu jenis sub-bitumin dan bitumin dengan nilai kalor sebesar 4.800 kkal/kg.
Pembuatan RDF berbahan baku sampah organik melalui pemberdayaan pemulung dan masyarakat sekitar TPA ini memiliki dua manfaat utama. Yang pertama adalah pemilahan sampah dari non-combustible materials dan recycling materials seperti plastik, kaleng, besi dan lain-lain dapat berjalan efektif dengan bantuan pemulung sehingga hasil pembakaran tidak menimbulkan gas-gas berbahaya. Yang kedua pembuatan RDF dapat diproduksi skala kecil dengan teknologi sederhana oleh masyarakat sekitar TPA melalui UKM untuk pemenuhan kebutuhan bahan bakar masyarakat sehari-hari, sehingga membantu masyarakat mengurangi pengeluaran untuk pemenuhan bahan bakar sehari-hari. Untuk skala yang lebih besar, produk RDF dapat dijual sebagai pengganti batubara pada pembakaran kiln industri semen. Pada akhirnya akan mengurangi beban sampah di TPA, yang artinya dapat mereduksi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh sampah sekaligus meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat khususnya masyarakat sekitar TPA.

Rabu, 19 Oktober 2011

Gelapnya Dana Reboisasi

Oleh : Rini Ningrum
Ternyata,  Departemen Kehutanan  pernah mengucurkan dana sebesar  Rp 2,4 triliun dari dana reboisasi dalam bentuk hibah tunai dan potongan pinjaman untuk mensubsidi pengembagan hutan tanaman industry (HTI), sayang banyak perusahaan HTI yang melakukan mark up.
Berdasarkan hasil penelusuran CIFOR (Centre for International Forest Research) melaporkan, banyak perusahaan HTI yang melakukan mark up, dan mengakui wilayah yang akan dikelola secara berlebihan  agar mereka memperoleh subsidi Dana Reboisasi. Ini terjadi ketika masa Orde Baru.
Tanpa merinci CIFOR juga mencatatbahwa, dana reboisasi ternyata digunakan untuk berbagai kegiatan politik, lebih dari 1,3 triliun dana tersebut digunakan bukan untuk kegiatan penghijauan yang menjadi kegiatan kunci dalam memperoleh pendanaan.  Laporan Ernest and Young menyebutkan, beberapa dana DR digunakan untuk PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT IPTN) sebesar Rp 400 miliar, kemudian hibah untuk membiayai pengembangan lahan gambut pada tahun 1995, sekitar Rp 527 miliar, Rp 100 miliar untuk program kesejahteraan keluarga takesra, melalui Yayasan Dana Sejahtera Mandiri selanjutnya Rp 250 miliar untuk PT Kiani Kertas. Serta berbagai proyek kontruksi  yang disetujui oleh Kementerian Kehutanan, seperti  pembangunan Manggala Wanabakti. Bahkan DR ini juga digunakan untuk menutupi kekurangan anggaran negara, seperti yang terjadi pada krisis ekonomi tahun 1997, Rp 400 miliar dari dana DR dilaporkan disetorkan ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Dana Reboisasi (DR) mulai diperkenalkan tahun 1980, pada saat itu disebut Dana Jaminan Reboisasi (DJR). Pada mulanya berbentuk jaminan bagi kinerja HPH yang bertujuan utuk meningkatkan reboisasi  dan rehabilitasi hutan. Perusahaan HPH harus menyediakan US$ 4,00 per meter kunik (m3) – berdasarkan kayu bulat yang dipanen. Pada prinsipnya, pemerintah akan mengembalikan dana tersebut, setelah HPH melakukan penanaman kembali di lahan yang sudah dimanfaatkan, tetapi yang terjadi, dari sekitar 120 HPH hanya 30 yang melakukan penanaman kembali.  Rupanya sebagian pemilik perusahaan merasa lebih untung bila dana DJR tidak diambil.
Maka tahun 1987, DJR direstrukturisasi, diubah menjadi Dana Reboisasi (DR), dan dana tersebut tidak dapat diambil. Pada saat yang sama DR dinaikkan menjadi US$ 7,00 per meter kayu dipanen, kemudian diubah lagi tahun 1990 menjadi US$ 10,00 dan menjadi 16 US$ ditahun 1993.
Pertanyaannya, bagaimana nasib dana reboisasi tersebut saat ini, Heri Purnomo salah satu peneliti di CIFOR mengungkapkan, bahwa tidak ada yang tahu persis berapa jumlah dana reboisasi tersebut saat ini, bahkan keberadaan dana tersebut menurut beberapa sumber yang diperoleh oleh CIFOR tersebar di beberapa rekening. Sayangnya, menurut Heri, informasi tersebut selalu tidak berdasar artinya  belum ada data yang pasti tentang jumlah dan nasib dari dana reboisasi tersebut.
Hasil penelitian CIFOR ini juga mencatat, di awal krisis pengelolaan dana ini dialihkan ke Departemen Keuangan dan menyiapkan audit independen yang dilakukan oleh pihak ketiga.  Audit tahun 1999, mendokumentasikan adanya kesalahan sistematis dalam pengelolaan keuangan, berbagai kecurangan dalam penggunaan subsidi dana DR. Ernest and Young juga mencatat dana public yang hilang sekitar US$ 5,2 miliar selama lima tahun di periode 1993/4 – 1997/8, sekitar 50 persen diantaranya terjadi setelah iuran DR masuk ke Departemen Kehutanan. Namun setelah tahun 2009, laporan Ernest and Young tidak lagi di rilis untuk publik.
Sampai saat ini dana reboisasi masih tetap gelap, informasi tentang jumlah dan dimana dana tersebut tersimpan pun masih belum jelas. Sehingga ada kekuatiran bagaimana nasib dana REDD+ nantinya. Dari hasil risetnya  CIFOR merekomendasikan, dibutuhkannya langkah untuk akuntabilitas, keterbukaan serta transparansi dalam pengelolaan anggaran REDD+ oleh lembaga-lembaga kunci yang akan terlibat nantinya*.



Selasa, 18 Oktober 2011

HUBUNGAN ANTARA PENGHIJAUAN DAN PENGOLAHAN SAMPAH DALAM PERUBAHAN IKLIM


Mitigasi dalam kamus John M. Echols dan Hassan Shadily atinya pengurangan. Sedangkan adaptation atau adaptasi artinya penyesuaian diri. Kedua istilah ini menjadi penting karena menyangkut strategi menghadapi perubahan alam. Melalui mitigasi, usaha yang dapat dilakukan adalah mengurangi sebab pemanasan global dari sumbernya. Gunanya agar laju pemanasan itu melambat. Dan pada saat bersamaan, dapat dilakukan persiapan diri untuk beradaptasi dengan perubahan yang ada. Sehingga diharapkan akan ditemukan suatu titik temu yang menjamin kelangsungan hidup manusia.
Dalam skala kecil, mitigasi bisa berupa gerakan cinta lingkungan seperti pengelolaan sampah, bike to work, mengurangi penggunaan plastik, menggunakan AC yang non CFC, hemat energi dan lain sebagainya. Sedangkan beradaptasi dapat dilakukan dengan melakukan penataan lansekap lingkungan, penghijauan, menjaga daerah resapan, re-use, recycling dan lain-lain.
Beradaptasi terhadap perubahan iklim merupakan prioritas mendesak bagi Indonesia. Seluruh kementerian dalam pemerintahan dan perencanaan nasional perlu mempertimbangkan perubahan iklim dalam program-program mereka – berkenaan dengan beragam persoalan seperti pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, keamanan pangan, pengelolaan bencana, pengendalian penyakit, dan perencanaan tata kota. Namun ini bukan merupakan tugas pemerintah pusat belaka, tetapi harus menjadi upaya nasional yang melibatkan pemerintah daerah, masyarakat umum, dan semua organisasi nonpemerintah, serta pihak swasta.
Di tahun-tahun belakangan ini masyarakat dunia semakin meresahkan efek pemanasan global dan di awal tahun 1990an telah mengonsep United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC), yang diberlakukan pada 1994. Di dalam kerangka ini mereka mengajukan dua strategi utama: mitigasi dan adaptasi (Boks 5). Mitigasi meliputi pencarian cara-cara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca atau menahannya, atau menyerapnya ke hutan atau ‘penyerap’ karbon lainnya. Sementara itu adaptasi,mencakup cara-cara menghadapi perubahan iklim dengan melakukan penyesuaian yang tepat – bertindak untuk mengurangi berbagai pengaruh negatifnya, atau memanfaatkan efek-efek positifnya.

Kenaikan muka air laut yang dapat menggenangi ratusan pulau dan menenggelamkan batas wilayah negara Indonesia. Musim tanam dan panen yang tidak menentu diselingi oleh kemarau panjang yang menyengsarakan. Banjir melanda sebagian besar jalan raya di berbagai kota besar di pesisir. Air laut menyusup ke delta sungai, menghancurkan sumber nafkah pengusaha ikan. Anak-anak menderita kurang gizi akut. Itu bukan berita perubahan iklim kita yang biasa. Umumnya berita perubahan iklim di Indonesia berkisar pada soal penggundulan hutan secara besar-besaran, kebakaran hutan, kerusakan lahan rawa, serta hilangnya serapan karbondioksida – yang menempatkan Indonesia sebagai penyumbang utama pemanasan global. Semua itu memang terjadi, tetapi itu baru merupakan separuh cerita. Seperti yang akan diungkap laporan ini, bangsa Indonesia juga akan menjadi korban utama perubahan iklim - dan bila kita tidak segera belajar beradaptasi dengan lingkungan yang baru ini, jutaan rakyat akan menanggung akibat buruknya. Perubahan iklim mengancam berbagai upaya Indonesia untuk memerangi kemiskinan. Dampaknya dapat memperparah berbagai risiko dan kerentanan yang dihadapi oleh rakyat miskin, serta menambah beban persoalan yang sudah di luar kemampuan mereka untuk menghadapinya. Dengan demikian, perubahan iklim menghambat upaya orang miskin untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi diri sendiri dan keluarga mereka.
Apa yang dapat kita lakukan terhadap semua ini? Sejauh ini,perhatian terhadap perubahan iklim terutama difokuskan pada ‘mitigasi’ dan utamanya pada upaya-upaya untuk menurunkan karbon dioksida. Semua tindakan ini penting, tetapi bagi masyarakat termiskin, yang hanya punya andil kecil saja terhadap emisi gas tersebut, prioritas yang paling mendesak adalah menemukan berbagai cara untuk mengatasi kondisi lingkungan hidup yang baru ini – beradaptasi. Meski mereka tidak menyebutnya dengan istilah ‘adaptasi’, banyak yang telah berpengalaman dalam ‘adaptasi’ ini. Orang-orang yang tinggal di daerah yang rawan banjir, misalnya, sejak dulu sudah membangun rumah panggung. Para petani di wilayah yang sering mengalami kemarau panjang sudah belajar untuk melakukan diversifikasi pada sumber pendapatan mereka, misalnya dengan menanam tanaman pangan yang lebih tahan kekeringan dan dengan mengoptimalkan penggunaan air yang sulit didapat, atau bahkan berimigrasi sementara untuk mencari kerja di tempat lain. Yang masih perlu dilakukan sekarang ini adalah mengevaluasi dan membangun di atas kearifan tradisional yang sudah ada itu untuk membantu rakyat melindungi dan mengurangi kerentanan sumber-sumber nafkah mereka.
Adaptasi dalam perencanaan pembangunan
Yang jadi masalah saat ini adalah bahwa adaptasi dapat dilihat hanya sebagai masalah lingkungan hidup semata – dan merupakan tanggung jawab Kementerian Lingkungan Hidup. Padahal, semua departemen pemerintahan dan badan perencanaan nasional perlu mempertimbangkan dampak perubahan iklim ini ke dalam program masing-masing. Berbagai persoalan besar seperti pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, perencanaan tata ruang, ketahanan pangan, pemeliharaan infrastruktur, pengendalian penyakit, perencanaan perkotaan, semuanya mesti ditinjau ulang dari perspektifperubahan iklim.
Tantangannya adalah membuat perencanaan pembangunan menjadi ‘tangguh terhadap iklim’. Dampak perubahan iklim terhadap ekonomi dan pembangunan manusia harus dievaluasi secara seksama dan dipetakan. Kemudian strategi adaptasi harus diintegrasikan ke dalam berbagai rencana dan anggaran, baik pada tingkat pusat maupun daerah. Upaya-upaya pengentasan kemiskinan harus ditingkatkan di bidang-bidang yang khusunya rentan terhadap perubahan iklim dan dibutuhkan berbagai investasi tambahan untuk menggiatkan pengurangan risiko bencana.
Semua upaya ini juga harus dipadukan ke dalam berbagai upaya di tingkat masyarakat dan rumah tangga. Bagaimanapun, masyarakat sudah berpengalaman lama dalam beradaptasi – dengan berbagai tindakan yang sudah dipraktikkan selama berabad-abad. Orang-orang yang tinggal di wilayah yang rentan banjir sejak dulu membangun rumah panggung dan banyak masyarakat masa kini masih meneruskan praktik ini, meski bahan-bahan yang digunakan sudah modern seperti tiang beton atau genteng besi.Di wilayah rawan longsor, orang-orang membangun tanggul penahan longsor yang kukuh. Para petani yang terpapar kemarau panjang sudah belajar untuk mendiversifikasikan sumber pendapatan mereka, menanam tanaman pangan yang tahan kekeringan dan mengoptimalkan penggunaan air yang terbatas, bahkan bermigrasi sementara untuk mencari pekerjaan di tempat lain. Apakah itu melalui prakarsa di tingkat publik atau individual, adaptasi hendaknya mencakup penguatan sumber-sumber penghidupan dan mengurangi kerentanannya.Hal ini akan mempersyaratkan suatu perubahan dalam arah pembangunan.
Di masa lalu sebagian besar pembangunan di Indonesia didasarkan pada eksploitasi sumber daya alam – dengan manfaat ekonomi yang dinikmati di perkotaan dan biaya lingkungannya dibebankan ke wilayah pedesaan. Pola itu harus diubah. Baik masyarakat di pedesaan maupun di perkotaan sudah seyogyanya menargetkan pembangunan manusia yang berkelanjutan dan ancaman perubahan iklim kini makin mendesakkan kepentingannya. Jika kita tidak mengubah pola pembangunan,maka seluruh sumber daya yang tersedia bagi rakyat – pangan, air, dan wilayah pemukiman kemungkinan dapat menjadi makin sulit didapat. Perubahan pola pembangunan ini memerlukan strategi adaptasi yang lebih luas yang melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta – memadukan antara pendekatan pada tingkat pemerintahan dan kelembagaan dengan pendekatan bottom-up yang berakar pada pengetahuan kewilayahan, kebangsaan, dan lokal. Sementara adaptasi merupakan faktor vital dalam seluruh aktivitas pembangunan, secara khusus adaptasi penting dilakukan dalam bidang-bidang pertanian,wilayah pesisir, penyediaan air, kesehatan dan wilayah perkotaan, dengan air memainkan peran lintas sektoral di berbagai bidang ini.
Adaptasi dalam pertanian
Di antara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah para petani Indonesia. Sejauh ini, para petani diJawa berhasil menanam padi dua kali dalam setahun, tetapi dengan perubahan iklim, panen kali kedua tampaknya akan menjadi lebih rentan. Oleh karena itu, para petani yang sudah banyak berpengalaman mengatasi dampak buruk kejadian iklim yang ekstrem akan harus lebih banyak beradaptasi lagi di masa mendatang. Mereka, misalnya akan perlu mempertimbangkan berbagai varietas tanaman pangan. Beberapa jenis tanaman pangan memiliki kapasitas adaptasi secara alamiah, seperti jenis padi hasil persilangan yang berbunga pada waktu dini hari sehingga dimungkin terhindar dari suhu lebih tinggi di siang hari. Para petani juga mungkin dapat menggunakan varietas yang lebih mampu bertahan terhadap kondisi yang ekstrem – kemarau panjang, genangan air, intrusi air laut – atau berbagai varietas padi yang lekas matang yang cocok untuk musim hujan yang lebih pendek. Para petani juga perlu mengupayakan cara-cara untuk meningkatkan kesuburan tanah dengan bahan-bahan organik bagi tanah supaya lebih mampu menahan air – yaitu dengan menggunakan lebih banyak pupuk alamiah
Prioritas lainnya adalah pengelolaan air yang lebih baik. Caranya mungkin adalah dengan lebih banyak berinvestasi untuk irigasi dan juga dalam menampung dan menyimpan air – untuk menyeimbangkan peningkatan curah hujan di bulan April, Mei dan Juni, dengan penurunan curah hujan di bulan Juli, Agustus, dan September. Para petani mungkin akan lebih tangguh menghadapi perubahan iklim bila mereka memiliki perkiraan cuaca yang akurat dan tahu bagaimana harus merespon perubahan itu. Jika, misalnya, mereka dapat menyesuaikan waktu tanam dengan turun hujan pertama, mereka akan dapat memanen hasil yang lebih baik karena tanaman pangan mereka memperoleh lebih banyak unsur penyubur. Atau jika mereka tahu tahun itu akan menjadi tahun kemarau, maka mereka dapat mengganti tanaman pangan – mungkin dengan menanam kacang hijau, dan bukan padi. Mereka juga dapat beralih ke tanaman pangan yang lebih tinggi nilai jualnya meski hal ini bergantung pada kualitas benih dan masukan serta berbagai bantuan tambahan. Sementara itu mereka juga dapat melakukan penyesuaian antara menanam tanaman pangan dan memelihara ternak. Akhirnya, para petani yang tengah menghadapi atau sudah mengalami tahun gagal panen, dapat beradaptasi dengan bekerja di bidang non-tani,mungkin dengan bermigrasi sementara ke daerah lain atau ke kota lain.
Saat ini meski para petani ini sudah mendapatkan informasi dari Badan Meteorologi dan Geofisika,mereka mungkin tidak tahu bagaimana menginterpretasikan informasi itu. Suatu prakarasa untuk menjembatani hal ini adalah Sekolah Lapang Iklim seperti yang diadakan di Indramayu yang bertujuan menerjemahkan perkiraan ilmiah iklim ke dalam bahasa petani yang lebih sederhana dan melatih para petani untuk merespon.
Jika para petani memiliki akses ke informasi dan sarana yang tepat mereka akan dapat melakukan sendiri adaptasi yang dibutuhkan. Namun, sebagian dari mereka akan lebih sulit melakukan adaptasi, entah itu karena tanah garapan mereka tidak subur,misalnya, atau karena pasokan air tidak memadai, atau karena mereka tidak memiliki modal. Selain itu, mereka juga mungkin menghadapi berbagai kendala kelembagaan atau kultural.Dalam berbagai kasus seperti ini, pemerintah bisa membantu melalui intervensi yang langsung dan terencana, dengan menyediakan pengetahuan baru atau peralatan baru atau mencarikan teknologi-teknologi baru.

Gambar : Penahapan adaptasi dalam pertanian
Adaptasi di wilayah pesisir – Penduduk yang menghadapi masalah kenaikan muka air laut dapat melakukan tiga strategi umum: ‘membuat perlindungan’, yaitu dengan menanam tanaman penghadang seperti pohon mangrove;‘mundur’, dengan bermukim jauh dari pantai, atau ‘melakukan penyesuaian’ yaitu misalnya, dengan beralih ke sumber-sumber nafkah yang lain.
Adaptasi untuk penyediaan air

Kita akan perlu menerapkan pengelolaan sumber air yang lebih terpadu – dengan melestarikan ekosistem disertai perbaikan waduk-waduk dan infrastruktur lainnya.
Adaptasi untuk bidang kesehatan

Dengan lingkungan hidup yang lebih sulit nanti, kita perlu memperkuat layanan dasar kesehatan masyarakat.Dan karena iklim yang lebih panas akan memungkinkan penyebaran nyamuk-nyamuk ke wilayah-wilayah baru, maka diperlukan suatu sistem pengawasan kesehatan yang lebih handal untuk memonitor penyebaran penyakit seperti malaria dan deman berdarah dengue.
Adaptasi untuk wilayah perkotaan
Di seluruh wilayah negeri ini, khususnya di wilayah pesisir dan kota yang rawan dilanda banjir, kita membutuhkan berbagai strategi yang lebih handal untuk mengurangi risiko perubahan iklim.
Adaptasi dalam pengelolaan bencana

Di negeri yang memang rawan bencana ini, perubahan iklim makin mendesakkan pentingnya ‘pengelolaan yang cermat’ terhadap bencana. Alih-alih hanya merespon setelah bencana terjadi, yang mesti dicapai adalah mengurangi risiko dan membuat persiapan untuk menghadapi bencana sebelum bencana itu terjadi.
Menurut penggolongan IPCC, Indonesia tidak termasuk dalam negara katagori Annex I (negara-negara maju). Menurut UU no 6 tahun 1994, yaitu UU pengesahan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim, Indonesia tidak wajib ikut menekan emisi GRK, tetapi hanya bersifat sukarela. Menurut UU lingkungan hidup no 23 tahun 1997, menjaga kelestarian lingkungan hidup adalah suatu yang harus dilakukan agar pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan. Jadi upaya mengurangi laju emisi GRK menjadi keharusan dalam rangka melestarikan lingkungan.
Tabel 8.  Sektor-sektor yang akan terkena dampak perubahan iklim dan upaya adaptasi yang dapat dilakukan.
Sektor
Dampak
Adaptasi
Pengairan
Kendala suplai irigasi dan air minum, dan peningkatan salinitas
Intrusi air asin ke daratan dan aquifer pantai
Perencanaan, pembagian air, komersialisasi
Suplai air alternatif, mundur
Ekosistem Darat
Peningkatan salinitas  di lahan pertanian dan aliran air
Kepunahan Keanekaragaman Hayati
Peningkatan resiko kebakaran
Invasi Gulma
Perubahan praktek penggunaan lahan
Pengelolaan Pertamanan
Pengelolaan lahan, Perlindungan thd. Kebakaran
Pengelolaan Pertamanan
Ekosistem Air
Salinisasi lahan sawah di wil. Pantai
Perubahan ekosistem sungai dan sawah
Eutropikasi
Intervensi fisik
Perubahan alokasi air
Perubahan alokasi air, mengurangi aliran masuk hara
Ekosystem Pantai
Perusakan terumbukarang
Limbah beracun
Penyemaian terumbukarang (?)
Pertanian dan kehutanan
Penurunan produktivitas, resiko banjir dan kekeringan, resiko kebakaran hutan
Perubahan pada pasar global
Peningkatan serangan hama dan penyakit
Peningkatan produksi oleh peningkatan CO2 diikuti dengan penurunan produksi oleh perubahan iklim
Perubahan pengelolaan dan kebijakan, perlindungan terhadap kebakaran dan peramalan musim
Pemasaran, perencanaan , dan perdaganngan Karbon.
Pengendalian terpadu, penyemprotan
Merubah teknik usaha tani dan industri
Hortikultur
Dampak campuran + dan – tergantung  spesies dan lokasi
Relokasi
Perikanan
Perubahan tangkapan
Monitoring, pengelolaan
Perumahan, industri
Peningkatan dampak banjir, badai dan kenaikan muka air laut
Pewilayahan, perencanaan bencana
Kesehatan
Ekspansi dan perluasan vektor penyakit
Peningkatan polusi fotokimia udara
Karantina, eradikasi atau pengendalian
Pengendalian emisi
Dalam UU no 6 tahun 1994 jika negara  bukan anggota Annex I ikut dalam upaya menekan emisi GRK ataupun melakukan upaya-upaya adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, maka dalam melakukan upaya tersebut berhak menggunakan dana Climate Change Fund yang disediakan oleh UNFCC.  Agar dapat memanfaatkan dana ini Indonesia harus melakukan beberapa tahapan antara lain ( Murdiyarso, 2001 ; Boer, 2001):
  • Penyusunan data base dan sistim informasi
  • Kajian ilmiah dan kemampuan prediksi serta analisis dampak perubahan iklim
  • Menyusun Building Capacity dalam rangka adaptasi terhadap dampak perubahan iklim
  • Menyiapkan kelembagaan di tingkat pusat dan daerah
  • Menyiapkan perangkat hukum dan perundangan
  • Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat.
Referensi:
United Nations Development Programme – Indonesia, 2007. Sisi lain perubahan iklim - Mengapa Indonesia harus beradaptasi untuk melindungi rakyat miskinnya. ISBN: 978-979-17069-0-2
Meiviana, Armely, Diah R Sulistiowati, Moekti H Soejachmoen, 2004. BUMI MAKIN PANAS - ANCAMAN PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA. Kerjsama Kementerian Lingkungan Hidup Bidang Pelestarian Lingkungan, Pelangi dan JICA.

Sumber: http://iklim.dirgantara-lapan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=61&Itemid=41
 
iklan_a


Minggu, 16 Oktober 2011

PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK DAN JAMUR ANTAGONIS Trichoderma spp. TERHADAP PENYAKIT AKAR BENGKAK (Plasmodiophora brassicae Worr.) PADA TANAMAN KUBIS


PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK DAN JAMUR ANTAGONIS Trichoderma spp. TERHADAP PENYAKIT AKAR BENGKAK  (Plasmodiophora brassicae Worr.)
PADA TANAMAN KUBIS
The Effect Of Organic Matter And Antagonistic Fungi Trichoderma spp. Use Againts Club Root Disease (Plasmodiophora brassicae  Worr.) In Cabbage.

Djoko Amiono Legowo
Mahasiswa Program Pascasarjana, Unibraw

Siti Rasminah  dan Liliek Sulistyowati
Dosen Fakultas PErtanian, Unibraw

ABSTRAK

Peningkatan produksi kubis saat ini terhambat penyakit akar bengkak yang disebabkan oleh jamur P. brassicae. Serangan jamur ini mengakibatkan hasil tanaman kubis berkurang 50 - 100 %. Penelitian ini bertujuan mengetahui potensi jamur antagonis  Trichoderma spp. dari daerah perakaran tiga jenis Cruciferae  yang diaplikasikan bersama beberapa macam bahan organik untuk menghambat perkembangan jamur P.  brassicae  pada akar kubis.  Penelitian dilakukan menggunakan percobaan faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan diulang empat kali di Kebun Penelitian PT BISI di Pujon, Malang, dari bulan Juni 1999 sampai dengan Februari 2000.  Bahan organik terdiri tiga jenis hasil dekomposisi kotoran ternak yaitu kotoran ayam, kambing, dan sapi.   Media tanam terdiri  satu kilogram bahan organik dan sembilan kilogram tanah kebun.  Kubis ditanam pada media yang telah diinokulasi jamur Trichoderma spp. dan jamur P. brassicae.  Jamur Trichoderma spp. berasal dari  contoh tanah yang diambil dari daerah perakaran tiga jenis tanaman Cruciferae yaitu contoh tanah perakaran kubis, sawi putih, dan brokoli. 
Hasil penelitian menunjukkan,  pemberian bahan organik hasil dekomposisi kotoran hewan ternak bersama jamur antagonis Trichoderma spp. dalam media tanam kubis,  menurunkan serangan P. brassica dari 85% menjadi 34%.  Pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma spp. tanpa disertai penggunaan hasil dekomposisi kotoran ternak  dapat menurunkan  serangan P. brassicae dari 85% menjadi 60,6%.  Hasil dekomposisi kotoran ternak menurunkan perkembangan  P. brassicae melalui peningkatan pH media tanam di mana bahan tersebut diberikan. Sumber inokulum jamur antagonis Trichoderma spp. tidak berpengaruh nyata dalam pengendalian P. brassicae.

Kata kunci :  Trichoderma spp., akar bengkak, kubis.



ABSTRACT

Cabbage production increasing inhibited by club root disease caused by Plasmodiophora brassicae fungi. The fungi’s attack, causes cabbage plant yield 50 - 100 % lost.  The potency of antagonistic fungi Trichoderma spp. from three root areas of Cruciferae applied with several kinds of organic matter to inhibit the development of P. brassicae in cabbage root, is the purpose of this research.  Experiment was done use factorial Randomized Complete Design and each treatment was replicated four times in Research & Development Farm of PT Benihinti Suburintani in Pujon, Malang, in June 1999-February 2000.  Three kinds of organic matter was taken from decomposed chicken, goat, and cow faeces.  Media was composed of  1 kg of organic matter and 9 kg of soil.  Cabbage was planted in media  inoculated whit Trichoderma spp. and P. brassicae fungus.  Trichoderma spp. fungi was taken from soil of  three kinds of Cruciferae root area i.e. soil from  cabbage, chinese   cabbage, and broccoli root area.     
Experiment result showed that organic matter come from decomposed animal faeces use together with antagonistic fungi Trichoderma spp. in media can decrease attack of P. brassicae from 85 % to 34 %.  The use of antagonistic fungi Trichoderma spp. without organic matter can decrease attack of P. brassicae from 85 % to 60,0 %.  Organic matter can decrease development of P. brassicae by increase of planting media’s pH where the organic matter was given.  The effect of antagonistic fungi inoculum source  in P. brassicae controlling was not significant.

Key word : Trichoderma spp., club root, cabbage



PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kubis (Brassica oleracea) adalah tanaman sayuran penghasil pucuk-pucuk daun yang mengumpul sedemikian rupa sehingga disebut ‘krop’.  Tanaman kubis mempunyai nilai ekonomi dan sosial cukup tinggi, karena merupakan salah satu andalan sumber nafkah dalam meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, selain sebagai komoditas ekspor (Rukmana, 1994).
Prospek pengembangan budidaya kubis, diperkirakan tetap baik.  Pada tahun 1991, luas panen kubis di  Indonesia mencapai 52,675 hektar dengan produksi 974.553 ton, yang tersebar luas dan dihasilkan di 24 propinsi.
Usaha peningkatan produksi kubis di Indonesia sering mendapat banyak gangguan atau hambatan terutama oleh serangan patogen.  Salah satu diantaranya dan yang saat ini perlu mendapat perhatian serius adalah penyakit akar bengkak (club root)  yang disebabkan oleh jamur Plasmodiophora brassicae.  Akibat serangan ini kehilangan  hasil dari tanaman kubis dapat mencapai 50 - 100 %  (Rukmana, 1994).
Mengingat besarnya kerugian yang diakibat-kan oleh penyakit tersebut, maka perlu dicari  cara pengendaliannya.  Menurut  Semangun (1994) sejauh ini mengendalian yang dapat dilakukan terhadap  P. brassicae   adalah dengan tidak menanami lahan yang telah terinfestasi  dengan tanaman yang rentan selama tujuh tahun.  Dengan demikian rotasi sukar dianjur-kan untuk pengendalian penyakit akar bengkak.  Tindakan lain yaitu mencegah masuknya patogen ke lahan-lahan yang masih bebas, mengatur pH tanah (6,0 - 7,0) atau dengan sterilisasi tanah.  Sterilisasi tanah kurang layak dilaksanakan karena tidak ekonomis. Selain itu sterilisasi tanah memerlukan bahan kimia berbahaya yang dapat mencemari tanah dan air.  Berdasarkan kenyataan tersebut, perlu dicari cara pengendalian lain yang yang lebih murah, aman bagi lingkungan, dan memerlukan waktu lebih singkat, yaitu dengan memanfaatkan sumber daya hayati untuk menekan perkembangan penyakit.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan diantaranya adalah yang memanfaatkan hasil dekomposisi bahan organik.   Menurut Budde dan Weltzein (1988), penggunaan hasil dekomposisi bahan organik menunjukkan pengaruh penekanan terhadap beberapa patogen tanaman.  Disamping penggunaan bahan organik, penelitian lain juga mengungkapkan bahwa jamur-jamur tertentu dapat menekan perkem-bangan patogen, misalnya jamur yang bersifat antagonis Trichoderma spp.  Jamur tersebut  telah banyak dilaporkan  berpotensi untuk mengen-dalikan patogen tular tanah (Baker and Cook, 1974).  Trichoderma  spp. dipilih sebagai agen pengendali yang potensial karena diketahui ber-hasil menekan perkembangan beberapa patogen dan dapat berkembang  pada pH tanah 5,0 - 5,5 (Mihuta & Rowe, 1986).  Berdasarkan fakta, serangan akar bengkak yang  parah adalah pada kondisi pH tanah yang rendah (Agrios, 1996).  Potensi pengendalian dengan pemanfaatan hasil dekomposisi bahan organik dan jamur antagonis Trichoderma spp. dalam penelitian dipadukan untuk menekan penyakit akar bengkak pada tanaman kubis

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi jamur antagonis Trichoderma spp. dari daerah perakaran tiga jenis Cruciferae  yang diaplikasikan bersama beberapa macam bahan organik untuk menghambat perkembangan jamur P.  brassicae  pada akar tanaman kubis. 

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat  memberikan informasi mengenai potensi jamur antagonis Trichoderma spp. yang diaplikasikan bersama media hasil dekomposisi bahan organik untuk mengendalikan penyakit akar bengkak pada tanaman kubis.

 

METODE PENELITIAN


Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kebun Penelitian PT Benihinti Suburintani di Pujon dengan ketinggian tempat 1100 meter dpl dan di laboratorium Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang.  Penelitian ini dimulai pada bulan Juni 1999 sampai dengan Januari 2000. 

Persiapan Media Hasil Dekomposisi Bahan Organik
Bahan-bahan  yang dijadikan media hasil dekomposisi bahan organik terdiri dari jerami dan kotoran ternak ayam, kambing, dan sapi, yang masing,masing sebagai perlakuan.  Jerami dipotong-potong kemudian dimasukkan ke dalam galian tanah yang berukuran  0,3 m3, secara berlapis-lapis dengan kotoran ternak.  Perbandingan tebal lapisan antara jerami dan kotoran ternak 10 : 5 cm.  Untuk menjaga ke-lembaban maka galian ditutup dengan plastik.  Media  siap digunakan ketika proses pemeraman ini berlangsung selama 120 hari.

Persiapan Sumber Inokulum P. brassicae
Inokulum P. brassicae yang diperlukan di-ambil dari perakaran tanaman sawi putih yang harus ditanam terlebih dahulu (Deacon, 1997).
Jumlah tanaman yang ditanam kurang lebih 200 tanaman. Pemeliharaan dilakukan hingga tanam-an berumur 60 hari.   Perakaran yang terserang dan membengkak diambil dan dikumpulkan untuk digunakan sebagai sumber inokulum.

Persiapan Biakan Murni  Trichoderma spp.
Penelitian ini menggunakan isolat jamuTrichoderma spp. yang sebelumnya telah diperba-nyak dengan menggunakan  media PDA dan beras. Contoh tanah yang diduga mengandung Trichoderma spp. diambil dari perakaran tanaman kubis, sawi putih, dan brokoli dan masing-masing ditempatkan terpisah.  Metode yang di-gunakan adalah cawan pengenceran seperti yang digunakan oleh Wagner (1993) yaitdengan menimbang 1 gram contoh tanah perakaran kemudian memasukkannya ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml air steril dan diaduk rata. Pengenceran dilakukan sampai 10-4.  Satu mili-liter suspensi contoh tanah perakaran dicampur dengan media PDA dan diinkubasikan pada suhu kamar.   Kemudian dilakukan identifi-kasi dengan menggunakan kunci determinasi untuk memperoleh jamur  Trichoderma spp. (Barnett and Hunter, 1972).  Isolat yang didapatkan kemudian dimurnikan dalam media PDA, dan dibiarkan selama 5 hari.  Pekerjaan tersebut seluruhnya dilakukan secara aseptis.  
Untuk inokulasi pada media tanam, isolat Trichoderma spp. perlu diperbanyak.  Cara per-banyakannya adalah sebagai berikut:   2 kg beras yang sudah dicuci diberi air secukupnya dan direbus selama kurang lebih 30 menit, setelah dingin beras yang sudah setengah matang tersebudiletakkan dalam nampan plastik.  Isolat Trichoderma spp. dituangi air steril sebanyak + 10 ml.  Dengan menggunakan spatula air diaduk perlahan sedemikian rupa sehingga terjadi suspensi jamur Trichoderma spp.  Masih dengan menggunakan spatula, suspensi yang masih terdapat dalam cawan Petri tersebut dipercikkan ke atas beras yang berada dalam nampan.  Nampan yang berasnya sudah diperciki suspensi Trichoderma spp.  tersebut ditutup dengan kaca transparan dan dikondisikan pada suhu 22 - 23 oC, kemudian dibiarkan selama enam hari.  Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptis dan dilakukan terhadap masing-masing contoh tanah secara terpisah.
Identifikasi Jamur Trichoderma  spp.
Trichoderma spp.  yang dibiakkan dalam media PDA. Koloni jamur ini berupa berkas-berkas melingkar berwarna hijau kehitaman, yang di antara berkas-berkas tersebut terdapat berkas-berkas melingkar yang lebih tipis serta halus. Pengamatan dengan menggunakan mikroskop terhadap jamur Trichoderma spp. yang dibiakkan di atas gelas obyek  menunjukkan bahwa miselium jamur ini bersekat, transparan, dan mempunyai cabang-cabang. Pada konidiofor yang pendek terdapat phialid-phialid yang berbentuk seperti tabung atau botol.  Pada ujung phialid terdapat konidia yang berdiameter 5 - 10 m, berwarna hijau kecoklatan sampai kehitaman (Barnett and Hunter, 1972).

Persiapan Media Tanam Dalam Polybag
Pengujian untuk mengetahui pengaruh jamur antagonis Trichoderma spp. terhadap serangan penyakit akar bengkak pada tanaman kubis dilakukan dalam polybag. 
Media tanam yang digunakan bagi tiap tanaman terdiri dari tanah kebun seberat 9 kg dan bahan organik, masing-masing sesuai perlakuan, seberat 1 kg, dicampur, sehingga berat total masing-masing media tanam adalah 10 kg.  Media tanam dimasukkan ke dalam polybag berkapasitas 15 kg dan diletakkan sesuai dengan penempatan dalam Rancangan Percobaan.
Pengaruh aktifitas mikroorganisme lain dalam media tanam, baik yang bersifat patogen atau bukan, perlu dihilangkan melalui sterilisasi media.   Cara yang digunakan untuk sterilisasi media adalah dengan fumigasi.  Fumigan yang digunakan adalah Basamid-G yang diberikan sebanyak 1,5 gram per 10 kg media (per polybag).    

Persemaian Bibit Kubis
Benih kubis yang ditanam adalah kultivar hibrida Grand-11 yang diproduksi oleh PT BISI.  Persemaian dilaksanakan 20 hari sebelum tanam dibedengan yang telah disterilisasi menggunakan Basamid-G.    Perawatan dilakukan hingga bibit berumur 20 hari.
               
Pembuatan inokulum P. brassicae
Inokulum P. brassicae diambil dari perakaran tanaman sawi putih yang sebelumnya telah ditanam dan  menunjukkan gejala terserang akar bengkak.  Lima puluh gram akar tanaman yang membengkak dengan diameter 3 - 5 cm yang diambil dari 2 - 3 tanaman sawi putih dicuci dan diblender dengan 500 ml air serta disaring dengan kain kasa sehingga diperoleh suspensi putih kekuningan.   Ke dalam masing-masing media tanam [polybag] dituangkan 10 ml suspensi P. brassicae dengan menggunakan penakar dari plastik.  Untuk keperluan inokulasi ini diperlukan  25 akar yang membengkak dan 3,2 liter air yang diambil dari mata air.

Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan dua faktor.  Faktor pertama adalah Jamur Trichoderma spp. (T) dengan empat taraf yaitu:
T0   :  Tanpa inokulasi Trichoderma spp.
TA  :  Inokulasi Trichoderma spp. yang berasal dari contoh tanah perakaran kubis
TB  :  Inokulasi Trichoderma spp. yang berasal dari contoh tanah perakaran sawi putih
TC  :  Inokulasi Trichoderma spp. yang berasal dari contoh tanah perakaran brokoli

Faktor ke dua adalah media hasil dekomposisi bahan organik (MHDBO)  dengan empat taraf yaitu:
B0   :  Tanpa pemberian MHDBO
B1    :  Pemberian MHDBO kotoran ayam
B2    :  Pemberian MHDBO kotoran kambing
B3    :  Pemberian MHDBO kotoran sapi
Dari dua faktor perlakuan tersebut akan didapat 16 perlakuan kombinasi dan tiap-tiap pot percobaan ditempatkan secara acak dalam  empat ulangan.  Masing-masing satuan perco-baan menggunakan lima tanaman [polybag].  Pengacakan dan denah percobaan ditampilkan dalam Lampiran 3.

Penanaman
Pada hari ke 20 setelah semai, bibit kubis dipindah tanam dari bedengan persemaian ke polybag.  Bibit dicabut dari persemaian, lalu ditanam di media tanam dalam polybag

Inokulasi Trichoderma spp.dan P. brassicae pada Media Tanam        
Biakan murni Trichoderma spp. dalam media biakan (beras) dipanen dengan menuangkan 500 ml aquadest pada masing-masing nampan.  Suspensi yang didapat kemudian disaring dan selanjutnya diambil 0,1 ml dengan menggunakan pipet Pasteur, dimasukkan ke dalam celah V haemositometer dan diamati dibawah  mikroskop guna menghitung kerapatan konidia dalam suspensi.  Inokulasi ke dalam media tanam dilakukan dengan cara menuangkan suspensi Trichoderma spp. ke dalam media tanam seperti yang dilakukan oleh Djatnika (1991), sesuai dengan masing-masing perlakuan. Kemudian diambil 10 ml suspensi Trichoderma spp., dengan kerapatan konidia 6 x 105/ml (Wagner, 1993), lalu dituangkan ke dalam media tanam.   Setelah itu diambil 10 ml  suspensi P. brassicae   dan dituangkan ke dalam media tanam.  Inokulasi  Trichoderma spp. kedalam media tanam dilakukan tujuh hari sebelum bibit kubis ditanam (Wagner, 1993) dan inokulasi  P.  brassicae  juga dilakukan tujuh hari sebelum bibit kubis ditanam (Jansen, 1995).

Pengamatan
Pengamatan dilakukan saat panen dengan variabel meliputi:
a.  Diameter akar bengkak pada akar utama
b.  Indeks penyakit dari 0 (nol) sampai dengan 5 (lima)   (Reyes, Davidson, & Mark,  1974  dalam Djatnika, 1991):
0 =   tidak terjadi pembengkakan pada akar
1 =   bengkak berukuran sangat kecil dengan diameter 0,5 - 1 cm
2 =   bengkak berukuran kecil dengan diameter 1 - 2 cm
3 =   bengkak berukuran sedang dengan diameter  2 - 3 cm
4 =   bengkak berukuran besar dengan diameter 3 - 4 cm
5 =   bengkak berukuran sangat besar dengan diameter 4 - 5 cm
c.  Intensitas penyakit, yang dihitung berdasarkan indeks penyakit  dengan  menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Reyes, Davidson, & Mark (1974, dalam  Djatnika, 1991) yaitu:

                 S (n x v)                        
       P =   ------------  x 100 %                        
                   N x Z                           

dimana : P  =   Intensitas serangan;  n  =   Jumlah tanaman dalam tiap kategori serangan;  v  =   Nilai sekala tiap kategori serangan ;  V =   Nilai kategori serangan tertinggi (5); N =   Jumlah tanaman yang diamati (5)

d.  Berat segar bagian atas tanaman yang di-peroleh setelah memotong tanaman pada  leher akar, kemudian potongan bagian atas tanaman ditimbang satu persatu  menggunakan timbangan gantung dan  dihitung jumlah rata-rata tiap per-lakuan.
e.   Bobot hasil segar (krop) yang diperoleh  sete-lah memotong krop kubis tepat    pada bagian dasar ‘bulatan’ krop, kemudian krop ditimbang satu persatu  menggunakan timbangan gantung dan dihitung  jumlah rata-rata tiap perlakuan.


Analisis Data
Pengaruh perlakuan, melalui analisis ragam [variasi], diuji dengan uji F.  Analisis ragam didasarkan atas analisis ragam faktorial dalam Rancangan  Acak Lengkap.  Hasil yang diper-oleh melalui uji F, apabila H0 ditolak belum dapat memberikan penjelasan tentang perlaluan mana yang berbeda.  Pembandingan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji Jarak Duncan, dengan kriteria uji:





    MDRS (a) = rP (Duncan) (a)      KTgalat
                                           n

dimana:  rP (Duncan) = nilai yang didapat dari  Tabel Duncan; n = banyaknya ulangan untuk setiap  perlakuan
        

 


HASIL DAN PEMBAHASAN


Diameter Akar Utama Akibat Serangan P. brassicae Pada Media Tanam Yang Diberi Bahan Organik dan  Jamur Antagonis Trichoderma spp. 

Ukuran besar atau diameter akar utama yang terserang P. brassicae merupakan petunjuk ke-parahan serangan penyakit tersebut (Njeuwhof, 1989). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi sangat nyata antara perlakuan pemberian bahan organik dengan jamur antagonis Trichoderma spp. terhadap diameter akar utama.  Hasil peng-amatan diameter akar utama disajikan dalam Tabel 1.  Sebagai jamur antagonis,


Tabel 1.  Diameter Akar Utama Tanaman Kubis Akibat Serangan P.  brassicae Pada Media Tanam Yang Diberi Bahan Organik  (BO) dan Jamur Antagonis  Trichoderma spp.(T)



Diameter Akar Utama (cm)
Perlakuan
Tanpa
BO(B0)
BO Kotoran
Ayam (B1)
BO Kotoran
Kambing (B2)
BO Kotoran
Sapi (B3)
Tanpa T (T0)
3,79 d
2,03 bc
1,57 a
2,09 bc
T Perakaran Kubis (TA)
2,37 bc
2,28 bc
1,63 a
2,25 bc
T Perakaran Brokoli (TB)
2,47 c
2,07 bc
1,30 a
2,02 b
T Perakaran Sawi Putih (TC)
2,67 c
2,04 bc
1,38 a
2,15 bc
MDRS (5%)  :  0,38 - 0,45
Catatan: Angka pada faktor dan kolom yang sama, dan didampingi huruf yang sama, tidak berbeda  nyata   pada Uji Jarak Duncan (MDRS) 5 %

Trichoderma spp. mempunyai kemampuan kompetisi yang kuat dalam hal ruang dan nutrisi.  Diketahui pula bahwa beberapa isolat Trichoderma spp. dapat menghasilkan enzim yang dapat merusak dinding sel jamur lain.  Kerusakan dinding sel mengakibatkan kematian yang dapat menghambat perkembangan populasi jamur patogen (Dennis and Webster, 1971). Kemampuan berkompetisi jamur antagonis sangat tergantung pada masukan energi dan nutrisi yang umumnya tersedia dalam media tanam.  Jamur antagonis memperoleh energi dan nutrisi dari bahan-bahan hasil dekomposisi bahan organik dalam tanah dan mempergunakannya untuk aktivitas serta mem-perbanyak populasi (Nelson, 1998).
Trichoderma spp. dapat menghasilkan enzim yang dapat mengurai dinding sel jamur patogen sehingga menekan perkembangan populasi ja-mur patogen, maka meningkatnya populasi ja-mur tersebut akan diiringi dengan meningkatnya proporsi enzim  yang dihasilkan. Semakin ba-nyak enzim yang dihasilkan, perkembangan jamur patogen semakin tertekan. Dengan tertekannya perkembangan jamur P. brassicae tersebut, maka  tingkat serangan patogen ter-hadap akar menjadi semakin berkurang. 
Berdasarkan data yang disajikan dalam Tabel 1.  dapat diketahui bahwa   diameter akar utama tanaman kubis dalam  media tanam yang tidak diinokulasi  jamur Trichoderma spp. (T0)  berukuran terbesar dengan beda yang sangat nyata dibandingkan dengan perlakuan pemanfaatan jamur Trichoderma spp. (TA, TB, dan TC). Sumber inokulum Trichoderma spp. yaitu Trichoderma spp.  yang berasal dari  contoh tanah perakaran kubis (TA),  Trichoderma spp. yang berasal dari contoh tanah perakaran sawi putih (TB), dan Trichoderma spp. yang berasal dari contoh tanah perakaran brokoli (TC), tidak memberikan pengaruh nyata terhadap ukuran akar utama.  
Keberadaan fungi antagonistik jenis tertentu  di daerah perakaran tergantung kepada jenis atau famili tanaman.   Jenis fungi antagonis dari da-erah perakaran satu  jenis atau famili tanaman diketahui spesifik dan kebanyakan berbeda dengan jenis jamur antagonis dari daerah per-akaran  spesies atau famili tanaman yang lain  (Fritz, 1996).  Selanjutnya dinyatakan bahwa ditemukan pula pada daerah perakaran jenis atau famili tanaman yang berbeda terdapat jenis fungi antagonis yang sama.  Belum diketahui secara pasti penyebab fenomena ini.  Diduga hal ini disebabkan oleh fakta bahwa kebanyakan tanaman, melalui perakarannya, mengeksudasi zat-zat yang bisa dimanfaatkan  spesies tertentu dari jamur antagonis [termasuk Trichoderma spp.] untuk menunjang aktifitas dan perkembangan populasinya sehingga lebih dominan dan lebih dapat mempertahankan keberadaan populasinya dari pada strain yang lain.  Terdapat kemung-kinan bahwa komposisi eksudat-eksudat tersebut mirip satu sama lain meskipun dihasilkan oleh spesies atau famili tanaman yang berbeda (Sanchez,  1994).
Kubis, sawi putih, dan brokoli adalah tanaman yang berasal dari satu famili (Njeuwhof, 1989).  Menurut Fritz (1996), jenis fungi antago-nis dari daerah perakaran satu spesies atau famili tanaman diketahui spesifik dan kemungkinan berasal dari satu spesies.  Karena ketiga spesies tanaman tersebut berasal dari satu familia, maka jamur antagonis (Trichoderma spp.) yang terdapat di daerah perakarannya bisa merupakan spesies yang sama. Hal ini menjadikan asal jamur Trichoderma spp. tidak memberikan pengaruh nyata terhadap ukuran akar utama.
Pemberian  hasil dekomposisi bahan organik (B) untuk menekan perkembangan P. brassicae berpengaruh sangat nyata terhadap diameter akar utama.  (Tabel 1).  Pada perlakuan tanpa pemberian bahan organik (Kontrol;  B0) serangan akar bengkak terlihat parah yang ditunjukkan dengan ukuran diameter akar utama yang sangat besar.   Diameter akar utama dari tanaman yang ditanam di media hasil dekomposisi bahan organik kotoran kambing (B2), berukuran paling kecil dibandingkan dengan yang ditanam di media hasil dekomposisi bahan organik kotoran ayam (B1), atau kotoran lembu (B3)  pada semua kombinasi perlakuan  dengan T0, TA, TB, dan TC.
Ukuran diameter akar utama tanaman kubis yang lebih kecil menunjukkan bahwa patogen P. brassicae kurang mampu menyerang atau menginfeksi jaringan akar tersebut.  Hal ini merupakan hasil dari suatu kemampuan tanaman untuk mempertahankan diri dari serangan patogen yang di antaranya adalah fungsi struktural sebagai penghalang fisik dan penghambat patogen  mendapatkan peluang masuk dan menyebar dalam tanaman  (Agrios, 1996).   Selanjutnya dinyatakan bahwa  salah satu bagian dari sistem pertahanan struktural tanaman adalah dinding sel.  Ketebalan dan kekuatan dinding bagian luar sel-sel epidermis merupakan faktor penting dalam ketahanan tumbuhan terhadap patogen.  Sel-sel epidermis yang berdinding kuat dan tebal akan membuat penetrasi secara langsung mengalami kesulitan atau bahkan tidak mungkin dilakukan sama sekali oleh jamur patogen. Tanaman yang memiliki dinding sel yang demikian menjadi lebih tahan. 

Tabel 2.    pH Media Tanam Pada Perlakuan Pemanfaatan Jamur Antagonis Trichoderma spp. (T) Sebelum Penggunaan Hasil Dekomposisi  Bahan Organik (BO).



pH Media Tanam
Perlakuan
Tanpa
BO(B0)
BO Kotoran
Ayam (B1)
BO Kotoran
Kambing (B2)
BO Kotoran
Sapi (B3)
Tanpa T (T0)
5,87
5,86
5,85
5,87
T Perakaran Kubis (TA)
5,85
5,79
5,81
5,88
T Perakaran Brokoli (TB)
5,87
5,83
5,86
5,85
T Perakaran Sawi Putih (TC)
5,87
5,88
5,84
5,85

Sebagai bagian dari media tanam, bahan or-ganik memberikan pengaruh antara lain mening-katkan kapasitas tukar kation serta meningkat-kan ketersediaan unsur hara. Disamping itu bahan organik dapat menyediakan bahan pemacu pertumbuhan seperti asam-asam amino, vitamin, dan hormon-hormon tanaman. Lebih lanjut dinyatakan bahwa bahan organik yang berasal dari kotoran hewan ternak sangat kaya akan unsur-unsur makro maupun mikro yang berfungsi antara lain untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan resistensi ta-naman terhadap penyakit.  Bahan organik yang berasal dari kotoran hewan ternak tertentu kaya akan unsur kalium tersedia  yang berkaitan erat dengan ketahanan tanaman terhadap hama atau penyakit.   Salah satu manfaat unsur kalium bagi tanaman adalah meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit (Setyamidjaja, 1986). 
Unsur kalium erat kaitannya dengan kekuat-an dinding sel tanaman.  Tanaman yang selama pertumbuhannya  mengalami kekurangan unsur hara kalium menjadi mudah terserang penyakit (Ochse et all, 1986).   Analisa kimia terhadap ketiga contoh media tanam memperlihatkan bahwa kandungan kalium tersedia dari hasil dekomposisi kotoran kambing (B2) paling tinggi dibandingkan dengan yang dikandung hasil dekomposisi kotoran ayam dan hasil dekompo-sisi kotoran sapi.  Tanaman yang diberi media hasil dekomposisi kotoran kambing (B2) kebu-tuhan kaliumnya lebih terpenuhi daripada per-lakuan lain (B1 atau B3) sehingga lebih tahan terhadap serangan  jamur P. brassicae
Selain pengaruh unsur yang dikandung bahan organik, serangan jamur P. brassicae juga dipengaruhi oleh pH media tanam.  Patogen akar bengkak sangat menyukai kondisi keasaman tanah yang rendah.  Pada pH 5,7 serangan menghebat, dan perkembangan penyakit tersebut akan menurun tajam pada pH antara 5,8 dan 6,2, serta tidak berkembang sama sekali pada pH 7,8 (Agrios, 1996).   Sejalan dengan hal tersebut, Semangun (1994) menyatakan bahwa serangan jamur P. brassicae akan meningkat bila inang ditanam pada tanah dengan pH di    bawah 7.   Davidson (1990) me-nyatakan bahwa keasaman tanah secara tidak langsung mempengaruhi besar kecilnya diameter akar Cruciferae yang terserang patogen   P. brassicae.  Pada  tanah dengan pH rendah (5,5 - 5,7) patogen P. brassicae berkembang dengan pesat.  Perkembangan yang pesat ini menyebabkan serangan yang semakin parah terhadap perakaran yang ditunjukkan dengan semakin besarnya ukuran diameter akar.  Semakin rendah pH media tanam, semakin meningkat populasi  P. brassicae, dan semakin meningkat pula serangan terhadap perakaran sehingga ukuran akar semakin besar.  Selanjut-nya Davidson menyatakan bahwa jika keasaman tanah ditingkatkan dari 5,8 hingga 6,3 serangan berkurang drastis sehingga ukuran akar menjadi lebih kecil.  Serangan dapat dikatakan tidak ada jika pH lahan pertanaman ditingkatkan hingga 7,5.
Pengukuran keasaman media tanam di lapangan ternyata menunjukkan bahwa pening-katan pH media tanam dapat disebabkan oleh  pemberian hasil dekomposisi kotoran ternak (B).  Tabel 2 dan Tabel 3 memperlihatkan bahwa peningkatan pH hanya terjadi pada media yang di dalamnya terdapat bahan organik.  Jenis bahan organik hasil dekomposisi kotoran ternak juga berpengaruh terhadap besar kecilnya peningkatan pH media tanam.  Pemberian bahan organik hasil dekomposisi kotoran kambing  (B2) berpengaruh meningkatkan pH tertinggi dibandingkan dengan  perlakuan B1 dan perlakuan B3 (Tabel 2 dan Tabel 3). 

Tabel 3.  pH Media Tanam Pada Perlakuan Pemanfaatan Jamur Antagonis Trichoderma spp.(T) Setelah Penggunaan Hasil  Dekomposisi  Bahan Organik (BO).



pH Media Tanam
Perlakuan
Tanpa
BO
(B0)
BO Kotoran
Ayam (B1)
BO Kotoran
Kambing (B2)
BO Kotoran
Sapi (B3)
Tanpa T (T0)
5,87
6,34
7,06
6,54
T Perakaran Kubis (TA)
5,85
6,28
7,04
6,59
T Perakaran Brokoli (TB)
5,93
6,28
7,01
6,64
T Perakaran Sawi Putih (TC)
5,86
6,26
7,04
6,70


Peningkatan pH media tanam yang disebabkan oleh pemberian bahan organik tersebut berpengaruh terhadap perkembangan dan serangan P. brassicae pada akar tanaman kubis yang selanjutnya mengakibatkan ukuran diameter akar yang berbeda (Tabel 1).  Tabel 1  memperlihatkan bahwa kubis yang ditanam pada media tanam yang tidak diberi bahan organik mempunyai diameter akar terbesar sedangkan kubis yang ditanam pada media tanam yang diberi bahan organik mempunyai diameter akar yang lebih kecil. Kubis yang ditanam pada media tanam yang diberi hasil dekomposisi kotoran kambing (B2) dengan pH rata-rata paling tinggi mempunyai rata-rata diameter akar utama yang paling kecil dibanding dengan  kubis yang ditanam pada media tanam yang diberi hasil dekomposisi kotoran ayam (B1) dan kubis yang ditanam pada media tanam yang diberi hasil dekomposisi kotoran sapi (B3) dengan pH rata-rata masing-masing yang lebih rendah.

Intensitas Penyakit Akar Bengkak Pada Tanaman Kubis Yang Diberi Bahan Organik dan Jamur Antagonis  Trichoderma spp.  Dalam Media  Tanamnya.
Beratnya penyakit dapat dijelaskan melalui persentase bagian tertentu dari tanaman yang dipengaruhi oleh [aktifitas] patogen (Agrios, 1996). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara bahan organik hasil dekomposisi kotoran ternak dengan jamur antagonis Trichoderma spp.berpengaruh sangat nyata terhadap intensitas serangan (beratnya penyakit) P.  brassicae
Tabel 4 memperlihatkan bahwa interaksi antara jamur antagonis Trichoderma spp. dengan bahan organik hasil dekomposisi kotoran ternak dapat mempengaruhi intensitas serangan P. brassicae terhadap perakaran kubis. Interaksi yang paling dapat menekan intensitas serangan P. brassicae adalah interaksi antara Trichoderma spp. yang berasal dari contoh tanah perakaran kubis (TA),  Trichoderma spp. yang berasal dari contoh tanah perakaran sawi putih (TB), dan Trichoderma spp. yang berasal dari contoh tanah perakaran brokoli (TC) dengan bahan organik hasil dekomposisi kotoran kambing.   
Jamur antagonis Trichoderma spp. dapat ditemukan dalam tiap area perakaran tanaman (tumbuhan) di hampir semua jenis tanah.  Dalam keadaan tidak terdapat pengaruh ekternal, populasi jamur tersebut di daerah perakaran berada dalam jumlah yang tidak dapat menekan perkembangan patogen tertentu yang dapat menimbulkan penyakit bagi tanaman yang bersangkutan. Populasi Trichoderma spp. dapat meningkat karena peningkatan sumber energi     dan nutrisi yang kebanyakan berupa hasil  penguraian material organik dan mineral anorganik   (Bohlen,  1987).  Selanjutnya dinyatakan bahwa populasi Trichoderma spp.  yang meningkat memungkinkan untuk menekan perkembangan patogen tertentu yang juga mengkonsumsi energi dan nutrisi di area yang sama. Kemampuan untuk menekan perkembangan patogen tersebut karena dihasilkan-nya senyawa-senyawa tertentu (enzim) yang dapat merusak dinding sel patogen, sehingga makin meningkat populasi jamur antagonis Trichoderma spp. makin banyak enzim  yang dihasilkan dan perkembangan patogen semakin tertekan.  Semakin tertekan perkembangan patogen P. brassicae, maka semakin kecil pula intensitas penyakit yang menyerang perakaran kubis.
Tabel  4.  Intensitas Penyakit Akar Bengkak Pada Tanaman Kubis Yang  Diberi Bahan Organik (BO) dan Jamur  Antagonis Trichoderma spp. (T) Dalam  Media Tanamnya



 Intensitas Penyakit (%)
Perlakuan
Tanpa
BO
(B0)
BO Kotoran
Ayam (B1)
BO Kotoran
Kambing (B2)
BO Kotoran
Sapi (B3)
Tanpa T (T0)
85 d
52 bc
41 ab
52 bc
T Perakaran Kubis (TA)
60 bc
55 bc
39 a
54 bc
T Perakaran Brokoli (TB)
60 bc
51 b
34 a
50 b
T Perakaran Sawi Putih (TC)
62 c
53 bc
37 a
51 b
MDRS (5%)  :  9,24 - 11,08
  Catatan: Angka pada faktor dan kolom yang sama, dan didampingi huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan (MDRS) 5 %

Sanchez (1994), menyatakan bahwa bahan organik sisa dekomposisi kotoran hewan merupakan sumber nutrisi dan energi yang paling baik bagi perkembangan mikroorganisme dalam tanah termasuk bagi mikroorganisme yang menguntungkan seperti fungi-fungi antagonis tertentu yang dapat menekan perkembangan penyakit tular tanah (soil borne disesae).  Sisa dekomposisi kotoran hewan kaya akan unsur, vitamin, dan enzym yang diperlukan untuk perkembangan mikroorganisme dalam tanah terutama yang bersifat antagonis terhadap penyakit tular tanah.   Selanjutnya Sanchez men-dapati bahwa tanaman yang ditanam di lahan-lahan yang kaya sisa dekomposisi bahan organik menunjukkan kecenderungan tahan terhadap penyakit dibandingkan dengan tanaman yang ditanam di lahan yang miskin bahan organik, meskipun pupuk buatan cukup tersedia.
Kombinasi perlakuan jamur antagonis Trichoderma spp. dengan bahan organik hasil dekomposisi kotoran kambing merupakan perlakuan yang memberikan pengaruh terbaik karena bahan organik tersebut memiliki kandungan unsur hara dan zat-zat yang diperlukan untuk pertumbuhan dan ketahanan tanaman terhadap penyakit dalam komposisi yang lebih lengkap dibandingkan dengan bahan organik lain.  Geuss (1993) dan Patric (1995) menemukan bahwa di antara beberapa jenis  bahan hasil dekomposisi kotoran hewan (sapi, kerbau, bison, rusa, onta, llama, kelinci, dan ayam) keledai, kuda, kambing, dan domba memiliki kandungan unsur hara yang paling tinggi serta kondisi kimiawinya paling baik.  
Komposisi yang sesuai sangat diperlukan untuk membantu pembentukan struktur penghalang fisik pada permukaan akar tanaman berupa sel-sel epidermis dengan dinding yang lebih kuat, sehingga lebih sulit ditembus patogen.   Kondisi kimiawi yang baik (pH) dapat menghambat perkembangan P. brassicae.  Tanaman yang tumbuh pada media dengan kondisi tersebut menjadi lebih tahan atau mengalami serangan penyakit dengan intensitas serangan yang lebih rendah.
Hasil pengamatan di tiap pot percobaan memperlihatkan bahwa intensitas penyakit juga ditentukan oleh derajat keasaman (pH) media tanam (Tabel 2, Tabel 3   dan Tabel 4).  Intensitas penyakit menurun sejalan dengan meningkatnya pH media tanam.  Tabel 3 memperlihatkan bahwa peningkatan pH terjadi pada media tanam yang diberi hasil dekomposisi bahan organik.  Penggunaan media hasil dekomposisi bahan organik menyebabkan pH meningkat yang selanjutnya  menekan perkembangan dan aktifitas patogen P. brassicae.   Terhambatnya perkembangan dan aktifitas patogen tersebut mengakibatkan berkurangnya intensitas penyakit pada perakaran kubis.  Intensitas penyakit tertinggi terjadi pada perakaran tanaman kubis yang ditanam pada media tanpa bahan organik  (Kontrol; B0; Tabel 4), dengan pH media yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan penggunaan hasil dekomposisi bahan organik (Tabel 3).

Berat Hasil Segar (Krop) Akibat Serangan P. brassicae Pada Tanaman  Kubis Yang Diberi Bahan Organik dan  Jamur  Antagonis  Trichoderma spp. Dalam Media Tanamnya

Bagian dari tanaman kubis yang diambil hasilnya adalah bagian vegetatif yaitu pucuk-pucuk daun yang mengumpul sedemikian rupa sehingga membentuk ‘krop’ (Rukmana, 1994).   
Menurut Rukmana (1994), kehilangan hasil tanaman kubis yang diserang akar bengkak dapat mencapai 50 - 100 persen.   Hilangnya hasil ini disebabkan oleh terganggunya pembentukan krop karena suplai unsur hara ke pucuk-pucuk daun berkurang sebagai akibat terganggunya fungsi akar.   Patogen P. brassicae menyebabkan perbanyakan dan pembesaran sel secara tidak normal sehingga akar menjadi bengkak.  Menurut Dixon (1991),  perubahan keadaan fisik perakaran dalam bentuk apapun selain karena aktifitas hidup tanaman, seperti putusnya akar, gangguan hama, plasmolisis sel akar karena pengaruh tekanan osmotik, atau serangan patogen akan  mengakibatkan ter-ganggunya adsorbsi air dan unsur hara sehingga tanaman dapat mengalami kekurangan air dan defisiensi unsur hara.   Kekurangan air dapat menyebabkan terhentinya pertumbuhan, dan apabila terjadi terus menerus menyebabkan perubahan dalam tanaman yang tidak dapat dipulihkan, sehingga menurunkan hasil, sebe-lum berakhir dengan kematian (Harjadi, 1986).  Pembengkakan akar kubis karena serangan  P. brassicae  menyebabkan fungsi akar terganggu yang berakibat tanaman kubis kekurangan air dan unsur hara sehingga pertumbuhan terhambat dan krop terbentuk dengan ukuran di bawah normal, dan  hasilnya rendah.  Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma spp. (T) berpengaruh sangat nyata terhadap berat hasil segar.   Pemberian bahan organik hasil dekomposisi kotoran beberapa jenis hewan ternak (B) juga memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap berat hasil segar.  Interaksi antara pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma spp. dengan pemberian bahan organik hasil dekomposisi kotoran beberapa jenis hewan ternak (TxB) tidak berpengaruh nyata terhadap berat hasil segar.   Hasil pengamatan berat hasil segar disajikan dalam Tabel 5.
Pada perlakuan pemberian bahan organik (B0,B1, B2, dan B3) pengaruh pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma spp. (TA, TB, dan TC) dapat  dibedakan secara nyata dengan penanaman yang tidak memanfaatkan jamur antagonis Trichoderma spp. (T0). 
Jamur antagonis yang hidup dalam tanah di sekitar perakaran tanaman berpotensi untuk menekan perkembangan patogen tular tanah yang dapat menyerang tanaman melalui perakarannya.  Jamur antagonis seperti Trichoderma spp. mampu menghasilkan enzim yang bersifat merusak dinding sel patogen se-hingga dapat menekan perkembangan populasi patogen (Mathew, 1989).  Hasil pengamatan Wagner (1993) menunjukkan bahwa beberapa jenis jamur seperti Gliocladium spp.,  Mortierella  spp., dan  Trichoderma spp., memiliki sifat antagonis terhadap beberapa jenis patogen soil  atau airborne disease penyebab penyakit-penyakit pada apel, bit, berry, dan radish. 
Peranan jamur antagonis Trichoderma spp. sangat nyata terlihat pada tanah-tanah dari hutan yang baru saja dibuka untuk areal pertanian.  Tanaman yang ditanam pada areal semacam ini, meskipun berdekatan dengan areal lain yang sudah lebih dulu dimanfaatkan, menghasilkan tananam yang relatif lebih bebas dari  penyakit.   Pada tanah-tanah dari hutan yang baru dibuka, berdasarkan hasil observasi lebih lanjut, ternyata memiliki populasi jamur antagonis Trichoderma spp. dan jamur antagonis lain yang lebih banyak dibandingkan dengan tanah-tanah yang sudah lebih lama dimanfaatkan (Suryaningsih, 1993).
Perkembangan patogen penyebab akar bengkak yang terbatas karena tekanan  jamur antagonis Trichoderma spp. menjadikan perakaran tanaman kubis dapat berfungsi dengan lebih sedikit gangguan.  Perakaran tanaman kubis yang dapat menjalankan fungsinya sebagai penyerap air dan unsur hara dengan normal dapat menunjang aktifitas hidup tanaman dengan lebih baik, sehingga memberikan hasil yang lebih tinggi.
Pada semua perlakuan pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma spp. (T0, TA, TB, dan TC), perlakuan pemberian bahan organik sisa dekomposisi kotoran beberapa jenis hewan ternak (B1, B2, dan B3) berpengaruh lebih baik dibanding tanpa pemberian bahan organik (B0).
Pemberian bahan organik sisa dekomposisi kotoran kambing (B2) memberikan hasil paling baik dibanding dua perlakuan pemberian bahan organik sisa dekomposisi kotoran ayam (B1) dan kotoran sapi (B3).  
Bahan organik merupakan sumber unsur hara nitrogen yang penting bagi pertumbuhan  tanaman.   Nitrogen ini berasal dari proses pelapukan dan nitrifikasi yang terdapat dalam bentuk tereduksi maupun oksidasi dalam larutan tanah.  Bahan organik juga memiliki kemampuan menahan air dan membentuk ruang pori tanah yang menyebabkan akar lebih mudah menyerap bahan-bahan terlarut dalam tanah (Sarief, 1986).

Tabel 5.  Berat Hasil Segar  (krop) Akibat Serangan P. brassicae Pada Tanaman Kubis Yang Diberi Bahan Organik (BO) dan Jamur Antagonis  Trichoderma spp. (T) Dalam Media Tanamnya


Perlakuan


Berat hasil segar (kg)
Tanpa T (T0)
0,99 a
T Perakaran Kubis (TA)
1,06 ab
T Perakaran Brokoli (TB)
1,22 c
T Perakaran Sawi Putih (TC)
1,16 bc
MDRS 5%
0,14 -  0,15
Tanpa BO (B0)
0,79 a
BO Kotoran Ayam (B1)
1,12 b
BO Kotoran Kambing (B2)
1,42 c
BO Kotoran Sapi (B3)
1,12 b
MDRS 5%
0,14 -  015
Catatan: Angka pada faktor dan kolom yang sama, dan didampingi huruf yang sama,  tidak berbeda  nyata pada Uji Jarak Duncan (MDRS) 5 %

‘Krop’  kubis yang diambil sebagai hasil tanaman, adalah bagian vegetatif dari tanaman tersebut.  Bagian ini merupakan kumpulan pucuk daun yang sedang mengalami per-tumbuhan pesat (Rukmana, 1994).  Salah satu unsur yang diperlukan untuk menyusun struktur tanaman yang sedang tumbuh adalah nitrogen (Setyamidjaja, 1986).  Semakin tersedia unsur nitrogen di daerah perakaran kubis, semakin baik pula pembentukan krop tanaman kubis sehingga hasilnya menjadi lebih tinggi.  Sumber nitrogen tersedia bagi tanaman selain pupuk buatan dan hasil pengikatan nitrogen oleh bakteri tertentu, juga berasal dari bahan organik yang dapat berupa sisa dekomposisi tumbuhan atau berupa hasil penguraian kotoran ternak.  Bahan organik sisa dekomposisi tumbuhan dan kotoran hewan adalah bahan yang kaya akan unsur nitrogen tersedia (Russell, 1988). 
Pemberian bahan organik sisa dekomposisi kotoran kambing (B2) memberikan hasil krop paling tinggi dibanding dua perlakuan pemberian bahan organik sisa dekomposisi kotoran ayam (B1) dan kotoran sapi (B3), pada semua perlakuan jamur antagonis Trichoderma spp..  Bahan organik sisa dekomposisi kotoran kambing merupakan pupuk kandang yang paling bagus dalam hal kualitas dibanding beberapa pupuk kandang lain.   Persentase kandungan unsur hara bahan organik sisa dekomposisi kotoran kambing paling tinggi dibandingkan dengan bahan organik sisa dekomposisi kotoran sapi, ayam, kelinci atau babi (O’neal, 1987). Selanjutnya O’neal me-nyatakan bahwa untuk untuk memperoleh hasil sayuran dengan kualitas optimal, selain pengendalian hama-penyakit, pemilihan peng-gunaan pupuk kandang juga perlu diperhatikan.  Menurut O’neal, pupuk kandang dari kotoran domba dan kambing selalu menghasilkan tanaman yang relatif lebih sehat dengan tingkat penggunaan pestisida yang rendah.

Berat Segar  Bagian Atas Tanaman Akibat Serangan P. brassicae  Pada Tanaman Kubis Yang Diberi Bahan Organik dan Jamur Antagonis Trichoderma spp. Dalam Media Tanamnya


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma spp. (T) tidak berpengaruh nyata terhadap berat segar bagian atas tanaman. Pemberian bahan organik hasil dekomposisi kotoran beberapa jenis hewan ternak (B) berpengaruh yang sangat nyata terhadap berat segar bagian atas tanaman. Interaksi antara pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma spp. dengan pemberian bahan organik hasil dekomposisi kotoran beberapa jenis hewan ternak (TxB) tidak berpengaruh nyata terhadap berat segar bagian atas tanaman.  Hasil pengamatan berat segar bagian atas tanaman disajikan dalam Tabel  6.   Pada semua perlakuan pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma spp. (T0, TA, TB, dan TC), perlakuan pemberian bahan organik sisa dekomposisi kotoran beberapa jenis hewan ternak (B1, B2, dan B3) berpengaruh lebih baik terhadap berat segar bagian atas tanaman dibanding perlakuan tanpa pemberian bahan organik (B0).  Pemberian bahan organik sisa dekomposisi kotoran kam-bing (B2) memberikan hasil paling baik dibanding dua perlakuan pemberian bahan organik sisa dekomposisi kotoran ayam (B1) dan kotoran sapi (B3).

Tabel 6.  Berat Segar Bagian Atas Tanaman Akibat Serangan P. brassicae  Pada Tanaman Kubis Yang Diberi Bahan Organik (BO) dan Jamur  Antagonis  Trichoderma spp. (T) Dalam Media Tanamnya


Perlakuan
Berat segar bagian atas
tanaman (kg)
Tanpa T (T0)
1,47
T Perakaran Kubis (TA)
1,60
T Perakaran Brokoli (TB)
1,76
T Perakaran Sawi Putih (TC)
1,65
MDRS 5%
tn
Tanpa BO (B0)
2,82 c
BO Kotoran Ayam (B1)
2,10 b
BO Kotoran Kambing (B2)
1,47 a
BO Kotoran Sapi (B3)
2,13 b
MDRS 5%
0,20 -  0,22
Catatan: Angka pada faktor dan kolom yang sama, dan didampingi huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan (MDRS) 5 % ;   tn  = tidak nyata

Pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma spp. tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap berat bagian atas tanaman kubis, karena pada tahap pertumbuhan awal hingga mulai terbentuknya krop, patogen P. brassicae belum mampu menghasilkan gejala penyakit, meskipun sudah mulai merusak akar.  Pada tahap ini tanaman masih mampu menyerap air dan unsurn hara dengan baik kemudian meng-gunakannya untuk pertumbuhan, sampai memasuki tahap dimana perakaran sudah sulit untuk berfungsi normal.  Sebelum mencapai tahap ini pengaruh patogen P. brassicae belum nyata, maka pengaruh jamur antagonis Trichoderma spp. juga belum nyata.
Tanaman kubis dalam penelitian ini diinokulasi dengan bibit penyakit akar bengkak pada umur tujuh hari setelah pindah tanam, ketika tanaman sudah tidak mengalami stagnasi akibat transplanting.  Gejala serangan penyakit akar bengkak P. brassicae  mulai terlihat saat memasuki fase pembentukan krop (40 hst).   Pada tahap ini sudah mulai terlihat adanya hambatan dalam pembentukan krop, yang disebabkan oleh rusaknya akar sebagai akibat serangan P. brassicae.
Bagian atas dari suatu tumbuhan dapat dapat dipandang sebagai bagian tumbuhan yang berada tepat di atas sistem perakaran (Ochse et all, 1986).  Bagian atas tumbuhan juga disebut sebagai sistem pucuk (Loveless, 1987).  Selanjutnya di-nyatakan bahwa sistem pucuk yang khas terdiri atas sebuah batang utama yang menyangga daun, batang, dan kadang-kadang bunga.   Masing-masing bagian dari sistem ini menjalankan fungsinya berkaitan dengan aktifitas hidup tumbuhan.   Connor (1993), menyatakan bahwa perkembangan bagian atas tumbuhan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan termasuk daerah perakaran selain dari kondisi sistem akarnya sendiri. Pertumbuhan dan perkem-bangan bagian atas suatu tumbuhan juga sangat tergantung pada kesuburan media tanam [daerah perakaran] dan tersedianya air.  Faktor yang bisa membatasi pertumbuhan dan perkembangan bagian atas tumbuhan adalah terganggu atau tidaknya fungsi penyerapan air dan unsur hara oleh sistem perakaran. 
Pertumbuhan tanaman kubis hingga saat diambil hasilnya  dapat dilihat mulai dari benih yang berkecambah sampai dengan terbentuknya krop yang keras atau kompak.  Selama kurang lebih 40 hari setelah pindah tanam atau 65 hari setelah semai (tergantung varietasnya), pertumbuhannya cukup pesat. Pesatnya pertumbuhan batang dan daun-daun ini menghasilkan proporsi batang dan daun yang dominan dibandingkan dengan hasil krop.  Hal yang sama juga terjadi pada sistem perakaran (Njeuwhof, 1989).  Menurut Njeuwhof, pada fase ini, kecuali hama, gangguan patogen dapat dikatakan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, kecuali apabila patogen sudah menyerang sejak fase bibit.  Fase ini berlangsung hingga tanaman berumur kurang lebih 35 - 45 hst (tergantung kultivarnya), yang pada fase berikutnya merupakan saat kritis bagi pembentukan krop.  Bila sejak awal sistem perakaran tidak terganggu maka akan memberikan hasil krop yang baik.  Selanjutnya Njeuwhof menyatakan bahwa karena perakaran sudah tidak berkembang lagi, maka bila ada gangguan yang terjadi sebelumnya pada akar akan langsung menghambat pertumbuhan krop. 
Salah satu peranan bahan organik adalah sebagai pengikat agregat sehingga terjadi granulasi dan peningkatan jumlah ruang pori tanah.  Jumlah ruang pori tanah yang cukup akan membantu distribusi akar.  Distribusi akar turut memegang peranan yang menentukan dalam pertumbuhan tanaman.  Distribusi akar yang luas menjadikan permukaannya yang bersentuhan dengan larutan tanah semakin luas, dan dengan sendirinya akan lebih banyak hara yang diserap.  Adsorbsi unsur hara yang baik oleh akar akan menghasilkan pertumbuhan dan produksi yang baik (Hakim dkk, 1986).  Pada tahap dimana pembentukan krop belum terjadi, pertumbuhan bagian atas tanaman kubis berjalan dengan pesat seiring dengan pesatnya distribusi akar.   Kondisi tersebut akan semakin baik apabila tersedia bahan organik yang cukup, sehingga dapat memberikan pengaruh yang sangat nyata pada pertumbuhan bagian atas tanaman. 
Bahan organik sisa dekomposisi kotoran kambing (B2) berpengaruh paling baik terhadap berat segar bagian atas tanaman kubis.  Hal ini disebabkan sifat fisik dan kimia hasil dekomposisi kotoran kambing yang cukup menunjang dalam distribusi akar.   Patric (1995), memperoleh fakta bahwa kandungan gel dalam hasil dekomposisi kotoran kambing paling tinggi dibandingkan dengan yang lain.  Gel atau lendir yang terdapat dalam bahan organik tertentu sangat membantu dalam pembentukan struktur tanah yang sesuai untuk distribusi akar.  Lendir berperan dalam agregasi butiran tanah yang yang dapat meningkatkan ruang pori tanah dan membentuk struktur tanah remah yang mantap (Russell, 1988).  Struktur remah ini memiliki beberapa kebaikan, yaitu keadaan air dan udara yang diperlukan untuk adsorbsi unsur hara dan pernapasan akar tersedia cukup dan seimbang.   Akar menjadi mudah menerobos tanah, gerakan air baik, jumlah air yang ditahan cukup banyak.  Adanya gel atau lendir tersebut dapat mengurangi pencucian unsur hara oleh air [hujan] dan lebih memantapkan strukturnya terhadap penguraian dalam air (Sarief, 1986).  Secara keseluruhan kondisi tersebut cukup baik untuk pertumbuhan tanaman sehingga memberikan hasil yang lebih baik.


KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Pemberian bahan organik hasil dekomposisi kotoran hewan ternak bersama  jamur antagonis Trichoderma spp. dalam media tanam dapat menurunkan  serangan patogen Plasmodiophora brassicae penyebab penyakit akar bengkak pada tanaman kubis dari 85 % hingga menjadi 34 %.  Pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma spp. tanpa disertai penggunaan bahan organik hasil dekomposisi kotoran hewan ternak hanya dapat menurunkan  serangan patogen tersebut dari 85 % hingga menjadi 60,6 %
2.      Serangan penyakit akar bengkak P. brassicae dapat ditekan dengan meningkatkan pH media tanam dari 6,3 hingga minimal 7,01,  yang dapat terjadi dengan penambahan  bahan organik  hasil dekomposisi kotoran      ayam, kambing, dan sapi.
3.      Sumber inokulum Trichoderma spp. yaitu daerah perakaran kubis, daerah perakaran sawi, dan daerah perakaran brokoli tidak berpengaruh nyata dalam  pengendalian P. brassicae penyebab penyakit akar bengkak pada tanaman kubis. 


Saran-saran
Dari hasil penelitian diketahui bahwa penggunaan bahan organik hasil dekomposisi kotoran ternak dan pemanfaatan jamur antagonis Trichodermaspp. dapat menurun-kan intensitas penyakit akar bengkak dari 85 % menjadi 34 %.  Sedangkan pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma spp. tanpa disertai peng-gunaan bahan organik hasil dekomposisi kotoran ternak hanya dapat mengendalikan serangan akar bengkak  dari 85 % menjadi 60,6 %. Berdasarkan hal ini apabila metode pengendalian yang dilakukan dalam penelitian ini diterapkan dalam penanaman di lapangan, maka agar mencapai hasil yang maksimal, pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma spp. perlu disertai dengan penggunaan bahan organik hasil dekomposisi kotoran ternak terutama dari kotoran kambing. 
Metode pengendalian dalam penelitian ini, apabila diterapkan di lapangan, maka dari  10000 tanaman yang ditanam, hasil yang dapat diperoleh hanya berasal dari 6600 tanaman normal.  Meskipun hasil yang diperoleh masih lebih baik dari pada tanpa penerapan metode pengendalian tersebut, penerapannya masih perlu mempertimbangkan biaya penanaman, dan perkembangan harga krop kubis di pasaran.


DAFTAR  PUSTAKA



Abadi, A. L.  1990.  Pemanfaatan Jamur Saprobik Dan Kompos Untuk Pengendalian Layu Fusarium pada Tanaman Tomat.  Jur. Hama dan Penyakit Tanaman Universitas Brawijaya . 2(3): 49 - 59.
Alexopoulos, C.J. and C.W. Mims.  1979.  Introductory Mycology.  Third Edition.  John Wiley & Sons, Inc.  New York.  632 p.
Anonymous. 1990.  Cauliflower and Broccoli (Planting, Protection, Harvest Handling of Cauliflower and Broccoli). Agribusiness Worldwide. No. 2. Vol. 2. March 1990.  Shawnee Mission, Kansas. U.S.A.
Baker, K.F.  and R.J.  Cook.  1974.  Biological Control of Plant Pathogens.  W. H.  Freeman and Co.  San Fransisco.  433. p.
Barnett, H.L. and B.B. Hunter.  1972.  Illustrated Genera of Imperfect Fungi.  Second Edition.  Burgess Publishing Company.  Minneapolis. USA.  225 p.
Bohlen, E. 1987.  Crop Pest in Tanzania and Their  Control.  Paul Parey . Berlin.     136 p.
Cook,  A. A. 1978.  Disease of Tropical and Sub-Tropical Vegetables and Other Plants.  Hafner.  New York.  256 p.
Cook, R.J. and K.F.  Baker.  1989.  The Nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogens.  The American Phytopathological Society.  St. Paul.  Minnestosa.  539 p.
Davidson, R. M. Jr.  1990.  Club Root Of Cabbage And Other Crucifers.  Agricultural Research Technology.  WSU  Puyallup.  Puyallup.  WA.
Deacon, J. W.  1997.  Modern Mycology.  Blackwell Science Ltd.  Third Edition.  303 p.
Dennis, C.  and J. Webster.  1971.  Antagonistic Properties of Species - Group of Trichoderma I.  Production of Non Volatile Antibiotic.  Trans. Br.  mycol. Soc 57: 25 - 39
Djatnika.  1991.  Pengaruh Ekstrak Gulma Terhadap Patogenisitas Plasmodiophora brassicae Wor. Pada Tanaman Petsai.  Buletin Penelitian Hortikultura.  Vol XXI.  No. 1.  1991.
____________.   Pengaruh Mortierella  sp., Trichoderma sp. Dan Media Tumbuhnya Terhadap Serangan Plasmodiophora brassicae W. Pada Kubis.   Buletin Penelitian Hortikultura.  Vol XXI.       No. 2. 1991.
Djatnikan.  1992.  Pengaruh Trichoderma harzianum Terhadap Pertumbuhan Fusarium pada Media Biakan.  Bulletin Penelitian Hortikultura.                      Vol. XXI No. 3.  1992
Djauhari, S dan M.  Martosudiro.  1995.  Pengendalian Hayati Menggunakan Trichoderma sp.  Terhadap Penyakit Antraknose pada Cabe (Capsicum annum):  Pengaruh Ekstrak Medium Alam.  Fitopatologi 33(2):30-38
Holliday, P.  1980.  Fungus Diseases of Tropical Crops.  Cambrigde University Press.  338 p.
Jansen, C.J.  1995.  Field Guide To Observe Club Root Disease Of Cruciferas Crop.  The Mac Millan Company.  104 p.
Mathew, R.H.  1989.  Modern Methods for Pest Management.  The Iowa State University Press. USA.  351 p.
Mihuta, L.G. and R.C. Rowe.  1986.  Trichoderma spp. As Biocontrol Agents of Rhizoctonia Damping-off of Radish in  Organik Soil an Comparison of Four Delivery Systems.  Phytopathology 76:  306-312
Njeuwhof, M.  1989.  Cole Crop.  Leonard Hill.  London.  143 p
Ochse, J.J., Soule, M.J. Jr. Dijkman, M.J. Wehlburg, C.  1986. Tropical and Subtropical Agricuture. 2nd Edition.  The MacMillan Company, New York.  249 p.
Papavizas.  C.G.  1985.  Trichoderma sp. and Gliocladium sp. :  Biology, Ecology, and Potential for Biocontrol.  Annual Review.  Phytopathology 233:  23 - 54.
Patric, A.M.  1995.  Soil Conservation Material In Horticulture Farm.  Longman Group UK. Ltd.  England. 243 p.
Rao, S. N. S.  1994.  Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman,  ed. 2.  Penerbit Universitas Indonesia.  Jakarta.
Reuszer, H. W.  1957.  Compos, Peat, and Sewage Sludge  In A Stefferud  Soil .  The 1957 Year Book of Agriculture, pp. 237 - 245.  The United State Goverment Printing Office.  Washington D.C..  USA.
Rukmana, R. 1992.  Akar Bengkak Mengancam Produksi Kubis.  Sinar Tani.  5 Februari1992. hal: 18
Sanchez, P.A. 1994.  Properties and Management of Soils in Tropics.  John Wiley.  New York.  156 p.
Sarief, S.  1986.  Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian.  Pustaka Buana.  Bandung.  182 hal.
Sastrahidayat, I.R.  1992.  Ilmu Penyakit Tumbuhan.  Usaha Nasional Surabaya.  265 hal.
Semangun, H.  1994.  Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura Di Indonesia.  Gadjah Mada University Press.  Yogyakarta.  624 hal.
Sherf, A.F.  1991.  Club Root of Cabbage.  Field Guide to Grow Cabbage In Infected Soil.  Greenforce Horticulture Dept. Virginia. U.S.A.  3p.
Staples, R.C. and Toenniessen, G.H.  1981.  Plant Disease Control.  A Wiley-Interscience Publication.  John Wiley & Sons.  New York.  339 p.
Suryaningsih, E.  1993.  Penyakit Fungi pada sayuran di Lapangan.  Makalah  disampaikan pada Pelatihan PHT Petugas Pemasaran PT Sarana Agropratama di Balithor Lembang.       56 hal.
Wagner,  J.E.  1993.  The Antogonistic Potency of Several Fungus Species In Cultivated Soil In Tropics.  Tata McGraw-Hill Pub. Co., Limited.           New Delhi.  218 p.

EASYHITS4U

Link akun paypal Untuk transaksi bisnis anda yang lebih mudah

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

PINGLER.COM