Apakah mungkin membatasi dampak negatif pembalakan kayu pada
ketahanan pangan dan pendapatan masyarakat pedesaan yang bergantung
pada hasil hutan nonkayu (HHNK)? Walaupun terdapat sejumlah tantangan
yang signifikan, sebuah studi multiwilayah yang dilakukan oleh Lucy
Rist dan koleganya baru-baru ini pada edisi khusus Forest Ecology and Management, yang
menunjukkan akibat negatif pentingnya HHNK bagi penghidupan setempat
dapat dikurangi, khususnya jika masyarakat yang terkena dampak
diberikan peran yang lebih besar dalam keputusan terkait hutan yang
mereka manfaatkan.
Untuk memperoleh salinan penelitian oleh Rist,
L., Shanley, P., Sunderland, T., Sheil, T. Ndoye, O., Liswanti, N. dan
Tieguhong, J. 2011 “The impacts of selective logging on non-timber
forest products of livelihood importance” Forest Ecology and Management, kunjungi http://www.cifor.org/nc/es/online-library/browse/view-publication /publication/3520.html.
|
Artikel yang berjudul “The impacts of selective logging on non-timber
forest products of livelihood importance” mengumpulkan berbagai
pengetahuan yang ada untuk menyoroti pemahaman terkini tentang dampak
pembalakan kayu terhadap penghidupan hutan dan menyarankan arah
penelitian dan kebijakan mendatang. Menurut para penulis, untuk
menemukan solusi perlu dilakukan identifikasi tentang bagaimana
keluarga yang bergantung pada hutan beradaptasi pada perubahan
penghidupan yang disebabkan oleh pembalakan kayu.
Walaupun telah banyak perdebatan seputar mengurangi dampak pembalakan
terhadap pemanenan kayu dan ekosistem hutan di masa mendatang, hanya
sedikit penekanan diberikan kepada konsekuensi pembalakan terhadap
penghidupan di pedalaman atau keserasian sistem pengelolaan hasil hutan
kayu dan hasil hutan nonkayu. Rist dan para koleganya telah
mengidentifikasi dan meninjau 38 artikel akademis yang meneliti
interaksi antara pemanfaatan hasil hutan kayu dan hasil hutan nonkayu.
Mereka menemukan bahwa sebagian besar artikel (31, atau 82%) menyoroti
dampak negatifnya. Di antaranya adalah, berbagai “dampak tidak
langsung”, di mana pembalakan yang mengubah struktur, komposisi dan
fungsi hutan yang secara tidak sengaja telah mempengaruhi HHNK
merupakan mekanisme dampak yang paling umum (dikutip dalam 22 artikel
atau 58% yang mengidentifikasi dampak negatif), diikuti oleh “konflik
dampak pemanfaatan” (dikutip dalam 17 artikel, atau 40%) di mana
spesies dihargai sebagai kayu maupun sebagai HHNK.
Mengingat beberapa dari artikel tersebut didasarkan pada analisa
kuantitatif, para penulis memperluas contoh kecil mereka dengan
memanfaatkan studi kasus dari Brasil, Kamerun dan Indonesia untuk
mengilustrasikan implikasi dampak pembalakan terhadap masyarakat yang
bergantung pada hutan. Mereka memandang bahwa konflik pemanfaatan
merupakan dampak mekanisme yang paling problematik, mengingat
pembalakan menyebabkan hilangnya sejumlah spesies atau mengurangi
ketersediaan species. Menyelesaikan konflik-konflik semacam itu akan
membutuhkan imbal balik yang signifikan, menunjukkan bahwa “ini
berujung pada kerugian dan keuntungan siapakah yang muncul dalam
pembuatan keputusan”.
Para penulis mengidentifikasi beberapa alasan di balik kurangnya
perhatian yang diberikan para akademisi dan pembuat kebijakan terhadap
dampak pembalakan bagi HHNK. Sebab kayu sering diasumsikan sebagai
produk hutan yang lebih bernilai, sehingga mendapatkan perhatian lebih
dalam pengelolaan dibandingkan HHNK. Selain itu, penelitian yang bias
terhadap sejumlah komoditas yang diperdagangkan secara internasional
dibandingkan dengan hasil hutan yang dimanfaatkan dan diperdagangkan
secara lokal secara rutin oleh masyarakat terpinggirkan. Ditambah lagi,
pentingnya nilai sosial ekonomi dan budaya HHNK bagi rumah tangga di
pedesaan dan perkotaan seringkali terlalu diremehkan. Mengingat
ketahanan pangan menjadi isu yang semakin penting, maka semakin
meningkat pula perlunya pemahaman tentang bagaimana pembalakan dapat
mempengaruhi sistem nutrisi yang bersumber dari hasil hutan, semisal
HHNK.
Walaupun imbal balik yang diperhitungkan dapat teramati dalam
beberapa studi kasus, sejumlah contoh tersebut juga menunjukkan jalan
yang potensial untuk meningkatkan kesesuaian antara kayu dan HHNK.
Contohnya, membatasi jumlah dan intensitas kejadian pembalakan dapat
menjadi faktor penentu dalam menentukan jenis dan tingkat keparahan
dampak. Dalam beberapa kasus, memisahkan wilayah-wilayah yang penting
untuk pengumpulan HHNK dan tidak memisahkan kegiatan pembalakan dapat
secara efektif mempertahankan sumber-sumber penghidupan yang penting.
Hasil semacam itu akan lebih mungkin tercapai jika masyarakat memiliki
kendali dan pengaruh yang lebih besar dalam pengambilan keputusan. Ini
dapat terjadi karena organisasi sosial yang kuat, hak kepemilikan
diakui, dan implementasi kebijakan yang tepat. Sayangnya, pada banyak
wilayah hutan tropis, kondisi-kondisi semacam itu tidak dijumpai atau
baru muncul.
Meskipun lebih mudah menyalahkan pembalakan, para penulis menekankan
bahwa pembalakan yang bertanggung jawab dan peduli ekologis dapat
menjadi sumber manfaat bagi penghidupan maupun menurunnya sumber daya
penting bagi penghidupan. Terdapat sejumlah cara untuk memastikan bahwa
konsekuensi yang merugikan tidak terlalu dibebankan kepada masyarakat
yang bergantung pada hutan. Namun hal ini akan membutuhkan penelitian
yang lebih sistematik oleh para peneliti maupun tindakan para pembuat
kebijakan untuk memastikan bahwa masyarakat yang bergantung pada hutan
dapat berperan secara lebih proaktif dalam pengelolaan dan memiliki
informasi yang cukup untuk membuat keputusan.
Penelitian seharusnya memasukkan sejumlah pertanyaan dan kebutuhan
yang muncul dari masyarakat, dan pendekatan-pendekatan pembangunan
seharusnya ditentukan berdasarkan praktik-praktik pengelolaan
pemanfaatan lahan yang menyediakan titik-titik awal untuk perencanaan
pengelolaan hutan yang lebih luas. Selanjutnya, penelitian seharusnya
mengklarifikasi perubahan kerentanan masyarakat hutan setelah kejadian
pembalakan dan mengidentifikasi strategi-strategi adaptasi dan
penanggulangan atas penghidupan yang terkait. Seperti yang disimpulkan
oleh Rist dan para koleganya, apabila penelitian semacam itu
mengindikasikan masyarakat dapat beradaptasi terhadap perubahan maka
kekhawatiran dapat dikurangi, namun jika tidak, kita perlu memahami
konsekuensi atas hilangnya pendapatan, berkurangnya ketahanan pangan,
dan dampak-dampak negatif terhadap kesehatan dan kesejahteraan jangka
panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar