Tempat Pengolahan Sampah (TPS) adalah senjata terakhir pemerintah kota dalam mengelola sampah kotanya, namun hingga kini TPS-bagi masyarakat-bukan sesuatu yang layak dikenal.
Citra TPS sebagai tempat yang kotor dan-sangat mungkin-menjadi sumber penyakit menjadikan penolakan warga akan keberadaan TPS di lingkungannya menjadi dapat dimengerti. Keberadaan teknologi yang menjamin sistem pengolahan sampah yang bersih dan aman, tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu solusi yang harus bisa disosialisasikan kepada masyarakat. Namun di samping itu, tampilan fisik dan program ruang sebuah TPS juga dapat merubah citra buruknya di mata masyarakat. Untuk itu, beberapa kota dunia-seperti New York, Paris, dan Vienna-memanfaatkan kemampuan arsitektur untuk memperbaiki citra sekaligus merubah persepsi masyarakat terhadap tempat pengolahan limbah tersebut. Jepang-salah satu negara maju yang menerapkan aturan ketat mengenai sampah-juga memiliki Naka Waste Incineration Plant di Hiroshima dan Maishima Incineration Plant di Osaka yang dapat dijadikan contoh usaha tersebut.
Kedua fasilitas Incineration Plant ini selesai dibangun tahun 2004 (Hirsohima) dan 2001 (Osaka) untuk melengkapi fasilitas pengolahan sampah di masing-masing kota. Pada kedua fasilitas ini, tampilan fisik benar-benar berhasil “menipu” persepsi masyakarat tentang fungsi yang bekerja di dalamnya. Citra arsitektur kontemporer dengan bentuk asimetris-geometris, non-dekoratif, dan metal sebagai kulit bangunan Hiroshima Naka Waste Incineration Plant menimbulkan citra bangunan yang megah, bersih dan formal yang sangat bertolak belakang dengan citra fasilitas pengolahan limbah selama ini. Yoshio Taniguchi, arsitek yang sangat terkenal dengan desain-desain museumnya-termasuk Museum of Modern Art (MoMA) New York-bahkan dengan bangga menyebut Hiroshima Naka Waste Incineration Plant sebagai desain “museum of garbage“nya. Pendekatan yang sama, namun dengan eksekusi yang berbeda terlihat di Osaka City Environmental Management Bureau’s Maishima Incineration and Water Treatment Plants, yang didesain oleh arsitek konservasi lingkungan terkenal dari Austria, Meister Friedensreich Hundertwasser. Fasilitas pengolahan sampah ini tampil bagai lukisan di atas kanvas sehingga lebih layak diduga sebagai theme park. Bentuk bangunan yang lebih dinamis, material yang sangat bervariasi, permainan bentuk dan warna pada elemen-elemen bangunan (jendela, pintu, langit-langit) serta penghijuan berhasil menyampaikan pesan positif “the harmony between ecology, technology, and art” yang ingin disampaikan oleh arsitek melalui fasilitas ini. Namun, kedua fasilitas ini menjadi lebih istimewa karena memang dibangun untuk memberikan “pelayanan” kepada masyarakat dan menjadi bagian dari masyarakat.
Fungsi publik dalam fasilitas pengolahan limbah
Usaha awal yang dilakukan pemerintah kota Hiroshima dan Osaka adalah dengan memasukkan fungsi incineration plant ini kedalam visi dan misi serta rencana infrastruktur pembangunan kawasan atau kota. Hiroshima Naka Incineration Plant tidak lain adalah bagian dari rencana kota Hiroshima untuk membangun infrastruktur-infrakruktur sosial kota sebagai bagian dari proyek “Hiroshima 2045: the city of Peace and Creation” sekaligus memperkuat tema “The Water City Hiroshima.“ Begitu juga Osaka Maishima Incineration Plant-yang berada tepat di pintu masuk pulau buatan ini-tidak lain adalah bagian penting dari masterplan kawasan Maishima sebagai “Maishima Sports Island” dan juga pendukung kota Osaka untuk memenangkan persaingan sebagai tuan rumah Olympiade Musim Panas 2008-yang direncanakan berpusat di pulau Maishima tersebut-saat itu.
Bangunan Hiroshima Naka Incineration Plant yang terdiri dari 1 lantai basement, 7 lantai kantor pengelola dan 1 lantai penthouse hanya menempati 27 persen dari luas total tapak sebesar 50,200m2, sementara sisanya didedikasikan bagi masyarakat dan kota Hiroshima dalam wujud waterfront park. Bangunan tersebut dibagi menjadi tiga zona oleh Taniguchi, dimana salah satu zona yang berada di bagian tengah disulap sebagai zona publik. Zona publik yang terdiri dari atrium dan dikelilingi oleh koridor viewing gallery ini memungkinkan masyarakat dapat melihat isi dari “perut” incinerator ini, serta pemandangan laut, pelabuhan dan kota Hiroshima. Kemudian, Taniguchi menempatkan walkway ecorium sepanjang 400 kaki menembus atrium tersebut. Ecorium ini memiliki fungsi istimewa sebagai media informasi bagi masyarakat yang ingin mengetahui urutan proses dan teknologi pengolahan yang dimiliki; menghubungkan pemukiman dengan waterfront park baru yang berada di sisi selatan bangunan; dan juga memainkan peran simbolik sebagai gerbang yang menghubungkan laut dengan kota Hiroshima. Terakhir, fungsi ekologis fasilitas bagi kota dan kawasan sekitarnya ini dipertegas dengan ditanaminya pepohonan disekeliling bangunan dan juga di dalam atrium.
Begitu pula bangunan 7 lantai Osaka Maishima Incineration Plant membuka dirinya untuk masyarakat yang ingin mengetahui fasilitas pengolahan sampah ini sekaligus belajar mengenai manajeman pengolahan sampah kota Osaka. Masyarakat hanya perlu mendaftarkan diri satu minggu sebelumnya untuk mengikuti tour tersebut. Bangunan juga dibagi ke dalam 3 zona, dan Hundertwasser meletakkan lobby dan visitor observation deck di bagian tengah bangunan untuk memberi kesempatan bagi pengunjung melihat sebagian proses pengolah sampah berteknologi tinggi tersebut dan membuktikan bahwa sebuah TPS bisa menjadi tempat yang sangat bersih, indah dan berkesan modern. Dari luar, mosaic keramik, dan bentuk organis serta warna-warni semua elemen bangunan menjadi strategi tersendiri untuk mempercantik kawasan ini. Proses pendataan setiap truk-truk sampah yang masuk dan keluar fasilitas ini juga bisa disaksikan masyarakat dari luar bangunan. Fasilitas ini tidak luput dari unsur penghijauan yang berada di taman-taman yang mengelilinginya, di atap bangunan serta pohon-pohon yang menjulur keluar dari jendela-jendela bangunan.
Apa yang dilakukan oleh kedua fasilitas ini adalah mendekatkan diri kepada masyarakat dan membawa masyarakat menjadi satu bagian dari fasilitas dan permasalahan sampah kota, sehingga dengan menginformasikan proses pengolahan sampah, produksi sampah setiap hari nya, diharapkan mampu membuat masyarakat lebih sadar dalam mengelolah sampah nya.
Jumat, 24 September 2010
Wisata Dan Studi Lingkungan Hidup Warga RT 6 RW 8 Kelurahan Sawunggaling Berlangsung Meriah
Besarnya antusiasme warga itu ditunjukkan dengan kerelaan mereka untuk duduk berpangkuan mengoptimalkan 2 mini bus yang disediakan khusus oleh pemerintah kota Surabaya – Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya. “Sedianya 2 mini bus yang digunakan ini hanya berkapasitas maksimal 40 kursi. Namun, orang tua yang berminat ikut tetap diperkenankan dengan memangku anaknya. Tambahan beberapa kursi panjang pun sengaja ditempatkan di kedua mini bus itu oleh warga,” tambah Bram Azzaino.
Disampaikan Karjono bahwa TPA itu beroperasi sejak tahun 2001. “Peran serta aktif warga Kota Surabaya sangat diharapkan untuk memperpanjang waktu beroperasinya TPA Benowo ini,” kata Karjono. Caranya, dengan sedapatnya mengolah sampah yang dihasilkan. “Dengan demikian jumlah sampah yang dikirim setiap harinya ke TPA ini berkurang. Bila setiap hari 1200 ton sampah warga Kota Surabaya dikirim ke TPA ini seperti saat ini, maka umur TPA ini tidak akan lebih dari lima tahun. Setelah itu, kita diharuskan mencari lahan baru untuk TPA sampah,” terang Karjono.
Kurang dari lima menit berada di terminal zona aktif itu, dari sekitar 30 menit waktu yang disediakan, rombongan lantas mengusulkan untuk meneruskan perjalanan ke lokasi kunjungan selanjutnya. “Anak-anak dan ibu-ibu banyak yang muntah dan mau pingsan, Mas. Mereka gak kuat dengan sangat menyengatnya bau sampah di lokasi ini,” kata Slamet Hariadi, koordinator kelompok swadaya masyarakat RT 6 RW 8 Kelurahan Sawunggaling di yang menyertai rombongan.
Beberapa menit setelah menginjakkan kaki di kampung Gundih, beberapa komentar positif pun dilontarkan oleh ibu-ibu dari Kelurahan Sawunggaling ini. “Bu RT, coba lihat tanaman-tanaman dalam pot yang sangat banyak dipelihara di kampung ini. Sebenarnya tanaman-tanaman itu bukan tanaman yang harganya mahal. Namun, jumlahnya banyak dan pengaturannya sangat bagus sehingga kesannya sangat eksklusif,” kata salah satu ibu kepada Siti Aminah yang istri ketua RT 6 RW 8 Kelurahan Sawunggaling. “Ayo, Bu RT, kita buat kampung kita seperti ini,” lanjut ibu itu.
Di kampung Gundih itu rombongan tidak hanya disuguhi dengan keadaan kampung yang bersih dan hijau dengan tingginya partisipasi aktif seluruh warga kampung itu. Rombongan juga banyak mendapat penjelasan tentang instalasi pengolahan air limbah rumah tangga yang dibuat oleh warga kampung. “Instalasi pengolahan ini sangat sederhana. Cara kerjanya sangat alami. Namun, dampaknya sangat besar. Kami tidak khawatir tagihan air PDAM menjadi mahal karena tingginya perawatan seluruh tanaman di kampung ini. Kami mengolah air limbah dari seluruh rumah warga untuk bisa layak digunakan menyiram tanaman,” kata salah seorang pengurus pengolahan air limbah di kampung itu.
Langganan:
Postingan (Atom)