- A. Sistem Pengelolaan Sampah ITB
- 1. Pembagian Tempat Sampah
Pembagian tempat sampah di ITB dibagi menjadi dua, yaitu
- sampah yang dapat membusuk (warna hitam)
Sampah yang Membusuk
- sampah yang tidak dapat membusuk (warna putih)
Sampah yang Tidak membusuk
- 1. Sistem Pengangkutan
- 2. Sistem pengolahan
Berikut beberapa alat yang digunakan untuk mengolah sampah di PPS ITB:
- Insenerator, berfungsi untuk membakar sampah kertas, plastik dan sampah-sampah lain kecuali sampah organik dan sampah yang dihasilkan oleh kantin yang berupa sayuran atau sisa makanan.
- Chopper, berfungsi untuk menggiling kompos menjadi ukuran yang sama.
Pengolahan sampah-sampah tersebut dapat dilihat di tabel dibawah ini :
Bahan | Pengolahan |
Organik dan daun | Composting |
Plastik dan anorganik | Sebagian dibakar di incinerator dan sebagian di daur ulang |
Botol | Dipisahkan dan dijual |
Tas kresek | Langsung dibakar di incinerator karena pemisahannya sulit dilakukan |
Kertas | Sebagian dibakar, sebagian didaur ulang |
Sampah aseptic | Sejauh ini hanya dibakar |
Pada intinya, kebanyakan sampah anorganik cenderung dibakar daripada diolah kembali karena sulit untuk dilakukan dan keterbatasan tenaga kerja. Keuntungan dari pengolahan sampah ini sendiri tidak begitu terasa, karena sangat kecil. Pada dasarnya pengolahan sampah ini hanya ditujukan untuk membersihkan wilayah kampus ITB dan sekitarnya.
- 3. Proses Komposting
Ada 2 teknologi yang digunakan dalam pengolahan sampah melalui pengomposan di PPS ITB, yaitu
sistem windrow dan
sistem pengomposan dipercepat (accelerated composting).Pada proses pengomposan, pasokan oksigen harus selalu dijaga karena pengomposan yang dilakukan bersifat aerob, oleh karena itu, pengomposan tidak boleh dilakukan di tempat tertutup. Wadah yang digunakan dalam penngomposan ini adalah bak-bak terbuka yang dijajarkan. Pengomposan aerob ini lebih baik dibandingkan dengan pengomposan anerob. Hal ini dikarenakan pada pengomposan yang ditutup rapat (anaerob) dapat terbentuk racun dan juga gas yang bau, seperti H
2S.
Materi yang dikomposkan adalah materi organik yang berasal dari sampah makanan dari kantin ITB, sampah daun-daun kering, sampah potongan rumput, dan lain-lain. Namun, tidak semua bahan organik yang dapat dijadikan materi kompos. Contohnya kayu, lemak (daging) tidak baik untuk dikomposkan. Jika daging dicampurkan ke dalam kompos, maka akan muncul belatung.
Komposisi sampah yang akan dikomposkan perlu diperhatikan karena untuk menghasilkan kompos yang berkualitas tinggi harus memperhatikan komposisi
Carbon dan
Nitrogennya. Carbon diperoleh dari sampah yang sudah mati dan kering, misalnya daun kering, sedangkan Nitrogen didapat dari sampah yang masih segar, yaitu sampah kantin dan potongan rumput yang masih segar. Jadi pada PPS ITB ini, adanya daun-daun kering sangat diperhatikan.
Sistem Windrow merupakan teknologi yang sangat sederhana dan mudah dilakukan. Materi kompos dibiarkan ditumpuk dan terdekomposisi secara alamiah. Proses pengomposan ini dibantu oleh mikroorganisme yang dalam kegiatannya menghasilkan panas. Panas yang terbentuk kemudian membunuh bakteri patogen. Agar proses pengomposan tetap aerob, maka tumpukan sampah harus diaduk secara berkala agar daerah atau zona yang tak teraliri oksigen mendapat pasokan oksigen. Zona yang terbentuk pada sistem Windrow adalah sebagai berikut:
v
Zona 1 merupakan zona anaerob karena terletak di tengah bagian bawah tumpukan sampah sehingga oksigen tidak bisa masuk.
v
Zona 2 merupakan zona dimana kegiatan biologi terjadi paling aktif dimana oksigen bisa masuk. Suhu pada zona ini paling panas dibandingkan zona yang lain. Zona ini adalah zona dimana proses pengomposan paling optimum.
v
Zona 3 merupakan zona aerob juga, namun aktifitas bakteri tidak setinggi di zona 2, begitu pula suhunya tidak sepanas zona 2.
Pada sistem Windrow membutuhkan waktu 2—3 minggu untuk mencapai kompos setengah matang, dan membutuhkan waktu 3—4 bulan berikutnya untuk menghasilkan kompos matang.
Teknologi lain yang digunakan dalam pengomposan di PPS ITB ini adalah
sistem pengomposan dipercepat. Percepatan dilaksanakan pada proses pembuatan kompos setengah matang. Pada pengomposan ini, proses pengomposan alamiah yang memakan waktu sekitar 3 minggu bisa menjadi 1 minggu. Prinsipnya adalah peningkatan kualitas bahan baku kompos dan aktifitas bakteri pengurai. Untuk mempercepat proses pengomposan maka dilakukan pemotongan sampah dan ditambahkan bakteri. Pemotongan sampah yang dilakukan di chopper dimaksudkan untuk memperkecil ukuran partikel sampah sehingga ”lahan kerja” bakteri lebih banyak.
Pada pengomposan di PPS ITB, kenaikan temperatur yang menandai terjadinya proses pengomposan tidak dikontrol setiap saat. Petugas PPS dapat memperkirakan suhu kompos tetap berada di ”angka aman”, maksudnya dimana suhu tidak terlalu rendah atau terlalu tinggi. Suhu rendah dapat menyebabkan pengomposan akan lama, sedangkan suhu yang terlalu tinggi (60 – 70)°C dapat menyebabkan pecahnya telur insek dan matinya bakteri-bakteri patogen yang biasanya hidup pada temperatur mesofilik. Kenaikan temperatur ini merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan karena menandakan berhasil atau tidaknya proses pengomposan. Namun penurunan suhu juga dapat menandakan bahwa proses pengomposan sudah selesai atau kompos telah jadi.
Skema sederhana diatas menggambarkan diagram alir proses composting. Produk komposnya diberi nama
Kompos Ganesha.
Kapasitas produksi kompos ini adalah 0,5-1 ton/hari. Komposisi produk komposnya adalah sebagai berikut :
- Sampah organik (daun, rumput, sampah kantin)
- Mikroorganisme
- Dedak 1 %
- Nutrisi 0,1 %
Penggunaan kompos ini secara umum dalam perbandingan 1 : 4 dengan tanah. Kompos ini dijual dengan harga Rp 2800/karung plastik atau Rp350 / kilogram. Hasil kompos ini biasanya dijual ke masyarakat, toko bunga, dinas pertamanan, dan pertanian.
Catatan :
- Penghancuran daun dilakukan dengan penggilingan.
- Komposting dilakukan dengan penumpukan sambil disiram air, dan setiap hari tumpukan tersebut harus dibolak-balik.
- Indicator keberhasilan composting ini adalah terasa panas ketika dibolak-balik (pada dasarnya, sama dengan prinsip takakura).
Sejak sampah masuk, penggilingan, sampai proses composting selesai memakan waktu ± 40 hari. Komposting di ITB juga didukung oleh factor-faktor sebagai berikut :
· Mikroba, yaitu simbal yang diperoleh dari Pak Nyoman, dosen SITH.
· NPK dan Zeolit, hanya ditambahkan jika ada permintaan dari konsumen.
· Dedak (sisa padi), diperoleh dari sisa pertanian
1. Insinerator
Pada dasarnya insinerator digunakan untuk mengolah sampah-sampah yang tidak diolah kembali (sampah anorganik). Insenerator dioperasikan pada suhu ± 800o C. Sebelum dioperasikan mula-mula incinerator dipanaskan dengan bahan bakar diesel (solar). Setelah cukup panas, pemanasan dilanjutkan dengan memanfaatkan angin dari blower (sejenis kipas yang digerakkan dengan energi listrik).
Baru-baru ini insinerator ITB yang lama mengalami sedikit kerusakan. Akibatnya, terpaksa dibeli insinerator yang baru dengan dana dari pemerintah. Harga incinerator yang baru ini 370juta rupiah. Sementara ini insinerator yang lama masih dipakai sambil diperbaiki, sedangkan insinerator yang baru dalam tahap pemasangan. Menjelang selesainya pemasangan insinerator baru, insinerator yang lama masih tetap dipakai. Jadi beberapa saat lagi ITB akan memiliki dua incinerator, walaupun insinetator yang lama kerjanya sudah tidak begitu optimum. Berdasarkan hasil wawancara, insinerator yang baru akan mulai dioperasikan sekitar pertengahan Desember nanti.
Kelemahan :
a. Dalam proses pembakaran insinerator tersebut menghasilkan kelebihan air dan asap yang keluar dari input tempat memasukkan sampah, dan kelebihan air yang keluar dari sistem.
b. Insinerator ITB merupakan jenis insinerator modular (skala kecil). Pengoperasiannya dilakukan secara batch. Pemasokan limbah dan pengeluaran abu dilakukan secara manual.
c. Dinding insinerator harus tahan panas dan tidak menyalurkan panas keluar. Hal ini dimaksudkan agar dapat menghemat bahan bakar dan mempertahankan temperatur di dalam sistem. Insinerator di ITB tidak seperti itu.
d. Pengeluaran air yang berlebih pada unit pemisah abu dikarenakan oleh ketidakcermatan dalam pengontrolan pemasukkan air (peralatan yang kurang lengkap).
e. Semakin tinggi cerobong maka udara panas yang keluar akan semakin tersebar baik ke lingkungan. Kelebihan asap yang keluar dari input sistem disebabkan pembakaran yang kurang sempurna (kadar air pada sampah sangat tinggi). Seharusnya sampah yang basah dimasukkan ke mesin pengering terlebih dahulu. Tetapi kenyataan yang terjadi di lapangan tidak demikian karena unit pengolahan sampah terbatas.
2. Kendala-kendala yang Dihadapi
· Pengolahan Styrofoam sangat sulit dan berbahaya untuk dilakukan. Karena pembakaran styrofoam baru akan sempurna pada suhu yang relatif tinggi. Padahal suhu yang tinggi itu sulit dicapai.
· Pemilahan belum dilakukan oleh sumber penghasil sampah
· Ketidaktersediaan wadah sampah yang baik dan memadai
· Kurangnya bahan bakar (minyak tanah)
· Kerusakan alat, seperti insinerator dan chopper
· Pemakaian insinerator ditujukan pada semua jenis sampah
· Tiadanya mesin pengering untuk penanganan sampah anorganik dalam kondisi basah
· Bidang Sarana dan Prasarana kurang memprioritaskan pengelolaan sampah dalam anggaran pengeluaran
· Keterbatasan ruang di lokasi pembakaran sampah
· Ketidakdisiplinan pekerja operasional di lokasi PPS
· Bahan-bahan kimia bekas praktikum dan B3 sulit diolah dan berbahaya jika tidak sengaja terbakar dalam insinerator. Bahaya-bahaya yang sudah pernah dialami oleh pihak pengolahan sampah adalah sebagai berikut :
o Luka dimata
o Kulit gatal-gatal
o Akumulasi zat kimia dalam tubuh
o Alergi
Bahan kimia ini sering ditemukan di depan gedung biologi dan di laboratorium fisika bagian atas.
3. Solusi yang dapat ditawarkan
Dalam menghadapi sistem yang salah perlu dilakukan perubahan mendasar, yang lebih dikenal dengan istilah reformasi.
a. Melakukan perubahan paradigma terhadap penanganan sampah.
Sampah adalah tanggung jawab masing-masing atau komunal, pengelolaannya harus dijadikan sebagai gaya hidup, walau tujuan ini harus melalui proses yang sangat panjang. Kesadaran komunitas kampus, mahasiswa, dan pegawai, perlu ditingkatkan. Pemilahan harus dilakukan saat membuang sampah agar memudahkan proses penanganan selanjutnya. Memilih langkah pengomposan dan daur-ulang adalah cara yang terbaik. Penanganan sampah semacam ini tentu dapat memberi nilai ekonomis bagi institusi.
b. Jika ITB masih percaya penggunaan insinerator dalam mereduksi sampah adalah jalan terampuh, maka perlu dilakukan langkah-langkah berikut:
§ Peningkatan kesadaran mahasiswa dan pegawai ITB tetap harus dilakukan agar pemilahan sedari sumber tercapai.
§ Stakeholder termasuk orang-orang yang bekerja di lokasi PPS, harus mengerti dalam mengelola tiap jenis sampah
§ Pihak Bidang Sarana dan Prasarana memberi perhatian lebih dalam meningkatkan biaya operasional insinerator
§ Penyediaan ruang pembakaran yang luas, jenis, dan jumlah wadah sampah yang memadai, dan peralatan operasional yang baik
§ Perlu melakukan perancangan wadah sampah yang mudah dari segi pengumpulan dan pemindahan
§ Peningkatan sumber daya manusia di PPS Kampus ITB
§ Adanya kontrol secara berkala oleh pihak pengelola agar pengolahan sampah sesuai dengan prosedur
§ Adanya komunikasi yang baik antara pekerja di lapangan dengan pihak pengelola di ITB agar setiap permasalahan yang muncul dapat segera ditangani