PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK
DAN JAMUR ANTAGONIS Trichoderma spp.
TERHADAP PENYAKIT AKAR BENGKAK (Plasmodiophora brassicae Worr.)
PADA TANAMAN KUBIS
The Effect
Of Organic Matter And Antagonistic Fungi Trichoderma spp. Use Againts Club Root
Disease (Plasmodiophora
brassicae Worr.) In Cabbage.
Djoko Amiono Legowo
Mahasiswa
Program Pascasarjana, Unibraw
Siti Rasminah dan Liliek Sulistyowati
Dosen
Fakultas PErtanian, Unibraw
ABSTRAK
Peningkatan
produksi kubis saat ini terhambat penyakit akar bengkak yang disebabkan oleh
jamur P. brassicae. Serangan jamur
ini mengakibatkan hasil tanaman kubis berkurang 50 - 100 %. Penelitian ini
bertujuan mengetahui potensi jamur antagonis
Trichoderma spp. dari daerah
perakaran tiga jenis Cruciferae yang diaplikasikan bersama beberapa macam
bahan organik untuk menghambat perkembangan jamur P. brassicae pada akar kubis. Penelitian dilakukan menggunakan percobaan
faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan diulang empat kali di Kebun
Penelitian PT BISI di Pujon, Malang,
dari bulan Juni 1999 sampai dengan Februari 2000. Bahan organik terdiri tiga jenis hasil
dekomposisi kotoran ternak yaitu kotoran ayam, kambing, dan sapi. Media tanam terdiri satu kilogram bahan organik dan sembilan
kilogram tanah kebun. Kubis ditanam pada
media yang telah diinokulasi jamur Trichoderma
spp. dan jamur P. brassicae. Jamur Trichoderma
spp. berasal dari contoh tanah yang
diambil dari daerah perakaran tiga jenis tanaman Cruciferae yaitu contoh tanah perakaran kubis, sawi putih, dan
brokoli.
Hasil
penelitian menunjukkan, pemberian bahan
organik hasil dekomposisi kotoran hewan ternak bersama jamur antagonis Trichoderma spp. dalam media tanam
kubis, menurunkan serangan P. brassica dari 85% menjadi 34%. Pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma spp. tanpa disertai
penggunaan hasil dekomposisi kotoran ternak
dapat menurunkan serangan P. brassicae dari 85% menjadi
60,6%. Hasil dekomposisi kotoran ternak
menurunkan perkembangan P. brassicae melalui peningkatan pH
media tanam di mana bahan tersebut diberikan.
Sumber inokulum jamur antagonis Trichoderma
spp. tidak berpengaruh nyata dalam pengendalian P. brassicae.
Kata
kunci : Trichoderma spp., akar bengkak,
kubis.
ABSTRACT
Cabbage production increasing inhibited by club root
disease caused by Plasmodiophora brassicae fungi. The fungi’s attack, causes cabbage
plant yield 50 - 100 % lost. The potency
of antagonistic fungi Trichoderma spp.
from three root areas of Cruciferae
applied with several kinds of organic matter to inhibit the development of P. brassicae in cabbage root, is the
purpose of this research. Experiment was
done use factorial Randomized Complete Design and each treatment was replicated
four times in Research & Development Farm of PT Benihinti Suburintani in
Pujon, Malang,
in June 1999-February 2000. Three kinds
of organic matter was taken from decomposed chicken, goat, and cow faeces. Media was composed of 1 kg of organic matter and 9 kg of soil. Cabbage was planted in media inoculated whit Trichoderma spp. and P.
brassicae fungus. Trichoderma spp. fungi was taken from
soil of three kinds of Cruciferae root area i.e. soil from cabbage, chinese cabbage, and broccoli root area.
Experiment result showed that organic matter come from decomposed animal
faeces use together with antagonistic fungi Trichoderma
spp. in media can decrease attack of P.
brassicae from 85 % to 34 %. The use
of antagonistic fungi Trichoderma spp.
without organic matter can decrease attack of P. brassicae from 85 % to 60,0 %.
Organic matter can decrease development of P. brassicae by increase of planting media’s pH where the organic
matter was given. The effect of
antagonistic fungi inoculum source in P. brassicae controlling was not significant.
Key word : Trichoderma spp., club root, cabbage
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Kubis
(Brassica oleracea) adalah tanaman
sayuran penghasil pucuk-pucuk daun yang mengumpul sedemikian rupa sehingga
disebut ‘krop’. Tanaman kubis mempunyai
nilai ekonomi dan sosial cukup tinggi, karena merupakan salah satu andalan
sumber nafkah dalam meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, selain
sebagai komoditas ekspor (Rukmana, 1994).
Prospek
pengembangan budidaya kubis, diperkirakan tetap baik. Pada tahun 1991, luas panen kubis di Indonesia mencapai 52,675 hektar
dengan produksi 974.553 ton, yang tersebar luas dan dihasilkan di 24 propinsi.
Usaha
peningkatan produksi kubis di Indonesia
sering mendapat banyak gangguan atau hambatan terutama oleh serangan
patogen. Salah satu diantaranya dan yang
saat ini perlu mendapat perhatian serius adalah penyakit akar bengkak (club
root) yang disebabkan oleh jamur Plasmodiophora brassicae. Akibat serangan ini kehilangan hasil dari tanaman kubis dapat mencapai 50 -
100 % (Rukmana, 1994).
Mengingat
besarnya kerugian yang diakibat-kan oleh penyakit tersebut, maka perlu
dicari cara pengendaliannya. Menurut Semangun (1994) sejauh ini mengendalian yang
dapat dilakukan terhadap P. brassicae adalah dengan tidak menanami lahan yang telah
terinfestasi dengan tanaman yang rentan
selama tujuh tahun. Dengan demikian
rotasi sukar dianjur-kan untuk pengendalian penyakit akar bengkak. Tindakan lain yaitu mencegah masuknya patogen
ke lahan-lahan yang masih bebas, mengatur pH tanah (6,0 - 7,0) atau dengan
sterilisasi tanah. Sterilisasi tanah
kurang layak dilaksanakan karena tidak ekonomis. Selain itu sterilisasi tanah
memerlukan bahan kimia berbahaya yang dapat mencemari tanah dan air. Berdasarkan kenyataan tersebut, perlu dicari
cara pengendalian lain yang yang lebih murah, aman bagi lingkungan, dan
memerlukan waktu lebih singkat, yaitu dengan memanfaatkan sumber daya hayati
untuk menekan perkembangan penyakit.
Penelitian-penelitian
yang telah dilakukan diantaranya adalah yang memanfaatkan hasil dekomposisi
bahan organik. Menurut Budde dan
Weltzein (1988), penggunaan hasil dekomposisi bahan organik menunjukkan
pengaruh penekanan terhadap beberapa patogen tanaman. Disamping penggunaan bahan organik,
penelitian lain juga mengungkapkan bahwa jamur-jamur tertentu dapat menekan
perkem-bangan patogen, misalnya jamur yang bersifat antagonis Trichoderma spp. Jamur tersebut telah banyak dilaporkan berpotensi untuk mengen-dalikan patogen tular
tanah (Baker and Cook, 1974). Trichoderma
spp. dipilih sebagai agen pengendali yang potensial karena diketahui
ber-hasil menekan perkembangan beberapa patogen dan dapat berkembang pada pH tanah 5,0 - 5,5 (Mihuta & Rowe,
1986). Berdasarkan fakta, serangan akar
bengkak yang parah adalah pada kondisi
pH tanah yang rendah (Agrios, 1996).
Potensi pengendalian dengan pemanfaatan hasil dekomposisi bahan organik
dan jamur antagonis Trichoderma spp.
dalam penelitian dipadukan untuk menekan penyakit akar bengkak pada tanaman
kubis
Tujuan Penelitian
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui potensi jamur antagonis Trichoderma spp. dari daerah perakaran tiga jenis Cruciferae yang diaplikasikan bersama beberapa macam
bahan organik untuk menghambat perkembangan jamur P. brassicae pada akar tanaman kubis.
Manfaat Penelitian
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai potensi jamur antagonis Trichoderma spp. yang diaplikasikan
bersama media hasil dekomposisi bahan organik untuk mengendalikan penyakit akar
bengkak pada tanaman kubis.
METODE
PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian
ini dilakukan di Kebun Penelitian PT Benihinti Suburintani di Pujon dengan
ketinggian tempat 1100 meter dpl dan di laboratorium Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya Malang. Penelitian
ini dimulai pada bulan Juni 1999 sampai dengan Januari 2000.
Persiapan
Media Hasil Dekomposisi Bahan Organik
Bahan-bahan yang dijadikan media hasil dekomposisi bahan
organik terdiri dari jerami dan kotoran ternak ayam, kambing, dan sapi, yang
masing,masing sebagai perlakuan. Jerami
dipotong-potong kemudian dimasukkan ke dalam galian tanah yang berukuran 0,3 m3, secara berlapis-lapis
dengan kotoran ternak. Perbandingan
tebal lapisan antara jerami dan kotoran ternak 10 : 5 cm. Untuk menjaga ke-lembaban maka galian ditutup
dengan plastik. Media siap digunakan ketika proses pemeraman ini
berlangsung selama 120 hari.
Persiapan Sumber Inokulum P. brassicae
Inokulum
P. brassicae yang diperlukan di-ambil
dari perakaran tanaman sawi putih yang harus ditanam terlebih dahulu (Deacon,
1997).
Jumlah
tanaman yang ditanam kurang lebih 200 tanaman. Pemeliharaan dilakukan hingga
tanam-an berumur 60 hari. Perakaran
yang terserang dan membengkak diambil dan dikumpulkan untuk digunakan sebagai
sumber inokulum.
Persiapan Biakan Murni Trichoderma
spp.
Penelitian ini menggunakan isolat jamur Trichoderma
spp. yang sebelumnya telah diperba-nyak dengan menggunakan media PDA dan beras. Contoh tanah yang diduga
mengandung Trichoderma spp. diambil
dari perakaran tanaman kubis, sawi putih, dan brokoli dan masing-masing
ditempatkan terpisah. Metode yang
di-gunakan adalah cawan pengenceran seperti yang digunakan oleh Wagner (1993)
yaitu
dengan menimbang 1 gram contoh tanah perakaran kemudian memasukkannya ke dalam tabung reaksi
yang berisi 9 ml air steril dan diaduk rata. Pengenceran dilakukan sampai 10-4. Satu mili-liter suspensi contoh tanah
perakaran dicampur dengan media PDA dan diinkubasikan pada suhu kamar. Kemudian dilakukan identifi-kasi dengan
menggunakan kunci determinasi untuk memperoleh jamur Trichoderma
spp. (Barnett and Hunter, 1972).
Isolat yang didapatkan kemudian dimurnikan dalam media PDA, dan
dibiarkan selama 5 hari. Pekerjaan
tersebut seluruhnya dilakukan secara aseptis.
Untuk
inokulasi pada media tanam, isolat Trichoderma
spp. perlu diperbanyak. Cara
per-banyakannya adalah sebagai berikut:
2 kg beras yang sudah dicuci diberi air secukupnya dan direbus selama
kurang lebih 30 menit, setelah dingin beras yang sudah setengah matang tersebut diletakkan dalam nampan plastik. Isolat Trichoderma
spp. dituangi air steril sebanyak + 10 ml. Dengan menggunakan spatula air diaduk
perlahan sedemikian rupa sehingga terjadi
suspensi jamur Trichoderma spp. Masih dengan menggunakan spatula, suspensi
yang masih terdapat dalam cawan Petri tersebut dipercikkan ke atas beras yang
berada dalam nampan. Nampan yang
berasnya sudah diperciki suspensi Trichoderma
spp. tersebut ditutup dengan kaca
transparan dan dikondisikan pada suhu 22 - 23 oC, kemudian dibiarkan
selama enam hari. Seluruh pekerjaan
dilakukan secara aseptis dan dilakukan terhadap masing-masing contoh tanah
secara terpisah.
Identifikasi Jamur Trichoderma spp.
Trichoderma spp. yang dibiakkan dalam media PDA. Koloni jamur
ini berupa berkas-berkas melingkar berwarna hijau kehitaman, yang di antara
berkas-berkas tersebut terdapat berkas-berkas melingkar yang lebih tipis serta
halus. Pengamatan dengan menggunakan mikroskop terhadap jamur Trichoderma spp. yang dibiakkan di atas
gelas obyek menunjukkan bahwa miselium
jamur ini bersekat, transparan, dan mempunyai cabang-cabang. Pada konidiofor
yang pendek terdapat phialid-phialid yang berbentuk seperti tabung atau
botol. Pada ujung phialid terdapat
konidia yang berdiameter 5 - 10 m,
berwarna hijau kecoklatan sampai kehitaman (Barnett and Hunter, 1972).
Persiapan Media Tanam Dalam Polybag
Pengujian
untuk mengetahui pengaruh jamur antagonis Trichoderma
spp. terhadap serangan penyakit akar bengkak pada tanaman kubis dilakukan
dalam polybag.
Media
tanam yang digunakan bagi tiap tanaman terdiri dari tanah kebun seberat 9 kg
dan bahan organik, masing-masing sesuai perlakuan, seberat 1 kg, dicampur,
sehingga berat total masing-masing media tanam adalah 10 kg. Media tanam dimasukkan ke dalam polybag
berkapasitas 15 kg dan diletakkan sesuai dengan penempatan dalam Rancangan
Percobaan.
Pengaruh
aktifitas mikroorganisme lain dalam media tanam, baik yang bersifat patogen
atau bukan, perlu dihilangkan melalui sterilisasi media. Cara yang digunakan untuk sterilisasi media
adalah dengan fumigasi. Fumigan yang
digunakan adalah Basamid-G yang diberikan sebanyak 1,5 gram per 10 kg media
(per polybag).
Persemaian Bibit Kubis
Benih
kubis yang ditanam adalah kultivar hibrida Grand-11 yang diproduksi oleh PT
BISI. Persemaian dilaksanakan 20 hari
sebelum tanam dibedengan yang telah disterilisasi menggunakan Basamid-G. Perawatan dilakukan hingga bibit berumur 20
hari.
Pembuatan inokulum P. brassicae
Inokulum
P. brassicae diambil dari perakaran
tanaman sawi putih yang sebelumnya telah ditanam dan menunjukkan gejala terserang akar
bengkak. Lima puluh gram akar tanaman
yang membengkak dengan diameter 3 - 5 cm yang diambil dari 2 - 3 tanaman sawi
putih dicuci dan diblender dengan 500 ml air serta disaring dengan kain kasa
sehingga diperoleh suspensi putih kekuningan.
Ke dalam masing-masing media tanam [polybag] dituangkan 10 ml suspensi P. brassicae dengan menggunakan penakar
dari plastik. Untuk keperluan inokulasi
ini diperlukan 25 akar yang membengkak
dan 3,2 liter air yang diambil dari mata air.
Rancangan Percobaan
Penelitian
ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama adalah Jamur Trichoderma spp. (T) dengan empat taraf
yaitu:
T0 : Tanpa inokulasi Trichoderma spp.
TA : Inokulasi Trichoderma
spp. yang berasal dari contoh tanah perakaran kubis
TB : Inokulasi Trichoderma
spp. yang berasal dari contoh tanah perakaran sawi putih
TC : Inokulasi Trichoderma
spp. yang berasal dari contoh tanah perakaran brokoli
Faktor
ke dua adalah media hasil dekomposisi bahan organik (MHDBO) dengan empat taraf yaitu:
B0 :
Tanpa pemberian MHDBO
B1 :
Pemberian MHDBO kotoran ayam
B2 :
Pemberian MHDBO kotoran kambing
B3 :
Pemberian MHDBO kotoran sapi
Dari
dua faktor perlakuan tersebut akan didapat 16 perlakuan kombinasi dan tiap-tiap
pot percobaan ditempatkan secara acak dalam
empat ulangan. Masing-masing
satuan perco-baan menggunakan lima
tanaman [polybag]. Pengacakan dan denah
percobaan ditampilkan dalam Lampiran 3.
Penanaman
Pada
hari ke 20 setelah semai, bibit kubis dipindah tanam dari bedengan persemaian
ke polybag. Bibit dicabut dari
persemaian, lalu ditanam di media tanam dalam polybag
Inokulasi Trichoderma spp.dan P.
brassicae pada Media Tanam
Biakan
murni Trichoderma spp. dalam media
biakan (beras) dipanen dengan menuangkan 500 ml aquadest pada masing-masing
nampan. Suspensi yang didapat kemudian
disaring dan selanjutnya diambil 0,1 ml dengan menggunakan pipet Pasteur,
dimasukkan ke dalam celah V haemositometer dan diamati dibawah mikroskop guna menghitung kerapatan konidia
dalam suspensi. Inokulasi ke dalam media
tanam dilakukan dengan cara menuangkan suspensi Trichoderma spp. ke dalam media tanam seperti yang dilakukan oleh
Djatnika (1991), sesuai dengan masing-masing perlakuan. Kemudian diambil 10 ml
suspensi Trichoderma spp., dengan
kerapatan konidia 6 x 105/ml (Wagner, 1993), lalu dituangkan ke
dalam media tanam. Setelah itu diambil
10 ml suspensi P. brassicae dan dituangkan ke dalam media tanam. Inokulasi
Trichoderma spp. kedalam media
tanam dilakukan tujuh hari sebelum bibit kubis ditanam (Wagner, 1993) dan
inokulasi P. brassicae juga dilakukan tujuh hari sebelum bibit kubis
ditanam (Jansen, 1995).
Pengamatan
Pengamatan
dilakukan saat panen dengan variabel meliputi:
a. Diameter akar
bengkak pada akar utama
b. Indeks penyakit
dari 0 (nol) sampai dengan 5 (lima) (Reyes, Davidson, & Mark, 1974 dalam
Djatnika, 1991):
0
= tidak terjadi pembengkakan pada akar
1
= bengkak berukuran sangat kecil dengan
diameter 0,5 - 1 cm
2
= bengkak berukuran kecil dengan
diameter 1 - 2 cm
3
= bengkak berukuran sedang dengan
diameter 2 - 3 cm
4
= bengkak berukuran besar dengan
diameter 3 - 4 cm
5
= bengkak berukuran sangat besar dengan
diameter 4 - 5 cm
c. Intensitas
penyakit, yang dihitung berdasarkan indeks penyakit dengan
menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Reyes, Davidson, & Mark
(1974, dalam Djatnika, 1991)
yaitu:
S
(n x v)
P =
------------ x 100 %
N x Z
dimana
: P =
Intensitas serangan; n =
Jumlah tanaman dalam tiap kategori serangan; v
= Nilai sekala tiap kategori
serangan ; V = Nilai kategori serangan tertinggi (5); N
= Jumlah tanaman yang diamati (5)
d. Berat segar bagian atas tanaman yang
di-peroleh setelah memotong tanaman pada
leher akar, kemudian potongan bagian atas tanaman ditimbang satu persatu menggunakan timbangan gantung dan dihitung jumlah rata-rata tiap per-lakuan.
e. Bobot hasil segar (krop) yang diperoleh sete-lah memotong krop kubis tepat pada bagian dasar ‘bulatan’ krop, kemudian
krop ditimbang satu persatu menggunakan
timbangan gantung dan dihitung jumlah
rata-rata tiap perlakuan.
Analisis Data
Pengaruh
perlakuan, melalui analisis ragam [variasi], diuji dengan uji F. Analisis ragam didasarkan atas analisis ragam
faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap. Hasil yang diper-oleh melalui uji F, apabila
H0 ditolak belum dapat memberikan penjelasan tentang perlaluan mana
yang berbeda. Pembandingan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Uji Jarak Duncan, dengan kriteria uji:
MDRS (a)
= rP (Duncan)
(a) KTgalat
n
dimana: rP (Duncan) = nilai yang didapat dari Tabel Duncan; n = banyaknya ulangan untuk
setiap perlakuan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Diameter Akar Utama Akibat Serangan
P. brassicae Pada Media Tanam Yang
Diberi Bahan Organik dan Jamur Antagonis
Trichoderma spp.
Ukuran
besar atau diameter akar utama yang terserang P. brassicae merupakan petunjuk ke-parahan serangan penyakit
tersebut (Njeuwhof, 1989). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat
interaksi sangat nyata antara perlakuan pemberian bahan organik dengan jamur
antagonis Trichoderma spp. terhadap
diameter akar utama. Hasil peng-amatan
diameter akar utama disajikan dalam Tabel 1.
Sebagai jamur antagonis,
Tabel 1. Diameter Akar
Utama Tanaman Kubis Akibat Serangan P. brassicae Pada Media Tanam Yang Diberi Bahan Organik
(BO) dan Jamur Antagonis Trichoderma spp.(T)
|
Diameter Akar Utama (cm)
|
Perlakuan
|
Tanpa
BO(B0)
|
BO
Kotoran
Ayam
(B1)
|
BO
Kotoran
Kambing
(B2)
|
BO
Kotoran
Sapi
(B3)
|
Tanpa T (T0)
|
3,79
d
|
2,03
bc
|
1,57
a
|
2,09
bc
|
T Perakaran Kubis (TA)
|
2,37
bc
|
2,28
bc
|
1,63
a
|
2,25
bc
|
T Perakaran Brokoli
(TB)
|
2,47
c
|
2,07
bc
|
1,30
a
|
2,02
b
|
T Perakaran Sawi
Putih (TC)
|
2,67
c
|
2,04
bc
|
1,38
a
|
2,15
bc
|
MDRS (5%) : 0,38 - 0,45
|
Catatan: Angka pada faktor dan kolom yang
sama, dan didampingi huruf yang sama, tidak berbeda nyata
pada Uji Jarak Duncan (MDRS) 5 %
Trichoderma
spp. mempunyai kemampuan kompetisi yang kuat dalam hal ruang dan nutrisi. Diketahui pula bahwa beberapa isolat Trichoderma spp. dapat menghasilkan
enzim yang dapat merusak dinding sel jamur lain. Kerusakan dinding sel mengakibatkan kematian
yang dapat menghambat perkembangan populasi jamur patogen (Dennis and Webster,
1971). Kemampuan berkompetisi jamur antagonis sangat tergantung pada masukan
energi dan nutrisi yang umumnya tersedia dalam media tanam. Jamur antagonis memperoleh energi dan nutrisi
dari bahan-bahan hasil dekomposisi bahan organik dalam tanah dan
mempergunakannya untuk aktivitas serta mem-perbanyak populasi (Nelson, 1998).
Trichoderma spp.
dapat menghasilkan enzim yang dapat mengurai dinding sel jamur patogen sehingga
menekan perkembangan populasi ja-mur patogen, maka meningkatnya populasi ja-mur
tersebut akan diiringi dengan meningkatnya proporsi enzim yang dihasilkan. Semakin ba-nyak enzim yang
dihasilkan, perkembangan jamur patogen semakin tertekan. Dengan tertekannya
perkembangan jamur P. brassicae
tersebut, maka tingkat serangan patogen
ter-hadap akar menjadi semakin berkurang.
Berdasarkan
data yang disajikan dalam Tabel 1. dapat
diketahui bahwa diameter akar utama
tanaman kubis dalam media tanam yang
tidak diinokulasi jamur Trichoderma spp. (T0) berukuran terbesar dengan beda yang sangat
nyata dibandingkan dengan perlakuan pemanfaatan jamur Trichoderma spp. (TA, TB, dan TC).
Sumber inokulum Trichoderma spp.
yaitu Trichoderma spp. yang berasal dari contoh tanah perakaran kubis (TA), Trichoderma
spp. yang berasal dari contoh tanah perakaran sawi putih (TB),
dan Trichoderma spp. yang berasal
dari contoh tanah perakaran brokoli (TC), tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap ukuran akar utama.
Keberadaan
fungi antagonistik jenis tertentu di
daerah perakaran tergantung kepada jenis atau famili tanaman. Jenis fungi antagonis dari da-erah perakaran
satu jenis atau famili tanaman diketahui
spesifik dan kebanyakan berbeda dengan jenis jamur antagonis dari daerah
per-akaran spesies atau famili tanaman
yang lain (Fritz, 1996). Selanjutnya dinyatakan bahwa ditemukan pula
pada daerah perakaran jenis atau famili tanaman yang berbeda terdapat jenis fungi
antagonis yang sama. Belum diketahui
secara pasti penyebab fenomena ini.
Diduga hal ini disebabkan oleh fakta bahwa kebanyakan tanaman, melalui
perakarannya, mengeksudasi zat-zat yang bisa dimanfaatkan spesies tertentu dari jamur antagonis [termasuk
Trichoderma spp.] untuk menunjang
aktifitas dan perkembangan populasinya sehingga lebih dominan dan lebih dapat
mempertahankan keberadaan populasinya dari pada strain yang lain. Terdapat kemung-kinan bahwa komposisi
eksudat-eksudat tersebut mirip satu sama lain meskipun dihasilkan oleh spesies
atau famili tanaman yang berbeda (Sanchez,
1994).
Kubis,
sawi putih, dan brokoli adalah tanaman yang berasal dari satu famili (Njeuwhof,
1989). Menurut Fritz (1996), jenis fungi
antago-nis dari daerah perakaran satu spesies atau famili tanaman diketahui
spesifik dan kemungkinan berasal dari satu spesies. Karena ketiga spesies tanaman tersebut
berasal dari satu familia, maka jamur antagonis (Trichoderma spp.) yang terdapat di daerah perakarannya bisa
merupakan spesies yang sama. Hal ini menjadikan asal jamur Trichoderma spp. tidak memberikan pengaruh nyata terhadap ukuran
akar utama.
Pemberian hasil dekomposisi bahan organik (B) untuk
menekan perkembangan P. brassicae berpengaruh sangat nyata
terhadap diameter akar utama. (Tabel
1). Pada perlakuan tanpa pemberian bahan
organik (Kontrol; B0)
serangan akar bengkak terlihat parah yang ditunjukkan dengan ukuran diameter
akar utama yang sangat besar. Diameter akar utama dari tanaman yang
ditanam di media hasil dekomposisi bahan organik kotoran kambing (B2),
berukuran paling kecil dibandingkan dengan yang ditanam di media hasil
dekomposisi bahan organik kotoran ayam (B1), atau kotoran lembu (B3) pada semua kombinasi perlakuan dengan T0, TA, TB,
dan TC.
Ukuran
diameter akar utama tanaman kubis yang lebih kecil menunjukkan bahwa patogen P. brassicae kurang mampu menyerang atau
menginfeksi jaringan akar tersebut. Hal
ini merupakan hasil dari suatu kemampuan tanaman untuk mempertahankan diri dari
serangan patogen yang di antaranya adalah fungsi struktural sebagai penghalang
fisik dan penghambat patogen mendapatkan
peluang masuk dan menyebar dalam tanaman
(Agrios, 1996). Selanjutnya
dinyatakan bahwa salah satu bagian dari
sistem pertahanan struktural tanaman adalah dinding sel. Ketebalan dan kekuatan dinding bagian luar
sel-sel epidermis merupakan faktor penting dalam ketahanan tumbuhan terhadap
patogen. Sel-sel epidermis yang
berdinding kuat dan tebal akan membuat penetrasi secara langsung mengalami
kesulitan atau bahkan tidak mungkin dilakukan sama sekali oleh jamur patogen.
Tanaman yang memiliki dinding sel yang demikian menjadi lebih tahan.
Tabel 2. pH Media
Tanam Pada Perlakuan Pemanfaatan Jamur Antagonis Trichoderma spp. (T) Sebelum Penggunaan Hasil Dekomposisi Bahan Organik (BO).
|
pH Media Tanam
|
Perlakuan
|
Tanpa
BO(B0)
|
BO
Kotoran
Ayam
(B1)
|
BO
Kotoran
Kambing
(B2)
|
BO
Kotoran
Sapi
(B3)
|
Tanpa T (T0)
|
5,87
|
5,86
|
5,85
|
5,87
|
T Perakaran Kubis (TA)
|
5,85
|
5,79
|
5,81
|
5,88
|
T Perakaran Brokoli
(TB)
|
5,87
|
5,83
|
5,86
|
5,85
|
T Perakaran Sawi
Putih (TC)
|
5,87
|
5,88
|
5,84
|
5,85
|
Sebagai
bagian dari media tanam, bahan or-ganik memberikan pengaruh antara lain
mening-katkan kapasitas tukar kation serta meningkat-kan ketersediaan unsur
hara. Disamping itu bahan organik dapat menyediakan bahan
pemacu pertumbuhan seperti asam-asam amino, vitamin, dan hormon-hormon tanaman.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa bahan organik yang berasal dari kotoran hewan
ternak sangat kaya akan unsur-unsur makro maupun mikro yang berfungsi antara
lain untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan resistensi ta-naman terhadap
penyakit. Bahan organik yang berasal
dari kotoran hewan ternak tertentu kaya akan unsur kalium tersedia yang berkaitan erat dengan ketahanan tanaman
terhadap hama
atau penyakit. Salah satu manfaat unsur
kalium bagi tanaman adalah meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit
(Setyamidjaja, 1986).
Unsur
kalium erat kaitannya dengan kekuat-an dinding sel tanaman. Tanaman yang selama pertumbuhannya mengalami kekurangan unsur hara kalium
menjadi mudah terserang penyakit (Ochse et
all, 1986). Analisa kimia terhadap
ketiga contoh media tanam memperlihatkan bahwa kandungan kalium tersedia dari
hasil dekomposisi kotoran kambing (B2) paling tinggi dibandingkan
dengan yang dikandung hasil dekomposisi kotoran ayam dan hasil dekompo-sisi
kotoran sapi. Tanaman yang diberi media
hasil dekomposisi kotoran kambing (B2) kebu-tuhan kaliumnya lebih
terpenuhi daripada per-lakuan lain (B1 atau B3) sehingga
lebih tahan terhadap serangan jamur P. brassicae.
Selain
pengaruh unsur yang dikandung bahan organik, serangan jamur P. brassicae juga dipengaruhi oleh pH
media tanam. Patogen akar bengkak sangat
menyukai kondisi keasaman tanah yang rendah.
Pada pH 5,7 serangan menghebat, dan perkembangan penyakit tersebut akan
menurun tajam pada pH antara 5,8 dan 6,2, serta tidak berkembang sama sekali
pada pH 7,8 (Agrios, 1996). Sejalan
dengan hal tersebut, Semangun (1994) menyatakan bahwa serangan jamur P. brassicae akan meningkat bila inang
ditanam pada tanah dengan pH di bawah
7. Davidson (1990) me-nyatakan bahwa
keasaman tanah secara tidak langsung mempengaruhi besar kecilnya diameter akar Cruciferae yang terserang patogen P.
brassicae. Pada tanah dengan pH rendah (5,5 - 5,7) patogen P. brassicae berkembang dengan
pesat. Perkembangan yang pesat ini
menyebabkan serangan yang semakin parah terhadap perakaran yang ditunjukkan
dengan semakin besarnya ukuran diameter akar.
Semakin rendah pH media tanam, semakin meningkat populasi P.
brassicae, dan semakin meningkat pula serangan terhadap perakaran sehingga
ukuran akar semakin besar. Selanjut-nya
Davidson menyatakan bahwa jika keasaman tanah ditingkatkan dari 5,8 hingga 6,3
serangan berkurang drastis sehingga ukuran akar menjadi lebih kecil. Serangan dapat dikatakan tidak ada jika pH
lahan pertanaman ditingkatkan hingga 7,5.
Pengukuran
keasaman media tanam di lapangan ternyata menunjukkan bahwa pening-katan pH
media tanam dapat disebabkan oleh
pemberian hasil dekomposisi kotoran ternak (B). Tabel 2 dan Tabel 3 memperlihatkan bahwa
peningkatan pH hanya terjadi pada media yang di dalamnya terdapat bahan
organik. Jenis bahan organik hasil
dekomposisi kotoran ternak juga berpengaruh terhadap besar kecilnya peningkatan
pH media tanam. Pemberian bahan organik
hasil dekomposisi kotoran kambing (B2)
berpengaruh meningkatkan pH tertinggi dibandingkan dengan perlakuan B1 dan perlakuan B3
(Tabel 2 dan Tabel 3).
Tabel 3. pH Media
Tanam Pada Perlakuan Pemanfaatan Jamur Antagonis Trichoderma spp.(T) Setelah Penggunaan Hasil Dekomposisi
Bahan Organik (BO).
|
pH Media Tanam
|
Perlakuan
|
Tanpa
BO
(B0)
|
BO
Kotoran
Ayam
(B1)
|
BO
Kotoran
Kambing
(B2)
|
BO
Kotoran
Sapi
(B3)
|
Tanpa T (T0)
|
5,87
|
6,34
|
7,06
|
6,54
|
T Perakaran Kubis (TA)
|
5,85
|
6,28
|
7,04
|
6,59
|
T Perakaran Brokoli
(TB)
|
5,93
|
6,28
|
7,01
|
6,64
|
T Perakaran Sawi
Putih (TC)
|
5,86
|
6,26
|
7,04
|
6,70
|
Peningkatan
pH media tanam yang disebabkan oleh pemberian bahan organik tersebut
berpengaruh terhadap perkembangan dan serangan P. brassicae pada akar tanaman kubis yang selanjutnya mengakibatkan
ukuran diameter akar yang berbeda (Tabel 1).
Tabel 1 memperlihatkan bahwa
kubis yang ditanam pada media tanam yang tidak diberi bahan organik mempunyai
diameter akar terbesar sedangkan kubis yang ditanam pada media tanam yang
diberi bahan organik mempunyai diameter akar yang lebih kecil. Kubis yang
ditanam pada media tanam yang diberi hasil dekomposisi kotoran kambing (B2)
dengan pH rata-rata paling tinggi mempunyai rata-rata diameter akar utama yang
paling kecil dibanding dengan kubis yang
ditanam pada media tanam yang diberi hasil dekomposisi kotoran ayam (B1)
dan kubis yang ditanam pada media tanam yang diberi hasil dekomposisi kotoran
sapi (B3) dengan pH rata-rata masing-masing yang lebih rendah.
Intensitas Penyakit Akar Bengkak
Pada Tanaman Kubis Yang Diberi Bahan Organik dan Jamur Antagonis Trichoderma
spp. Dalam Media Tanamnya.
Beratnya
penyakit dapat dijelaskan melalui persentase bagian tertentu dari tanaman yang
dipengaruhi oleh [aktifitas] patogen (Agrios, 1996). Hasil sidik ragam
menunjukkan bahwa interaksi antara bahan organik hasil dekomposisi kotoran
ternak dengan jamur antagonis Trichoderma
spp.berpengaruh sangat nyata terhadap intensitas serangan (beratnya
penyakit) P. brassicae.
Tabel
4 memperlihatkan bahwa interaksi antara jamur antagonis Trichoderma spp. dengan bahan organik hasil dekomposisi kotoran
ternak dapat mempengaruhi intensitas serangan P. brassicae terhadap perakaran kubis. Interaksi yang paling dapat
menekan intensitas serangan P. brassicae
adalah interaksi antara Trichoderma spp.
yang berasal dari contoh tanah perakaran kubis (TA), Trichoderma
spp. yang berasal dari contoh tanah perakaran sawi putih (TB),
dan Trichoderma spp. yang berasal
dari contoh tanah perakaran brokoli (TC) dengan bahan organik hasil
dekomposisi kotoran kambing.
Jamur
antagonis Trichoderma spp. dapat
ditemukan dalam tiap area perakaran tanaman (tumbuhan) di hampir semua jenis
tanah. Dalam keadaan tidak terdapat
pengaruh ekternal, populasi jamur tersebut di daerah perakaran berada dalam
jumlah yang tidak dapat menekan perkembangan patogen tertentu yang dapat
menimbulkan penyakit bagi tanaman yang bersangkutan. Populasi Trichoderma spp. dapat meningkat karena
peningkatan sumber energi dan nutrisi
yang kebanyakan berupa hasil penguraian
material organik dan mineral anorganik
(Bohlen, 1987). Selanjutnya dinyatakan bahwa populasi Trichoderma spp. yang meningkat memungkinkan untuk menekan
perkembangan patogen tertentu yang juga mengkonsumsi energi dan nutrisi di area
yang sama. Kemampuan untuk menekan perkembangan patogen tersebut karena
dihasilkan-nya senyawa-senyawa tertentu (enzim) yang dapat merusak dinding sel
patogen, sehingga makin meningkat populasi jamur antagonis Trichoderma spp. makin banyak enzim
yang dihasilkan dan perkembangan patogen semakin tertekan. Semakin tertekan perkembangan patogen P. brassicae, maka semakin kecil pula
intensitas penyakit yang menyerang perakaran kubis.
Tabel 4. Intensitas Penyakit Akar Bengkak Pada Tanaman
Kubis Yang Diberi Bahan Organik (BO) dan
Jamur Antagonis Trichoderma spp. (T) Dalam
Media Tanamnya
|
Intensitas Penyakit
(%)
|
Perlakuan
|
Tanpa
BO
(B0)
|
BO
Kotoran
Ayam
(B1)
|
BO
Kotoran
Kambing
(B2)
|
BO
Kotoran
Sapi
(B3)
|
Tanpa T (T0)
|
85
d
|
52
bc
|
41
ab
|
52
bc
|
T Perakaran Kubis (TA)
|
60
bc
|
55
bc
|
39
a
|
54
bc
|
T Perakaran Brokoli
(TB)
|
60
bc
|
51
b
|
34
a
|
50
b
|
T Perakaran Sawi
Putih (TC)
|
62
c
|
53
bc
|
37
a
|
51
b
|
MDRS (5%) : 9,24 - 11,08
|
Catatan:
Angka pada faktor dan kolom yang sama, dan didampingi huruf yang sama, tidak
berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan (MDRS) 5 %
Sanchez
(1994), menyatakan bahwa bahan organik sisa dekomposisi kotoran hewan merupakan
sumber nutrisi dan energi yang paling baik bagi perkembangan mikroorganisme
dalam tanah termasuk bagi mikroorganisme yang menguntungkan seperti fungi-fungi
antagonis tertentu yang dapat menekan perkembangan penyakit tular tanah (soil borne disesae). Sisa dekomposisi kotoran hewan kaya akan
unsur, vitamin, dan enzym yang diperlukan untuk perkembangan mikroorganisme
dalam tanah terutama yang bersifat antagonis terhadap penyakit tular
tanah. Selanjutnya Sanchez men-dapati
bahwa tanaman yang ditanam di lahan-lahan yang kaya sisa dekomposisi bahan
organik menunjukkan kecenderungan tahan terhadap penyakit dibandingkan dengan
tanaman yang ditanam di lahan yang miskin bahan organik, meskipun pupuk buatan
cukup tersedia.
Kombinasi
perlakuan jamur antagonis Trichoderma spp.
dengan bahan organik hasil dekomposisi kotoran kambing merupakan perlakuan yang
memberikan pengaruh terbaik karena bahan organik tersebut memiliki kandungan
unsur hara dan zat-zat yang diperlukan untuk pertumbuhan dan ketahanan tanaman
terhadap penyakit dalam komposisi yang lebih lengkap dibandingkan dengan bahan
organik lain. Geuss (1993) dan Patric
(1995) menemukan bahwa di antara beberapa jenis
bahan hasil dekomposisi kotoran hewan (sapi, kerbau, bison, rusa, onta, llama, kelinci, dan ayam) keledai, kuda,
kambing, dan domba memiliki kandungan unsur hara yang paling tinggi serta
kondisi kimiawinya paling baik.
Komposisi
yang sesuai sangat diperlukan untuk membantu pembentukan struktur penghalang
fisik pada permukaan akar tanaman berupa sel-sel epidermis dengan dinding yang
lebih kuat, sehingga lebih sulit ditembus patogen. Kondisi kimiawi yang baik (pH) dapat menghambat
perkembangan P. brassicae. Tanaman yang tumbuh pada media dengan kondisi
tersebut menjadi lebih tahan atau mengalami serangan penyakit dengan intensitas
serangan yang lebih rendah.
Hasil
pengamatan di tiap pot percobaan memperlihatkan bahwa intensitas penyakit juga
ditentukan oleh derajat keasaman (pH) media tanam (Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4). Intensitas penyakit menurun sejalan dengan
meningkatnya pH media tanam. Tabel 3
memperlihatkan bahwa peningkatan pH terjadi pada media tanam yang diberi hasil
dekomposisi bahan organik. Penggunaan
media hasil dekomposisi bahan organik menyebabkan pH meningkat yang
selanjutnya menekan perkembangan dan
aktifitas patogen P. brassicae. Terhambatnya perkembangan dan aktifitas
patogen tersebut mengakibatkan berkurangnya intensitas penyakit pada perakaran
kubis. Intensitas penyakit tertinggi
terjadi pada perakaran tanaman kubis yang ditanam pada media tanpa bahan
organik (Kontrol; B0;
Tabel 4), dengan pH media yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan
penggunaan hasil dekomposisi bahan organik (Tabel 3).
Berat Hasil Segar (Krop) Akibat
Serangan P. brassicae Pada
Tanaman Kubis Yang Diberi Bahan Organik
dan Jamur Antagonis
Trichoderma spp. Dalam Media
Tanamnya
Bagian
dari tanaman kubis yang diambil hasilnya adalah bagian vegetatif yaitu
pucuk-pucuk daun yang mengumpul sedemikian rupa sehingga membentuk ‘krop’
(Rukmana, 1994).
Menurut
Rukmana (1994), kehilangan hasil tanaman kubis yang diserang akar bengkak dapat
mencapai 50 - 100 persen. Hilangnya
hasil ini disebabkan oleh terganggunya pembentukan krop karena suplai unsur
hara ke pucuk-pucuk daun berkurang sebagai akibat terganggunya fungsi
akar. Patogen P. brassicae menyebabkan perbanyakan dan pembesaran sel secara
tidak normal sehingga akar menjadi bengkak.
Menurut Dixon (1991), perubahan
keadaan fisik perakaran dalam bentuk apapun selain karena aktifitas hidup
tanaman, seperti putusnya akar, gangguan hama,
plasmolisis sel akar karena pengaruh tekanan osmotik, atau serangan patogen
akan mengakibatkan ter-ganggunya
adsorbsi air dan unsur hara sehingga tanaman dapat mengalami kekurangan air dan
defisiensi unsur hara. Kekurangan air
dapat menyebabkan terhentinya pertumbuhan, dan apabila terjadi terus menerus
menyebabkan perubahan dalam tanaman yang tidak dapat dipulihkan, sehingga
menurunkan hasil, sebe-lum berakhir dengan kematian (Harjadi, 1986). Pembengkakan akar kubis karena serangan P.
brassicae menyebabkan fungsi akar
terganggu yang berakibat tanaman kubis kekurangan air dan unsur hara sehingga
pertumbuhan terhambat dan krop terbentuk dengan ukuran di bawah normal,
dan hasilnya rendah. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma spp.
(T) berpengaruh sangat nyata terhadap berat hasil segar. Pemberian bahan organik hasil dekomposisi
kotoran beberapa jenis hewan ternak (B) juga memberikan pengaruh yang sangat
nyata terhadap berat hasil segar.
Interaksi antara pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma spp. dengan pemberian bahan organik hasil dekomposisi
kotoran beberapa jenis hewan ternak (TxB) tidak berpengaruh nyata terhadap
berat hasil segar. Hasil pengamatan
berat hasil segar disajikan dalam Tabel 5.
Pada
perlakuan pemberian bahan organik (B0,B1, B2,
dan B3) pengaruh pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma spp. (TA, TB, dan TC)
dapat dibedakan secara nyata dengan
penanaman yang tidak memanfaatkan jamur antagonis Trichoderma spp. (T0).
Jamur
antagonis yang hidup dalam tanah di sekitar perakaran tanaman berpotensi untuk
menekan perkembangan patogen tular tanah yang dapat menyerang tanaman melalui
perakarannya. Jamur antagonis seperti Trichoderma spp. mampu menghasilkan
enzim yang bersifat merusak dinding sel patogen se-hingga dapat menekan
perkembangan populasi patogen (Mathew, 1989).
Hasil pengamatan Wagner (1993) menunjukkan bahwa beberapa jenis jamur
seperti Gliocladium spp., Mortierella spp., dan
Trichoderma spp., memiliki
sifat antagonis terhadap beberapa jenis patogen soil atau airborne disease penyebab
penyakit-penyakit pada apel, bit, berry, dan radish.
Peranan
jamur antagonis Trichoderma spp.
sangat nyata terlihat pada tanah-tanah dari hutan yang baru saja dibuka untuk
areal pertanian. Tanaman yang ditanam
pada areal semacam ini, meskipun berdekatan dengan areal lain yang sudah lebih
dulu dimanfaatkan, menghasilkan tananam yang relatif lebih bebas dari penyakit.
Pada tanah-tanah dari hutan yang baru dibuka, berdasarkan hasil
observasi lebih lanjut, ternyata memiliki populasi jamur antagonis Trichoderma spp. dan jamur antagonis
lain yang lebih banyak dibandingkan dengan tanah-tanah yang sudah lebih lama
dimanfaatkan (Suryaningsih, 1993).
Perkembangan
patogen penyebab akar bengkak yang terbatas karena tekanan jamur antagonis Trichoderma spp. menjadikan perakaran tanaman kubis dapat berfungsi
dengan lebih sedikit gangguan. Perakaran
tanaman kubis yang dapat menjalankan fungsinya sebagai penyerap air dan unsur
hara dengan normal dapat menunjang aktifitas hidup tanaman dengan lebih baik,
sehingga memberikan hasil yang lebih tinggi.
Pada
semua perlakuan pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma
spp. (T0, TA, TB, dan TC),
perlakuan pemberian bahan organik sisa dekomposisi kotoran beberapa jenis hewan
ternak (B1, B2, dan B3) berpengaruh lebih baik
dibanding tanpa pemberian bahan organik (B0).
Pemberian
bahan organik sisa dekomposisi kotoran kambing (B2) memberikan hasil
paling baik dibanding dua perlakuan pemberian bahan organik sisa dekomposisi
kotoran ayam (B1) dan kotoran sapi (B3).
Bahan
organik merupakan sumber unsur hara nitrogen yang penting bagi pertumbuhan tanaman.
Nitrogen ini berasal dari proses pelapukan dan nitrifikasi yang terdapat
dalam bentuk tereduksi maupun oksidasi dalam larutan tanah. Bahan organik juga memiliki kemampuan menahan
air dan membentuk ruang pori
tanah yang menyebabkan akar lebih mudah menyerap bahan-bahan terlarut dalam
tanah (Sarief, 1986).
Tabel 5. Berat Hasil
Segar (krop) Akibat Serangan P. brassicae Pada Tanaman Kubis Yang
Diberi Bahan Organik (BO) dan Jamur Antagonis
Trichoderma spp. (T) Dalam
Media Tanamnya
Perlakuan
|
Berat hasil segar (kg)
|
Tanpa T (T0)
|
0,99 a
|
T Perakaran Kubis (TA)
|
1,06 ab
|
T Perakaran Brokoli
(TB)
|
1,22 c
|
T Perakaran Sawi
Putih (TC)
|
1,16 bc
|
MDRS 5%
|
0,14 - 0,15
|
Tanpa
BO (B0)
|
0,79 a
|
BO
Kotoran Ayam (B1)
|
1,12 b
|
BO Kotoran
Kambing (B2)
|
1,42 c
|
BO
Kotoran Sapi (B3)
|
1,12 b
|
MDRS 5%
|
0,14 - 015
|
Catatan:
Angka pada faktor dan kolom yang sama, dan didampingi huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan (MDRS) 5 %
‘Krop’ kubis yang diambil sebagai hasil tanaman,
adalah bagian vegetatif dari tanaman tersebut.
Bagian ini merupakan kumpulan pucuk daun yang sedang mengalami
per-tumbuhan pesat (Rukmana, 1994).
Salah satu unsur yang diperlukan untuk menyusun struktur tanaman yang
sedang tumbuh adalah nitrogen (Setyamidjaja, 1986). Semakin tersedia unsur nitrogen di daerah
perakaran kubis, semakin baik pula pembentukan krop tanaman kubis sehingga
hasilnya menjadi lebih tinggi. Sumber
nitrogen tersedia bagi tanaman selain pupuk buatan dan hasil pengikatan nitrogen
oleh bakteri tertentu, juga berasal dari bahan organik yang dapat berupa sisa
dekomposisi tumbuhan atau berupa hasil penguraian kotoran ternak. Bahan organik sisa dekomposisi tumbuhan dan
kotoran hewan adalah bahan yang kaya akan unsur nitrogen tersedia (Russell,
1988).
Pemberian
bahan organik sisa dekomposisi kotoran kambing (B2) memberikan hasil
krop paling tinggi dibanding dua perlakuan pemberian bahan organik sisa
dekomposisi kotoran ayam (B1) dan kotoran sapi (B3), pada
semua perlakuan jamur antagonis Trichoderma
spp.. Bahan organik sisa dekomposisi
kotoran kambing merupakan pupuk kandang yang paling bagus dalam hal kualitas
dibanding beberapa pupuk kandang lain.
Persentase kandungan unsur hara bahan organik sisa dekomposisi kotoran
kambing paling tinggi dibandingkan dengan bahan organik sisa dekomposisi
kotoran sapi, ayam, kelinci atau babi (O’neal, 1987). Selanjutnya O’neal
me-nyatakan bahwa untuk untuk memperoleh hasil sayuran dengan kualitas optimal,
selain pengendalian hama-penyakit, pemilihan peng-gunaan pupuk kandang juga
perlu diperhatikan. Menurut O’neal,
pupuk kandang dari kotoran domba dan kambing selalu menghasilkan tanaman yang
relatif lebih sehat dengan tingkat penggunaan pestisida yang rendah.
Berat
Segar Bagian Atas Tanaman Akibat
Serangan P. brassicae Pada Tanaman Kubis Yang Diberi Bahan
Organik dan Jamur Antagonis Trichoderma spp. Dalam Media Tanamnya
Hasil
analisis ragam menunjukkan bahwa pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma spp. (T) tidak berpengaruh
nyata terhadap berat segar bagian atas tanaman. Pemberian bahan organik hasil
dekomposisi kotoran beberapa jenis hewan ternak (B) berpengaruh yang sangat
nyata terhadap berat segar bagian atas tanaman. Interaksi antara pemanfaatan
jamur antagonis Trichoderma spp.
dengan pemberian bahan organik hasil dekomposisi kotoran beberapa jenis hewan
ternak (TxB) tidak berpengaruh nyata terhadap berat segar bagian atas
tanaman. Hasil pengamatan berat segar
bagian atas tanaman disajikan dalam Tabel
6. Pada semua perlakuan
pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma spp.
(T0, TA, TB, dan TC), perlakuan
pemberian bahan organik sisa dekomposisi kotoran beberapa jenis hewan ternak (B1,
B2, dan B3) berpengaruh lebih baik terhadap berat segar
bagian atas tanaman dibanding perlakuan tanpa pemberian bahan organik (B0). Pemberian bahan organik sisa dekomposisi
kotoran kam-bing (B2) memberikan hasil paling baik dibanding dua
perlakuan pemberian bahan organik sisa dekomposisi kotoran ayam (B1)
dan kotoran sapi (B3).
Tabel 6. Berat Segar
Bagian Atas Tanaman Akibat Serangan P.
brassicae Pada Tanaman Kubis Yang
Diberi Bahan Organik (BO) dan Jamur
Antagonis Trichoderma spp. (T) Dalam Media Tanamnya
Perlakuan
|
Berat
segar bagian atas
tanaman
(kg)
|
Tanpa T (T0)
|
1,47
|
T Perakaran Kubis (TA)
|
1,60
|
T Perakaran Brokoli
(TB)
|
1,76
|
T Perakaran Sawi
Putih (TC)
|
1,65
|
MDRS 5%
|
tn
|
Tanpa
BO (B0)
|
2,82 c
|
BO
Kotoran Ayam (B1)
|
2,10 b
|
BO
Kotoran Kambing (B2)
|
1,47 a
|
BO
Kotoran Sapi (B3)
|
2,13 b
|
MDRS 5%
|
0,20 - 0,22
|
Catatan:
Angka pada faktor dan kolom yang sama, dan didampingi huruf yang sama, tidak
berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan (MDRS) 5 % ; tn =
tidak nyata
Pemanfaatan
jamur antagonis Trichoderma spp.
tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap berat bagian atas tanaman kubis,
karena pada tahap pertumbuhan awal hingga mulai terbentuknya krop, patogen P. brassicae belum mampu menghasilkan
gejala penyakit, meskipun sudah mulai merusak akar. Pada tahap ini tanaman masih mampu menyerap
air dan unsurn hara dengan baik kemudian meng-gunakannya untuk pertumbuhan,
sampai memasuki tahap dimana perakaran sudah sulit untuk berfungsi normal. Sebelum mencapai tahap ini pengaruh patogen P. brassicae belum nyata, maka pengaruh
jamur antagonis Trichoderma spp. juga
belum nyata.
Tanaman
kubis dalam penelitian ini diinokulasi dengan bibit penyakit akar bengkak pada
umur tujuh hari setelah pindah tanam, ketika tanaman sudah tidak mengalami
stagnasi akibat transplanting. Gejala
serangan penyakit akar bengkak P.
brassicae mulai terlihat saat
memasuki fase pembentukan krop (40 hst).
Pada tahap ini sudah mulai terlihat adanya hambatan dalam pembentukan
krop, yang disebabkan oleh rusaknya akar sebagai akibat serangan P. brassicae.
Bagian
atas dari suatu tumbuhan dapat dapat dipandang sebagai bagian tumbuhan yang
berada tepat di atas sistem perakaran (Ochse et all, 1986). Bagian atas
tumbuhan juga disebut sebagai sistem pucuk (Loveless, 1987). Selanjutnya di-nyatakan bahwa sistem pucuk
yang khas terdiri atas sebuah batang utama yang menyangga daun, batang, dan
kadang-kadang bunga. Masing-masing
bagian dari sistem ini menjalankan fungsinya berkaitan dengan aktifitas hidup
tumbuhan. Connor (1993), menyatakan
bahwa perkembangan bagian atas tumbuhan sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan termasuk daerah perakaran selain dari kondisi sistem akarnya
sendiri. Pertumbuhan dan perkem-bangan bagian atas suatu tumbuhan juga sangat
tergantung pada kesuburan media tanam [daerah perakaran] dan tersedianya
air. Faktor yang bisa membatasi pertumbuhan
dan perkembangan bagian atas tumbuhan adalah terganggu atau tidaknya fungsi
penyerapan air dan unsur hara oleh sistem perakaran.
Pertumbuhan
tanaman kubis hingga saat diambil hasilnya
dapat dilihat mulai dari benih yang berkecambah sampai dengan
terbentuknya krop yang keras atau kompak.
Selama kurang lebih 40 hari setelah pindah tanam atau 65 hari setelah
semai (tergantung varietasnya), pertumbuhannya cukup pesat. Pesatnya
pertumbuhan batang dan daun-daun ini menghasilkan proporsi batang dan daun yang
dominan dibandingkan dengan hasil krop.
Hal yang sama juga terjadi pada sistem perakaran (Njeuwhof, 1989). Menurut Njeuwhof, pada fase ini, kecuali hama, gangguan patogen
dapat dikatakan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, kecuali apabila
patogen sudah menyerang sejak fase bibit.
Fase ini berlangsung hingga tanaman berumur kurang lebih 35 - 45 hst
(tergantung kultivarnya), yang pada fase berikutnya merupakan saat kritis bagi
pembentukan krop. Bila sejak awal sistem
perakaran tidak terganggu maka akan memberikan hasil krop yang baik. Selanjutnya Njeuwhof menyatakan bahwa karena
perakaran sudah tidak berkembang lagi, maka bila ada gangguan yang terjadi
sebelumnya pada akar akan langsung menghambat pertumbuhan krop.
Salah
satu peranan bahan organik adalah sebagai pengikat agregat sehingga terjadi
granulasi dan peningkatan jumlah ruang pori
tanah. Jumlah ruang pori tanah yang cukup akan membantu
distribusi akar. Distribusi akar turut
memegang peranan yang menentukan dalam pertumbuhan tanaman. Distribusi akar yang luas menjadikan
permukaannya yang bersentuhan dengan larutan tanah semakin luas, dan dengan
sendirinya akan lebih banyak hara yang diserap.
Adsorbsi unsur hara yang baik oleh akar akan menghasilkan pertumbuhan
dan produksi yang baik (Hakim dkk, 1986).
Pada tahap dimana pembentukan krop belum terjadi, pertumbuhan bagian
atas tanaman kubis berjalan dengan pesat seiring dengan pesatnya distribusi
akar. Kondisi tersebut akan semakin
baik apabila tersedia bahan organik yang cukup, sehingga dapat memberikan
pengaruh yang sangat nyata pada pertumbuhan bagian atas tanaman.
Bahan
organik sisa dekomposisi kotoran kambing (B2) berpengaruh paling
baik terhadap berat segar bagian atas tanaman kubis. Hal ini disebabkan sifat fisik dan kimia
hasil dekomposisi kotoran kambing yang cukup menunjang dalam distribusi
akar. Patric (1995), memperoleh fakta
bahwa kandungan gel dalam hasil dekomposisi kotoran kambing paling tinggi
dibandingkan dengan yang lain. Gel atau
lendir yang terdapat dalam bahan organik tertentu sangat membantu dalam
pembentukan struktur tanah yang sesuai untuk distribusi akar. Lendir berperan dalam agregasi butiran tanah
yang yang dapat meningkatkan ruang pori
tanah dan membentuk struktur tanah remah yang mantap (Russell, 1988). Struktur remah ini memiliki beberapa
kebaikan, yaitu keadaan air dan udara yang diperlukan untuk adsorbsi unsur hara
dan pernapasan akar tersedia cukup dan seimbang. Akar menjadi mudah menerobos tanah, gerakan
air baik, jumlah air yang ditahan cukup banyak.
Adanya gel atau lendir tersebut dapat mengurangi pencucian unsur hara
oleh air [hujan] dan lebih memantapkan strukturnya terhadap penguraian dalam
air (Sarief, 1986). Secara keseluruhan
kondisi tersebut cukup baik untuk pertumbuhan tanaman sehingga memberikan hasil
yang lebih baik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari
hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemberian bahan
organik hasil dekomposisi kotoran hewan ternak bersama jamur antagonis Trichoderma spp. dalam media tanam dapat menurunkan serangan patogen Plasmodiophora brassicae penyebab penyakit akar bengkak pada
tanaman kubis dari 85 % hingga menjadi 34 %.
Pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma
spp. tanpa disertai penggunaan bahan organik hasil dekomposisi kotoran
hewan ternak hanya dapat menurunkan
serangan patogen tersebut dari 85 % hingga menjadi 60,6 %
2. Serangan
penyakit akar bengkak P. brassicae
dapat ditekan dengan meningkatkan pH media tanam dari 6,3 hingga minimal
7,01, yang dapat terjadi dengan
penambahan bahan organik hasil dekomposisi kotoran ayam, kambing, dan sapi.
3. Sumber inokulum Trichoderma spp. yaitu daerah perakaran
kubis, daerah perakaran sawi, dan daerah perakaran brokoli tidak berpengaruh
nyata dalam pengendalian P. brassicae penyebab penyakit akar bengkak
pada tanaman kubis.
Saran-saran
Dari
hasil penelitian diketahui bahwa penggunaan bahan organik hasil dekomposisi
kotoran ternak dan pemanfaatan jamur antagonis Trichodermaspp. dapat menurun-kan intensitas penyakit akar bengkak
dari 85 % menjadi 34 %. Sedangkan
pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma spp.
tanpa disertai peng-gunaan bahan organik hasil dekomposisi kotoran ternak hanya
dapat mengendalikan serangan akar bengkak
dari 85 % menjadi 60,6 %. Berdasarkan hal ini apabila metode pengendalian
yang dilakukan dalam penelitian ini diterapkan dalam penanaman di lapangan,
maka agar mencapai hasil yang maksimal, pemanfaatan jamur antagonis Trichoderma spp. perlu disertai dengan
penggunaan bahan organik hasil dekomposisi kotoran ternak terutama dari kotoran
kambing.
Metode
pengendalian dalam penelitian ini, apabila diterapkan di lapangan, maka
dari 10000 tanaman yang ditanam, hasil
yang dapat diperoleh hanya berasal dari 6600 tanaman normal. Meskipun hasil yang diperoleh masih lebih
baik dari pada tanpa penerapan metode pengendalian tersebut, penerapannya masih
perlu mempertimbangkan biaya penanaman, dan perkembangan harga krop kubis di
pasaran.
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, A. L.
1990. Pemanfaatan Jamur Saprobik
Dan Kompos Untuk Pengendalian Layu Fusarium pada Tanaman Tomat. Jur. Hama
dan Penyakit Tanaman Universitas Brawijaya . 2(3): 49 - 59.
Alexopoulos, C.J. and C.W. Mims. 1979.
Introductory Mycology. Third
Edition. John Wiley & Sons,
Inc. New York.
632 p.
Anonymous. 1990.
Cauliflower and Broccoli (Planting, Protection, Harvest Handling of
Cauliflower and Broccoli). Agribusiness Worldwide. No. 2. Vol. 2. March
1990. Shawnee Mission,
Kansas. U.S.A.
Baker, K.F. and
R.J. Cook. 1974.
Biological Control of Plant Pathogens.
W. H. Freeman and Co. San Fransisco. 433. p.
Barnett, H.L. and B.B. Hunter. 1972.
Illustrated Genera of Imperfect Fungi.
Second Edition. Burgess
Publishing Company. Minneapolis. USA. 225 p.
Bohlen, E. 1987. Crop Pest in Tanzania
and Their Control. Paul Parey . Berlin.
136 p.
Cook, A. A. 1978. Disease of Tropical and Sub-Tropical
Vegetables and Other Plants.
Hafner. New York.
256 p.
Cook, R.J. and K.F.
Baker. 1989. The Nature and Practice of Biological Control
of Plant Pathogens. The American Phytopathological
Society. St. Paul.
Minnestosa. 539 p.
Davidson, R. M. Jr.
1990. Club Root Of Cabbage And
Other Crucifers. Agricultural Research
Technology. WSU Puyallup. Puyallup. WA.
Deacon, J. W.
1997. Modern Mycology. Blackwell Science Ltd. Third Edition. 303 p.
Dennis, C. and J.
Webster. 1971. Antagonistic Properties of Species - Group of
Trichoderma I. Production of Non Volatile Antibiotic. Trans. Br.
mycol. Soc 57: 25 - 39
Djatnika. 1991. Pengaruh Ekstrak Gulma Terhadap Patogenisitas Plasmodiophora brassicae Wor. Pada
Tanaman Petsai. Buletin Penelitian
Hortikultura. Vol XXI. No. 1.
1991.
____________.
Pengaruh Mortierella sp., Trichoderma
sp. Dan Media Tumbuhnya Terhadap Serangan Plasmodiophora brassicae W. Pada Kubis. Buletin Penelitian Hortikultura. Vol XXI.
No. 2. 1991.
Djatnikan. 1992. Pengaruh Trichoderma
harzianum Terhadap Pertumbuhan Fusarium
pada Media Biakan. Bulletin Penelitian
Hortikultura. Vol.
XXI No. 3. 1992
Djauhari, S dan M.
Martosudiro. 1995. Pengendalian Hayati Menggunakan Trichoderma sp. Terhadap Penyakit Antraknose pada Cabe (Capsicum annum): Pengaruh Ekstrak Medium Alam. Fitopatologi 33(2):30-38
Holliday, P.
1980. Fungus Diseases of Tropical
Crops. Cambrigde University
Press. 338 p.
Jansen, C.J.
1995. Field Guide To Observe Club
Root Disease Of Cruciferas Crop. The Mac
Millan Company. 104 p.
Mathew, R.H.
1989. Modern Methods for Pest Management.
The Iowa State University
Press. USA. 351 p.
Mihuta, L.G. and R.C. Rowe.
1986. Trichoderma spp. As Biocontrol Agents of Rhizoctonia Damping-off of
Radish in Organik Soil an Comparison of
Four Delivery Systems. Phytopathology
76: 306-312
Njeuwhof, M.
1989. Cole Crop. Leonard Hill.
London. 143 p
Ochse, J.J., Soule, M.J. Jr. Dijkman, M.J. Wehlburg, C. 1986. Tropical and Subtropical Agricuture.
2nd Edition. The MacMillan Company, New York. 249 p.
Papavizas. C.G. 1985. Trichoderma sp. and Gliocladium sp. : Biology,
Ecology, and Potential for Biocontrol.
Annual Review. Phytopathology
233: 23 - 54.
Patric, A.M.
1995. Soil Conservation Material
In Horticulture Farm. Longman Group UK. Ltd. England. 243 p.
Rao, S. N. S.
1994. Mikroorganisme Tanah dan
Pertumbuhan Tanaman, ed. 2. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Reuszer, H. W.
1957. Compos, Peat, and Sewage
Sludge In A Stefferud Soil .
The 1957 Year Book of Agriculture, pp. 237 - 245. The United State Goverment Printing
Office. Washington D.C.. USA.
Rukmana, R. 1992. Akar
Bengkak Mengancam Produksi Kubis. Sinar
Tani. 5 Februari1992. hal: 18
Sanchez, P.A. 1994.
Properties and Management of Soils in Tropics. John Wiley.
New York. 156 p.
Sarief, S. 1986. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung. 182 hal.
Sastrahidayat, I.R.
1992. Ilmu Penyakit
Tumbuhan. Usaha Nasional Surabaya. 265 hal.
Semangun, H.
1994. Penyakit-penyakit Tanaman
Hortikultura Di Indonesia. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. 624 hal.
Sherf, A.F. 1991. Club Root of Cabbage. Field Guide to Grow Cabbage In Infected
Soil. Greenforce Horticulture Dept. Virginia. U.S.A. 3p.
Staples, R.C. and Toenniessen, G.H. 1981.
Plant Disease Control. A
Wiley-Interscience Publication. John
Wiley & Sons. New York.
339 p.
Suryaningsih, E.
1993. Penyakit Fungi pada sayuran
di Lapangan. Makalah disampaikan pada Pelatihan PHT Petugas
Pemasaran PT Sarana Agropratama di Balithor Lembang. 56 hal.
Wagner, J.E. 1993.
The Antogonistic Potency of Several Fungus Species In Cultivated Soil In
Tropics. Tata McGraw-Hill Pub. Co.,
Limited. New Delhi.
218 p.