oleh
Oleh : Rini Ningrum
Ternyata,
Departemen Kehutanan pernah mengucurkan dana sebesar Rp 2,4 triliun
dari dana reboisasi dalam bentuk hibah tunai dan potongan pinjaman untuk
mensubsidi pengembagan hutan tanaman industry (HTI), sayang banyak
perusahaan HTI yang melakukan mark up.
Berdasarkan
hasil penelusuran CIFOR (Centre for International Forest Research)
melaporkan, banyak perusahaan HTI yang melakukan mark up, dan mengakui
wilayah yang akan dikelola secara berlebihan agar mereka memperoleh
subsidi Dana Reboisasi. Ini terjadi ketika masa Orde Baru.
Tanpa
merinci CIFOR juga mencatatbahwa, dana reboisasi ternyata digunakan
untuk berbagai kegiatan politik, lebih dari 1,3 triliun dana tersebut
digunakan bukan untuk kegiatan penghijauan yang menjadi kegiatan kunci
dalam memperoleh pendanaan. Laporan Ernest and Young menyebutkan,
beberapa dana DR digunakan untuk PT Industri Pesawat Terbang Nusantara
(PT IPTN) sebesar Rp 400 miliar, kemudian hibah untuk membiayai
pengembangan lahan gambut pada tahun 1995, sekitar Rp 527 miliar, Rp 100
miliar untuk program kesejahteraan keluarga takesra, melalui Yayasan
Dana Sejahtera Mandiri selanjutnya Rp 250 miliar untuk PT Kiani Kertas.
Serta berbagai proyek kontruksi yang disetujui oleh Kementerian
Kehutanan, seperti pembangunan Manggala Wanabakti. Bahkan DR ini juga
digunakan untuk menutupi kekurangan anggaran negara, seperti yang
terjadi pada krisis ekonomi tahun 1997, Rp 400 miliar dari dana DR
dilaporkan disetorkan ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Dana
Reboisasi (DR) mulai diperkenalkan tahun 1980, pada saat itu disebut
Dana Jaminan Reboisasi (DJR). Pada mulanya berbentuk jaminan bagi
kinerja HPH yang bertujuan utuk meningkatkan reboisasi dan rehabilitasi
hutan. Perusahaan HPH harus menyediakan US$ 4,00 per meter kunik (m3) –
berdasarkan kayu bulat yang dipanen. Pada prinsipnya, pemerintah akan
mengembalikan dana tersebut, setelah HPH melakukan penanaman kembali di
lahan yang sudah dimanfaatkan, tetapi yang terjadi, dari sekitar 120 HPH
hanya 30 yang melakukan penanaman kembali. Rupanya sebagian pemilik
perusahaan merasa lebih untung bila dana DJR tidak diambil.
Maka
tahun 1987, DJR direstrukturisasi, diubah menjadi Dana Reboisasi (DR),
dan dana tersebut tidak dapat diambil. Pada saat yang sama DR dinaikkan
menjadi US$ 7,00 per meter kayu dipanen, kemudian diubah lagi tahun 1990
menjadi US$ 10,00 dan menjadi 16 US$ ditahun 1993.
Pertanyaannya,
bagaimana nasib dana reboisasi tersebut saat ini, Heri Purnomo salah
satu peneliti di CIFOR mengungkapkan, bahwa tidak ada yang tahu persis
berapa jumlah dana reboisasi tersebut saat ini, bahkan keberadaan dana
tersebut menurut beberapa sumber yang diperoleh oleh CIFOR tersebar di
beberapa rekening. Sayangnya, menurut Heri, informasi tersebut selalu
tidak berdasar artinya belum ada data yang pasti tentang jumlah dan
nasib dari dana reboisasi tersebut.
Hasil
penelitian CIFOR ini juga mencatat, di awal krisis pengelolaan dana ini
dialihkan ke Departemen Keuangan dan menyiapkan audit independen yang
dilakukan oleh pihak ketiga. Audit tahun 1999, mendokumentasikan adanya
kesalahan sistematis dalam pengelolaan keuangan, berbagai kecurangan
dalam penggunaan subsidi dana DR. Ernest and Young juga mencatat dana
public yang hilang sekitar US$ 5,2 miliar selama lima tahun di periode
1993/4 – 1997/8, sekitar 50 persen diantaranya terjadi setelah iuran DR
masuk ke Departemen Kehutanan. Namun setelah tahun 2009, laporan Ernest
and Young tidak lagi di rilis untuk publik.
Sampai
saat ini dana reboisasi masih tetap gelap, informasi tentang jumlah dan
dimana dana tersebut tersimpan pun masih belum jelas. Sehingga ada
kekuatiran bagaimana nasib dana REDD+ nantinya. Dari hasil risetnya
CIFOR merekomendasikan, dibutuhkannya langkah untuk akuntabilitas,
keterbukaan serta transparansi dalam pengelolaan anggaran REDD+ oleh
lembaga-lembaga kunci yang akan terlibat nantinya*.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar