Studi Kasus di Bogor Jawa Barat
Oleh :
Karyono dan Hariyatno
Oleh :
Karyono dan Hariyatno
RINGKASAN
Peluang pemasaran kayu mindi (Melia azedarach L.) baik di dalam negeri maupun ke luar
negeri seperti ke Jepang, Belanda dan Amerika Serikat semakin terbuka. Peluang tersebut
didukung oleh semakin meningkatnya tingkat permintaan dari industri pengolahan kayu mindi
di Indonesia terutama di kawasan Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi), dan
beberapa daerah di Jepara Propinsi Jawa Tengah. Selain industri rumah tangga masyarakat
konsumen (RTK) juga telah memanfaatkan kayu mindi sebagai bahan bangunan dan bahan baku
mebeler. Kayu mindi memiliki warna cerah seperti kayu karet atau Jati. Serat kayunya halus,
mudah untuk pengolahan. Mindi cocok sebagai bahan baku produksi hasil kayu katagori small
product (Meja Strikaan, Rak TV, Rak handuk ). Mudah ditanam tidak memerlukan pemeliharaan
yang intensif, tahan terhadap serangan hama gerek dan hama pucuk yang biasa terjadi pada kayu
Sengon. Umur 5-10 tahun bisa dipanen, sebelum ditebang berfungsi sebagai pelindung tanaman
inti. Harga di pasaran mampu bersaing dengan jenis kayu dari kebun rakyat misalnya dengan
kayu Sengon dan Durian).
Tantangan bagi pelaku pasar kayu mindi yaitu ; ketersediaan kayu mindi secara kontinu
mengingat budidaya kayu mindi tidak dilakukan secara intensif oleh masyarakat. Di lain pihak
instansi terkait (Kehutanan, Perhutani, Inhutani dan HPH) belum melakukan penanaman secara
intensif.
Kata kunci : Peluang, tantangan, pemasaran, mindi.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kayu mindi (Melia azedarach L) ada yang tumbuh secara liar dan ada yang
ditanam tapi tidak dipelihara secara intensip. Di daerah Bogor, Jawa Barat,
misalnya terdapat di daerah Rumpin, Sukamantri, Cimahpar, dan Pondok Bitung,
kayu mindi yang sengaja ditanam oleh masyarakat di sekitar pelataran sawah atau
kebun sebagai pelindung tanaman pokok seperti cabe, secin, wortel, padi, jagung,
pisang dll. Setelah tua (5-10) tahun, kayu tersebut dijual sebagai tambahan
pendapatan petani. Daun mindi selain dijadikan pakan ternak seperti kambing, biribiri,
dan sapi, juga sebagai pupuk hijau, buahnya bisa dimanfaatkan sebagai obat
pestisida (Kardinan,1999). Kayu yang masih kecil dan lurus (lingkaran 7-10 cm)
dengan panjang 1,5 - 4 meter bisa digunakan sebagai bahan mainan masyarakat
desa di musim kemarau yang disebut kolecer.
Mindi memiliki tekstur yang menarik menyerupai kayu Jati atau Mahoni. Oleh
sebab itu kayu mindi dapat dikelompokkan sebagai kayu komersial karena telah
laku diperdagangkan baik di pasaran lokal maupun di pasaran internasional dalam
bentuk barang jadi (Mebeler).
Mobilitas tingkat pemakaian kayu jati, mahoni, ramin, rasamala cukup tinggi,
selain semakin langka juga harganya cukup mahal, jangkauan daya beli masyarakat
semakin jauh, maka sebagian perusahaan perkayuan mengalihkan perhatiannya
untuk menggunakan jenis kayu mindi sebagai alternatif bahan baku industrinya.
Berkembangnya pemanfaatan kayu mindi membuka peluang bagi pelaku pasar
untuk memanfaatkan kayu mindi sebagai bahan mebeler. Di sisi lain, sekaligus
merupakan tantangan bagi masyarakat dan Pemerintah serta Badan Usaha lainnya
yang bergerak dibidang budidaya kayu jenis komersial (Perum Perhutani, Inhutani,
HPH-HTI dan lain-lain). Yang selama ini belum diketahui secara pasti adalah
potensi kayu mindi untuk mensuplai bahan baku industri kayu mindi.
Pohon mindi yang ada saat ini, khususnya di daerah Bogor, tersebar secara
sporadis dengan luasan yang relatif kecil pada kebun-kebun rakyat. Mindi
cenderung diminati oleh masyarakat karena memiliki daur pendek, pada umur 5 -
10 tahun sudah dapat dipanen sebagai tambahan pendapatan. Penanganan pasca
panen termasuk penyediaan pasar dan informasi pasar serta sistem pemasaran hasil
produksi kayu mindi yang efektif merupakan salah satu tantangan bagi pelaku
pasar.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini akan mengkaji peluang dan tantangan pemasaran kayu
mindi kaitannya dengan upaya budidaya tanaman kayu mindi oleh masyarakat
dalam menggali potensi sebagai sumber pendapatan masyarakat dan pendapatan
asli daerah (PAD).
II. METODE
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di daerah Bogor, Jawa Barat, mengingat daerah ini
merupakan daerah yang banyak tanaman mindinya jika dibandingkan dengan
daerah lain di Jawa Barat. Di daerah ini juga sudah banyak pelaku pasar kayu
mindi, baik sebagai bahan bangunan, mebeler maupun dijual kepada pedagang
pengumpul dan industri.
B. Pengumpulan dan pengolahan data
Data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder
dikumpulkan dari aparat pemda terkait, sedangkan data primer dikumpulkan dari
petani dan pedagang serta pelaku pasar khusus kayu mindi.
Data diolah dengan memperhitungkan berbagai biaya dan dengan menjumlah
biaya eksploitasi (penebangan, pengangkutan), penggergajian, biaya pengeringan
sampai biaya pengangkutan ke industri.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum daerah penelitian
Luas Kabupaten Bogor adalah 332.633 ha dibagi 30 Kecamatan dan 402
Desa/kelurahan. Berdasarkan PP No. 33 tahun 1967, luas hutan yang diharapkan
30 % dari luas daratan. Luas hutan di Kabupaten Bogor tercatat 88.803,61 ha,
yang terdiri dari: Hutan Lindung : 17. 414,58 ha (5,24 %), Hutan Produksi
58.069,03 ha (17,43 %), Hutan Rakyat 13.320 ha (4,00 %).
Oleh sebab itu masih ada peluang untuk membangun hutan rakyat dengan jenis
pohon mindi yang akan mendukung peluang pasar internasional terutama Jepang,
Belanda dan Amerika. Tingkat permintaan terhadap kayu mindi cenderung
meningkat baik di pasar lokal maupun internasional. Untuk pasaran internasional
kayu mindi dalam bentuk kayu berbajian (4 S) dan furniture telah diekspor ke
Jepang dan Amerika Serikat. Sifat pengerjaannya cukup baik karena seratnya
halus dan kayunya memiliki kerapatan sedang. Industri pengolahan kayu mindi saat
ini terdapat di Jakarta, Tangerang, Bekasi dan Bogor, pada umumnya industri ini
memerlukan bahan baku untuk pasaran dalam dan luar negeri. Sebagai contoh
untuk pasaran luar negeri (Jepang dan Amerika) salah satu perusahaan eksportir
furnitur memerlukan bahan baku kayu mindi sekitar 250 m³ sawn timber setiap
bulan. Untuk pasaran lokal seperti Bogor, diperlukan 100 m³ sawn timber per
bulan sebagai bahan baku “wood rack”. Hasil penjualan kayu mindi merupakan
sumber pendapatan masyarakat petani asli daerah. Kayu mindi belum
dibudidayakan secara intensif, oleh sebab itu potensi kayu mindi di kebun milik
rakyat semakin langka. Mengingat hal ini maka peluang peningkatan pendapatan
asli daerah akan semakin terbuka antara melalui pembudidayaan tanaman kayu
mindi. Tulisan ini mengulas peluang dan tantangan pemasaran kayu mindi
kaitannya antara upaya budidaya tanaman kayu mindi oleh masyarakat bersamasama
dengan aparat pemda terkait.
B. Potensi Kayu Mindi
Di Jawa Barat khususnya di daerah Bogor, kayu mindi belum dibudidayakan
secara intensif oleh masyarakat maupun oleh instansi terkait misalnya Dinas
Perhutanan dan Konservasi Tanah (PKT), Perum Perhutani (KPH-KPH) maunpun
instansi kehutanan lainnya. Bagitu juga potensi kayu mindi yang ada di sekitar
hutan/kebun masyarakat belum terpantau, sehingga sulit untuk menaksir
kemampuan tingkat supply terhadap industri pengolahan. Oleh sebab itu potensi
yang telah dimanfaatkan oleh pelaku pasar di Jawa khususnya di daerah Bogor
baru terbatas dari potensi hutan atau kebun rakyat.
Jumlah kayu mindi di hutan/kebun rakyat umumnya berkisar antara 1 - 20 pohon
per keluarga, dengan diameter antara 10 - 50 cm (Gambar 1). Umur pohon
berkisar antara 5 - 12 tahun .
Gambar 1. Pohon Mindi dapat mencapai diameter 50 cm
Gambar 2. Kumpulan pohon mindi di kebun rakyat
C. Harga Kayu Mindi
1. Harga di tingkat petani
Harga kayu mindi di tingkat petani berkisar antara Rp. 350.000 per
pohon. Petani pada umumnya kurang memiliki informasi harga pasar kayu mindi,
sehingga harga ditingkat petani relatif masih rendah. Selain terputusnya informasi
harga pasar ditingkat petani, harga jual kayu mindi sangat dipengaruhi oleh faktor
topografi, jarak dari jalan raya ke jalan desa. Dalam pengangkutannya diperlukan
tenaga kerja dan biaya cukup besar. Oleh sebab itu harga yang diterima ditingkat
petani menjadi lebih rendah. Kesulitan lain adalah dalam penebangan mengingat
lokasinya berada di kebun-kebun, apabila dalam penebangan menimpa tanaman
milik orang lain seringkali harus membayar ganti rugi. Pada umumnya pohon
mindi memiliki bagian batang yang bengkok atau cacat sehingga mempengaruhi
harga jual ditingkat petani. Petani menjual kayunya dikebun-kebun, sawah-sawah
kepada pedagang pengumpul dalam bentuk pohon/tegakan. Sehingga pedagang
pengumpul harus mengeluarkan biaya eksploitasi cukup besar untuk penebangan
dan pemotongan, dan pengangkutan ke tempat penumpukan sementara di tepi jalan
mobil, dan biaya pengangkutan ke sawmill terdekat. Harga yang diterima ditingkat
petani relatif rendah mengingat sebelum diangkut ke konsumen, biaya yang
dikeluarkan pembeli/pedagang pengumpul cukup besar. Pada umumnya pedagang
pengumpul mengeluarkan biaya eksploitasi 2 kali lebih besar dari harga kayu yang
dibeli dari para petani. Sebagai contoh dengan harga beli 82 pohon Rp.
43000.000,-, Harga kayu per pohon yang diterima di tingkat petani
berkisar antara Rp. 250.000 - Rp. 350.000,-.
Nama /Wilayah Jumlah pohon yang ditebang Harga per pohon Jumlah pendapatan per wilayah
Cimanglid (A) 49 47.143 2.310.000
Gang Sawo (B) 18 58.333 1.050.000
Pondok bitung (C) 14 52.875 740.000
Cibalagung (D) 4 50.000 200.000
Jumlah (A,B,C dan D) 82 52.500 4.300.000
Sumber data : Data primer, 2001.
2. Harga di tingkat pedagang pengumpul
Pedagang pengumpul membeli dalam bentuk kayu bulat (logs) dari petani, lalu
diolah menjadi kayu gergajian (sawn timber) sesuai ukuran pemesan. Pedagang
pengumpul berfungsi sebagai pemasok baik industri mebeler maupun pemakai
langsung rumah tangga. Pedagang pengumpul berfungsi sebagai penjual jasa
dalam penyaluran produk kayu mindi dan bukan sebagai pembuat produk jadi.
Jasa yang diperoleh dari aktivitasnya adalah margin yang diterima di tingkat petani
dengan industri pengolah atau pemakai rumah tangga. Pedagang pengumpul tidak
hanya menunggu pembeli atau penjual kayu, tetapi mencari pembeli dan penjual
didaerah-daerah. Hubungan dengan pihak lain yang memiliki informasi tentang
pohon mindi dan informasi harga pasar sangat diperlukan oleh pedagang
pengumpul. Harga jual kayu ditingkat pedagang pengumpul dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain : harga kayu ditingkat petani, biaya eksplotasi
(penebangan, penyaradan/pengangkutan dan muat bongkar), biaya penggergajian
di sawmill/rental kayu dan biaya pengeringan.
Untuk mendapat kepercayaan, pedagang pengumpul harus memiliki cukup
modal karena pembelian kayu secara tunai kepada petani. Selain diperlukan modal,
pedagang pengumpul harus memiliki keterampilan dalam menaksir volume kayu
dari pohon dalam kondisi berdiri dan pengurusan dokumen angkutan kayu (Pas
Angkutan Kayu) dari instansi yang berwenang. Sebagai contoh untuk memperoleh
sekitar 17 m³ logs diperlukan modal kerja sekitar Rp. 7 - 8 juta rupiah. Dari jumlah
modal tersebut digunakan untuk biaya pembelian kayu, penebangan, pengangkutan
dan penggergajian sampai pengeringan kayu. Harga kayu gergajian ditingkat
pedagang pengumpul berkisar antara Rp.450.000 sampai Rp. 600.000 /m³. Kayu
yang dikirim sesuai dengan pesanan/order yang sudah ditetapkan perusahaan
mebeler (Perusahaan Pemesan Kayu). Dalam pengiriman barang perlu dilengkapi
dengan dokumen Pas Angkutan Kayu dari instansi terkait. Setiap perusahaan
pemesan menerima kayu mindi sesuai dengan pesanan (spesifikasi) dari
perusahaan, misalnya A1,A2,A3 dan B serta dengan ketebalan kayu antara 1,3 cm
s/d 4,8 cm, lebar kayu antara 3,3 cm sampai dengan 10 cm up dan panjangnya
antara 38 cm sampai 2m atau di atas 2 m.
Luas hutan rakyat di Kabupaten Bogor mencapai 13.320 ha, sedangkan luas hutan
produksi 58 ribu hektar. Areal hutan ini memberi peluang bagi penanaman kayu
mindi. Pelaku pasar kayu mindi akan menghadapi peluang dan tantangan yang
berbeda dan masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan berbeda pula.
Peluang dan tantangan tersebut diidentifikasi seperti terlihat pada Tabel 5.
Kayu mindi di pasarkan mulai dalam bentuk kayu bundar, papan gergajian
sampai barang jadi (mebeler), dan melibatkan berbagai pelaku pasar mulai dari
petani, pedagang pengumpul, industri penggergajian sampai pengrajin mebeler.
Petani sebagai pemilik tanaman mindi, biasanya menjual kayu mindi masih
berupa pohon kepada pedagang pengumpul di desa. Semua biaya penebangan,
pemotongan dan penarikan menjadi tanggungan pedagang pengumpul.
Kayu bundar mindi oleh pedagang pengumpul di desa-desa diolah menjadi
bentuk kayu gergajian sesuai pesanan dari industri pengolahan kayu moulding dan
mebel atau pesanan konsumen lainnya. Industri pengolahan kayu di sekitar
Jabotabek mengolah kayu mindi menjadi produk jadi untuk diekspor ke luar negeri
atau dipasarkan di dalam negeri. Suatu industri pengolahan kayu dapat berfungsi
sebagai eksportir dan umumnya mengandalkan lebih dari satu pemasok kayu mindi.
Bagan pemasaran dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Tataniaga Kayu Mindi
KESIMPULAN
1. Peluang pemasaran kayu mindi cukup terbuka setelah beberapa industri
pengolahan kayu beralih mengolah bahan baku dari kayu jati dan mahoni ke
jenis kayu mindi di kawasan Jabotabek.
2. Harga kayu mindi di tingkat petani berkisar antara Rp. 850.000 s/d 1.300.000/m³
kayu bulat (logs), lebih mahal dari harga kayu sengon Rp. 300.000 s/d 450.000,- per m³ namun jauh lebih murah dari harga kayu mahoni Rp. 1.800.000
s/d 2.200.000,- per m³.
Petani Mindi
Pedagang
Pengumpul
Penggergajian
Industri Pengolahan
Mebel/ Moulding
3. Kayu mindi termasuk jenis kayu cepat tumbuh, pada umur 5- 10 tahun dapat
dipanen. Kayu mindi tahan terhadap serangan hama dan penyakit jika dibanding
dengan tanaman kayu lainnya (sengon). Kayu dapat tumbuh tanpa perawatan
yang intensif.
4. Tantangan pemasaran bagi petani antara lain kurang memiliki informasi harga
pasar.
5. Budidaya kayu mindi belum dilakukan secara intensif oleh masyarakat maupun
instansi terkait ( Kehutanan, Pemda dan BUMN serta HP-HTI).
6. Industri pengolahan kayu mindi sangat selektif terhadap kualitas kayu yang
dibeli dari pemasok.
7. Pembayaran yang dilakukan industri umumnya dilakukan secara bertahap.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2000. Hutan rakyat sebagai sumber PAD sebuah tantangan di masa
depan, Prosiding Diskusi Panel P2SE, Bogor.
Dedi Kurniadi (Ir). 2000. Masalah dan kendala dalam membangun hutan rakyat di
Kabupaten Bogor , Diskusi Panel P2SE, Bogor.
Nur Hidayat (Ir). 2000. Kebijakan Pemerintah dalam mendorong Pengembangan
Hutan Rakyat, Diskusi Panel P2SE, Bogor.
Karyono dan Supriadi. 2000. Nilai Ekonomi Pemanfaatan Kayu Mindi studi kasus
di Bogor Jawa Barat, Info Hasil Hutan Vol 8 No. 1. Puslitbang Hasil Hutan,
Bogor 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar