Pemberitaan
tentang krisis pangan global mendominasi berita di sejumlah media masa
nasional maupun international di akhir 2010 ini. Suatu isu yang kembali
menghangat setelah pernah mencuat ke publik global sekitar dua tahun
yang lalu. Kali ini pemicu ancaman kekurangan pangan tidak lagi karena
kebijakan subsitusi komoditi pangan untuk tujuan biofuel, tapi karena
keadaan iklim khususnya curah hujan global yang tidak menentu. Kedua
faktor pemicu sebenarnya memiliki sumber masalah yang sama yaitu masalah
pemanasan global (global warming).
Kita boleh membaca bahwa satu sumber masalah (global warming) mendeterminasi
dua faktor pemicu untuk menghasilkan satu dampak besar ancaman suplai
pangan global. Dan kenyataan ini boleh dipahami bahwa masalah
pemanasalan global dapat saja mendeterminasi sejumlah faktor pemicu yang
kemudian akan berdampak terhadap kelangsungan hidup umat manusia di
jagad ini.
Isu kelangkaan pangan
hanya salah satu isu yang sedang menghantui umat manusia, tapi akan ada
sejumlah isu lainnya yang akan muncul untuk mengganggu dominasi manusia
terhadap makluk hidup lain di planet ini.
Ancaman
kelangkaan suplai pangan sebenarnya bukan ancaman baru bagi manusia.
Terhitung sejak Mathus mengeluarkan teorinya tentang pertambahan deret
hitung (produksi pangan) dan deret ukur (pertumbuhan penduduk) pada
tahun 1798, umat manusia sudah diperingati agar perlu mengantisipasi
ketidak seimbangan antara suplai dan deman akan pangan. Cuma bedanya
teori Malthus menelurkan faktor penentu kelangkaan suplai pangan adalah
manusia, sehingga manusia memerlukan kearifan untuk mengelolanya. Dan
terbukti bahwa manusia mampu untuk mengelola ancaman dimaksud dengan
melakukan sejumlah rekayasa yang melipatgandakan produksi pangan dunia.
Teori Malthus kemudian untuk sementara dianggap gugur. Pemerintah
disejumlah negara, khususnya negara-negara maju mampu mematahkan teori
Malthus melalui kebijakan produksi pangan yang tepat (termasuk Indonesia
dengan program Intensifikasi dan Ekstensifikasi pertanian di akhir
dekade 1970an). Keberhasilan pelipatgandaan produksi pangan pada tiga
dekade terakhir tidak lepas dari adanya komitmen yang kuat dari
pemerintah berbagai negara untuk meningkatkan produksi pangan disamping
adanya daya tarik pasar komoditi pangan. Pangan adalah suatu komoditi
primer sehingga suplai nya relatif akan selalu direspon oleh pasar
(global). masalahnya akan muncul saat komoditi primer ini dipakai untuk
tujuan sekunder bahkan tersier seperti yang terjadi dua tahun lalu dan
memicu ancaman kelangkaan suplai pangan.
Mari
kita periksa ancaman kelangkaan suplai pangan saat ini. Sekali lagi
pemicu kelangkaan pangan saat ini adalah masalah anomali iklim yang
mendeterminasi kegagalan produksi pangan di sejumlah negara produsen
pangan utama.
Sebut saja Rusia
mengalami kekeringan hebat sehingga mempengaruhi kemampuan produksi
pangannya. Sampai-sampai pemerintah Rusia terpaksa menutup keran
ekspornya guna mengantisipasi pemenuhan permintaan pangan dalam
negerinya. Sebaliknya China malah mengalami bencana banjir yang
mengagalkan produksi pangan tahun ini. Dengan jumlah penduduk yang
demikian besarnya, terpaksa China harus menambah volume impor pangannya,
juga untuk mengantisipasi permintaan dalam negerinya. Kebijakan yang
di luar kelaziman kedua negara ini saja mampu mengganggu keseimbangan
suplai dan demand pangan global. Jadinya semua negara, termasuk
negara-negara kecil melakukan ancang-ancang kebijakan keamanan pangan
yang sama. Suplai pangan global terganggu dan dampak nya inflasi dan
ancaman krisis pangan global.
Pergeseran Dimensi Krisis
Ada
hal menarik dari isu krisis pangan kali ini. Faktor pemicunya bukan
saja akibat tekanan penduduk dan juga buka saja karena masalah pemanasan
global. Tapi malah terjadi kombinasi tekanan antara kedua faktor
dimaksud dan memberikan tenanan baru dengan format yang lebih kompleks.
Cara menggantisipasinya juga tidak bisa lagi berupa kebijakan
berdimensi tunggal seperti kebijakan pelipatgandaan produksi pangan yang
terjadi dalam tiga dasawarsa terakhir. Sudah diperlukan adanya
pendekatan kebijakan yang lebih kompleks dengan mempertimbangan faktor
tekanan penduduk dan anomali iklim akibat pemansan global. Ini baru
kombinasi dua faktor dengan tekanan yang lebih berat. Dapat
diibayangkan bagaimana rumitnya pemerintah berbagai negara di dunia
harus melakukan format ulang kebijakan keamanan pangannya jika yang
menjadi determinan faktornya adalah kombinasi dari tiga atau lebih
faktor. Sebut saja bagaimana kalau ditambah dengan faktor krisis energi,
faktor kelangkaan erable land, faktor munculnya sejumlah besar konsumen
klas menengah dengan konsumsi tinggi, faktor peperangan (terorisme),
dsb.
Saya percaya sejumlah negara di
dunia sudah melakukan ancang-ancang antisipasi krisis pangan jilid
berikut nya. Sejumlah negara Eropa dan Amerika sudah mengantisipasi nya
dengan kebijakan biofuelnya, ditambah dengan upaya menimbun stok pangan
dalam negerinya bahkan untuk beberapa tahun ke depan. China sudah lama
menerapkan kebijakan satu anak dan sejauh ini tergolong berhasil.
Disamping itu China saat ini juga dikenal sebagai salah satu negara
lumbung pangan dunia. Israel telah lama menerapkan praktek pertanian
dengan sistem pemanfaatan air yang sangat efisien bahkan pemanfaatan
potensi air laut dan berhasil melakukan ekspor pangan. Lantas bagaimana
dengan Indonesia?
Ancangan Kebijakan
Alih-alih
mengantisipasi ancaman krisis pangan berdimensi kompleks dengan
kebijakan yang tepat. Keberhasilan menekan pertambahan penduduk melalui
program KB saat ini hanya meninggalkan cerita indah bagi gerenasi baru.
Ikut-ikutan mengagas pemanfaatan energi alternatif sejauh ini belum ada
cerita keberhasilan yang menarik untuk didengar. Yang terakhir, saat
menghadapi ancaman krisis pangan global kali ini pemerintah Indonesia
menanggapi nya dengan menyatakan bahwa Indonesia berada dalam keadaan
aman dilihat dari cadangan pangan nasional. Walaupun keadaan aman
dimaksud hanya mampu bertahan untuk paling lama 6 bulan ke depan dengan
cadangan pangan sekitar 1.4 juta ton.
Pertanyaannya
adalah apa sampai di situ saja ancangan kebijakan pangan kita untuk
mengantisipasi persoalan yang berdimensi jangka panjang? Atau kalau
dibalik, maka pertanyaannya adalah bagaimana strategi keamanan pangan
kita dalam menghadapi perubahan-perubahan di tingkat global, di saat
banyak negara lainnya sudah jauh hari memiliki ancangan kebijakan
keamanan pangan?. Kebijakan yang dikemukakan oleh pemerintah dalam
menghadapi ancaman krisis pangan kali ini juga harus diakui tidak cukup
strategis dalam jangka pendek.
Memang
pemerintah sedang mengembangkan program extensifikasi tanaman pangan
secara besar-besaran, khususnya di Merauke dan daerah potensil lainnya.
Pengembangan kawasan pangan dalam skala luas atau food estate di
Kabupaten Merauke, Papua diperkirakan memerlukan investasi sekitar Rp50
triliun hingga Rp60 triliun dengan luas potensil sekitar 200.000 hektare
dan tambahan produksi padi (beras) mencapai satu juta ton Tapi
sebagaimana dijelaskan di atas, ancangan kebijakan keamanan pangan tidak
bisa hanya berdimensi tunggal, apa lagi itu ditangani secara sektoral.
Kita memerlukan adanya suatu ancangan kebijakan yang lebih komprehensif
guna mengatasi isu ancaman krisis pangan yang juga berdimensi jamak.
(Penulis
Prof. Ir. Fred L. Benu, MSi., Ph.D., adalah gurubesar ekonomi produksi
pada Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Undana. Artikel ini
sebelumnya dipublikasikan di blog : http://drylandagriculture.blogspot.com/2010/10/mengapa-akhir-akhir-ini-para-petani.html)
DISADUR DARI :
http://www.undana.ac.id/Institutes/index.php/in/news-and-events/51-kekurangan-pangan-