Desi Sri Pasca Sari Sembiring,SP,SE,MSi
Dosen Yayasan Universitas Quality
*)Progam Doktor PSL Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara
e-mail :Kifa_gs@yahoo.com.
ABSTRACT
Reduction in the buffer area resulted in flooding and drought, requires the Government of Medan to see the sides that can be utilized as a buffer area that is the watershed, open space, vacant land, agricultural land and other. Region that serves as a buffer area of Medan city is Pancur Batu subdistrict, district Patumbak, district and subdistrict Delitua Namurambe. Fourth District have rivers that flow into the River among Medan Deli, Belawan River, River Seriwah, Seruai River, Rock River, Sungai Batang Quiz, Tuntungan River, Bekala River and Middle River.
From the results can be known that before he settled DAS Medan city is still in ecological threshold. Watershed which explored the physical development (residential, tourist and quarrying C) is the catchment area have access transportation. Other DAS is still used for garden mix (polikulture) perennials that have a root structure that can withstand erotion.The conclusion is a buffer area in Medan: Southern Region (upstream) is still insufficient in terms of availability as well as from existing vegetation, floods that struck the city of Medan in general is still entered into the category of a pool of water, a buffer area in the downstream area of Medan, the category is not sufficient, in terms of area and vegetation composition. Development of a buffer area in the southern city of Medan (upstream) is to utilize the potential of available land into agricultural commodities. To maintain the availability of a buffer area in the downstream region is the printing of new city forests, exploiting riverine agricultural areas were hard plants and increased community participation in maintaining a buffer area.
Reduction in the buffer area resulted in flooding and drought, requires the Government of Medan to see the sides that can be utilized as a buffer area that is the watershed, open space, vacant land, agricultural land and other. Region that serves as a buffer area of Medan city is Pancur Batu subdistrict, district Patumbak, district and subdistrict Delitua Namurambe. Fourth District have rivers that flow into the River among Medan Deli, Belawan River, River Seriwah, Seruai River, Rock River, Sungai Batang Quiz, Tuntungan River, Bekala River and Middle River.
From the results can be known that before he settled DAS Medan city is still in ecological threshold. Watershed which explored the physical development (residential, tourist and quarrying C) is the catchment area have access transportation. Other DAS is still used for garden mix (polikulture) perennials that have a root structure that can withstand erotion.The conclusion is a buffer area in Medan: Southern Region (upstream) is still insufficient in terms of availability as well as from existing vegetation, floods that struck the city of Medan in general is still entered into the category of a pool of water, a buffer area in the downstream area of Medan, the category is not sufficient, in terms of area and vegetation composition. Development of a buffer area in the southern city of Medan (upstream) is to utilize the potential of available land into agricultural commodities. To maintain the availability of a buffer area in the downstream region is the printing of new city forests, exploiting riverine agricultural areas were hard plants and increased community participation in maintaining a buffer area.
Keyword: watershed, Buffer Zone, Water Infiltration, Southern Region Field
ABSTRAK
Berkurangnya kawasan penyangga berakibat pada banjir dan kekeringan, mengharuskan Pemerintah Kota Medan melihat sisi-sisi yang bisa dimanfaatkan sebagai kawasan penyangga yakni daerah aliran sungai, ruang terbuka, lahan kosong, lahan pertanian dan lainnya. Wilayah yang berfungsi sebagai kawasan penyangga Kota Medan adalah Kecamatan Pancur Batu, Kecamatan Patumbak, Kecamatan Namorambe dan Kecamatan Delitua. Keempat Kecamatan ini terdapat sungai-sungai yang mengalir ke Kota Medan diantaranya Sungai Deli, Sungai Belawan, Sungai Seriwah, Sungai Seruai, Sungai Batuan, Sungai Batang Kuis, Sungai Tuntungan, Sungai Bekala, dan Sungai Tengah.
Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa kawasan DAS dihulu Kota Medan \masih dalam batas ambang ekologis. DAS yang dieksplorasi pembangunan fisik (pemukiman, wisata dan penggalian C) adalah wilayah DAS yang memiliki akses transportasi. Kawasan DAS lainnya masih digunakan untuk kebun campuran (polikulture) tanaman keras yang memiliki struktur perakaran yang dapat menahan erosi.Kesimpulan yang didapat adalah Kawasan penyangga di Kota Medan : Wilayah Selatan (hulu) masih mencukupi baik dari aspek ketersediaan maupun dari vegetasi yang ada, banjir yang melanda Kota Medan secara umum masih masuk ke dalam kategori genangan air,kawasan penyangga di wilayah hilir Kota Medan masuk dalam kategori tidak mencukupi, dalam hal luasan maupun komposisi vegetasi. Pengembangan kawasan penyangga di wilayah Selatan Kota Medan (hulu) adalah dengan memanfaatkan potensi lahan yang tersedia menjadi komoditi pertanian. Untuk mempertahankan ketersediaan kawasan penyangga di wilayah hilir adalah pencetakan hutan kota baru, pemanfaatan sempadan sungai menjadi wilayah pertanian tanaman keras dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menjaga kawasan penyangga.
Keyword: DAS, Kawasan Penyangga, Resapan Air, Wilayah Selatan Medan
Pendahuluan
Gejala pembangunan kota di Indonesia tidak lagi mengacu pada rancangan kota yang memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Daya dukung lingkungan semakin rendah menyebabkan masalah banjir dan kekeringan berkepanjangan. Kondisi ini berdampak pada kelangsungan hidup makhluk di wilayah yang mengalami degradasi. Untuk menjaga kelangsungan hidup sebuah kota, seharusnya kota menyediakan kawasan penyangga (bufferzone), yang salah satu fungsinya pengaturan proses hidrologi. Rusaknya tata air atau neraca air tawar diindikasikan oleh kurang/tidak meratanya debit air sungai–sungai sepanjang tahun.
Kecenderungan bahaya banjir yang semakin serius di musim hujan dan krisis air di musim kemarau merupakan ancaman terbesar bagi kehidupan masyarakat. Diperlukan program terpadu pengelolaan air (water management) mulai dari pelestarian di bagian hulu sampai pemanfaatan di bagian hilir termasuk kebijakan menggunakan jenis air untuk dimanfaatkan membiayai program pelestarian air.
Banyak faktor penyebab terjadinya banjir antara lain : (a) Perubahan cuaca yang menyebabkan terjadinya hujan lokal, air dari hulu, air pasang laut dan air tanah, (b) Penataan ruang yang tidak teratur sehingga mengabaikan fungsi-fungsi ekologis, (c) Perencanaan drainase yang tidak komprihensif (hanya mengikuti badan jalan yang tidak mengalir ke parit-parit pembuangan), (d) Kerusakan hutan sebagai daerah tangkapan air (catchment area) sehingga air yang jatuh ke tanah langsung terbawa ke hilir, (e) perubahan fungsi bantaran sungai (flood plain) sehingga sungai semakin sempit sehingga daearah tangkapan semakin kecil, (f) berkurangnya daerah tangkapan air akibat perubahan fungsi, misalnya lembah-lembah berubah fungsi menjadi tempat pembuangan sampah, (g) konversi lahan di daerah pegunungan yang sebelumnya menjadi daerah tangkapan air hujan dan ruang terbuka (green belt) berubah menjadi lahan impervious (kedap air) seperti pembangunan villa, hotel dan pemukiman, (h) Faktor sosial budaya yakni kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan hidupnya : perbandingan antara jumlah lahan terbuka dengan area impervious (koefisien dasar bangunan).
Kawasan penyangga (buffer zone) adalah sebuah kawasan milik publik yang direncanakan kwalitas dan kwantitasnya dalam sebuah kota. Kawasan penyangga ini berupa hutan kota, taman kota, sempadan sungai di DAS yang bervegetasi dan jenis tumbuhan penyusunnya dapat berfungsi sebagai tanaman konservasi. Kawasan penyangga sebuah kota harus tersedia, berfungsi sebagai (a) mengatur proses hidrologi, menyimpan air ketika air berlebih dan mendistribusikannya sedikit demi sedikit, (b) menahan erosi angin dan air dan mengendalikan air tanah, (c) meningkatkan kwalitas kota, menciptakan udara yang bersih, menetralisir kebisingan, (c) sebagai habitat satwa dan tumbuhan dan (d) sebagai sumber ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
Dalam rencana menjadikan Medan sebagai kota metropolitan maka pembangunan fisik kota harus diimbangi dengan pelestarian kawasan penyangga, sehingga persoalan banjir di Kota Medan dapat diminimisasi. Namun pada kenyataannya pertumbuhan kota menyebabkan semakin menciutnya areal-areal yang dijadikan sebagai kawasan penyangga. Berkurangnya kawasan penyangga berakibat pada banjir dan kekeringan, mengharuskan Pemerintah Kota Medan melihat sisi-sisi yang bisa dimanfaatkan sebagai kawasan penyangga yakni daerah aliran sungai, ruang terbuka, lahan kosong, lahan pertanian dan lainnya.
Berdasarkan kriteria Keppres No 32 tahun 1990, jenis kawasan yang berfungsi sebagai kawasan pelindung di Wilayah Selatan Medan adalah : hutan lindung, kawasan resapan air, kawasan lindung setempat dan kawasan rawan bencana. Oleh karena itu sebagai salah satu jenis kawasan lindung di Wilayah Selatan Medan maka kawasan resapan air wilayah ini harus dilestarikan demi kelestarian fungsi Wilayah Selatan Kota Medan.
Dalam Perda Propinsi Sumatera Utara No 2 tahun 1996 tentang pengelolaan kawasan lindung di Propinsi Sumatera Utara, yang dimaksud dengan kawasan resapan air adalah kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air ke dalam tanah, sehingga merupakan tempat pengisian air bumi yang berguna bagi sumber air. Oleh karena itu perkembangan lahan terbangun did kawasan resapan air harus dibatasi karena peningkatan luas lahan terbangun did kawasan resapan air akan menyebabkan luas kawasan resapan air semakin berkurang.
Permasalahan Penelitian
Hal-hal yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah ketersediaan kawasan penyangga Kota Medan ?
2. Bagaimanakah gambaran Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah Selatan Kota Medan
3. Untuk mengetahui hubungan antara ketersediaan kawasan penyangga dengan banjir di Kota Medan ?
4. Bagaimana gambaran kawasan penyangga wilayah hilir kota Medan
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Medan dan wilayah Selatan Kota Medan, yakni Kecamatan Pancur Batu, Patumbak, Namurambe dan Kecamatan Deli Tua, yang berada di daerah administratif Kabupaten Deli Serdang. Kecamatan Pancur Batu, Patumbak, Namurambe dan Deli Tua adalah wilayah yang langsung berbatasan dengan Kota Medan yang berfungsi sebagai penyangga hidrologis di Kota Medan. Wilayah penyangga wilayah hilir Kota Medan sendiri adalah berupa hutan-hutan kota, taman kota, daerah sempadan sungai, lapangan terbuka yang berperan dalam pengaturan proses hidrologis.
Penelitian ini dilakukan dengan metode Participory Rural Appraisal (teknik pendekatan masyarakat dengan metode partisipasi) dengan tahapan :
a. Transek Topografi : merupakan potongan melintang dan membujur dari areal tertentu yang menunjukkan hubungan antara pemanfaatan dan karakteristik biofisik (tipe tahah, kemiringan, bentuk wilayah) untuk setiap unit lahan). Semuanya merupakan hal yang umum dilakukan dimana terlihat hubungan yang erat antara penggunaan lahan dengan topografi. Kegiatan pembuatan transek ini juga melibatkan warga desa di sekitar wilayah DAS dengan berjalan secara sistematis disetiap sisi desa.
b. Pemetaan desa bersama masyarakat, dengan skala besar, dengan menggambarkan wilayah di sekitar desa seperti pemukiman, lahan pertanian, degradasi lahan dan persoalan dan potensi lainnya.
c. Pengamatan langsung ke wilayah pinggiran DAS, keadaan lingkungan, kegiatan penduduk dan diskusi langsung dengan penduduk.
d. Pembuatan diagram sebab akibat yakni menjelaskan hubungan yang kompleks antara perbedaan sebab akibat, tunggal atau gabungan, yang memecahkan masalah tertentu. Berbagai faktor penyebab yang berkaitan dengan permasalahan dapat disatukan menjadi rantai permasalahan yang berbeda. Diagram sebab akibat ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya unsur yang berpengaruh.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.Gambaran Kawasan Penyangga di Wilayah Selatan Kota Medan
Wilayah bagian Selatan Kota Medan merupakan kawasan resapan air yang berfungsi menahan air agar tidak terjadi kekeringan di musim kemarau serta terjadinya kebanjiran atau genangan air pada musim hujan di kota Medan. Wilayah ini yang mempunyai kemiringan lereng di atas 15 persen pada umumnya merupakan wilayah daerah Tingkat II Kabupaten Deli Serdang sehingga pengelolaan secara hukum harus berkoordinasi dengan Bupati Deli Serdang. Pengembangan lahan ke arah selatan Medan diharapkan merupakan lahan pemukiman dengan tanah luas sehingga konservasi air hujan tidak terganggu, disamping menjaga jalur hijau sempadan Sungai Deli dan Sungai Babura agar tidak terjadi pencemaran air dan erosi. Seperti diketahui Sungai Deli merupakan salah satu sumber reservoir PDAM Tirtanadi yang menjadi penyuplai air bersih bagi warga Kota Medan.
Saat ini perkembangan lahan yang terbangun yang terjadi di Wilayah Selatan Medan sangat pesat dan kurang terkendali sehingga sering menyimpang dari peruntukan lahan yang ditetapkan. Perkembangan lahan terbangun di kawasan resapan air semakin meningkat, dan sebaliknya telah mengurangi luas kawasan resapan air. Sedangkan proporsi guna lahan pertanian yang menunjang fungsi kawasan resapan air mengalami penurunan akibat perubahan guna lahan pertanian menjadi lahan terbangun, terutama akibat kegiatan pembangunan berizin lokasi.
Wilayah yang berfungsi sebagai kawasan penyangga Kota Medan adalah Kecamatan Pancur Batu, Kecamatan Patumbak, Kecamatan Namurambe dan Kecamatan Delitua. Keempat Kecamatan ini terdapat sungai-sungai yang mengalir ke Kota Medan diantaranya Sungai Deli, Sungai Belawan, Sungai Seriwah, Sungai Seruai, Sungai Batuan, Sungai Batang Kuis, Sungai Tuntungan, Sungai Bekala, dan Sungai Tengah. Keadaan topografi bervariasi (a) Datar hingga berombak (0 s/d kemiringan 2%) seluas 230.726 hektar, (b) Berombak hingga bergelombang (kemiringan 3 s/d 15 %) 83.772 seluas hektar, (c) Bergelombang hingga berbukit (kemiringan 15 s/d 40 %) seluas 91.961 hektar, (d) Berbukit, pegununggan dan terjal (kemiringan < 40 %) seluas 33.335 hektar.
Luas lahan terbangun di kawasan resapan air adalah 3.211,98 hektar, dan luasnya berbeda untuk setiap kecamatan. Luas lahan terbangun di kawasan resapan air pada tiap kecamatan dapat menunjukan pesatnya perkembangan lahan terbangun yang terjadi di tiap kecamatan yang ada kawasan resapan air. Perkembangan lahan terbangun yang paling tinggi terjadi di Kecamatan Pancur Batu. Kemudian diikuti oleh Kecamatan Patumbak, Deli Tua dan Namorambe. Pada tahun 2002, luas lahan terbangun di Kecamatan Pancur Batu adalah yang paling besar yaitu 1.306,44 hektar atau 41,96% dari luas seluruh lahan terbangun di kawasan resapan air. Kecamatan lain yang luas lahan terbangun kawasan resapan airnya besar adalah Kecamatan Patumbak yaitu 939,42 hektar (30,17%) kemudian Kecamatan Namorambe memiliki lahan terbangun yang paling kecil jika dibandingkan dengan kecamatan lainnya.
Dengan menggunakan asumsi bahwa besarnya luas lahan terbangun di kawasan resapan air yang sama dengan besarnya pengurangan luas kawasan resapan air yang telah terjadi, maka pengurangan luas kawasan resapan air telah terjadi pula pada Kecamatan tersebut diatas. Kecamatan Pancur Batu mengalami pengurangan luas kawasan resapan air paling besar, yaitu sebesar 1.306,44 ha atau 40,67 % dari luas seluruh pengurangan kawasan resapan air yang telah terjadi. Kemudian diikuti oleh Kecamatan Patumbak, Deli Tua, dan Namorambe, yaitu masing-masing mengalami pengurangan luas kawasan resapan air sebesar 939,42 hektar (29,25%), 601,97 hektar (18,74%), dan 364,15 hektar (11,34%). Catatan Dinas Kimpraswil Deli Serdang, menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan di keempat sampel adalah untuk pembangunan pemukiman berskala besar/ real estate), rumah toko, dan pemukiman biasa terutama di kawasan yang datar/flat.
a. Tingkat Kepadatan Penduduk
Pertumbuhan penduduk akan berpengaruh terhadap pemanfaatan lahan di wilayah tangkapan air, baik pemanfaatan lahan untuk pemukiman maupun untuk sektor ekonomi ; pertanian, dan pemanfaatan lainnya Pertambahan penduduk di masing-masing Kecamatan dipengaruhi oleh akses terhadap sektor produksi dan transportasi
Kecamatan Pancur Batu memiliki luas areal terbesar disusul Kecamatan Namurambe dan Kecamatan Patumbak, sedangkan Kecamatan Delitua memiliki luasan paling kecil. Dibandingkan dengan jumlah penduduk, maka Kecamatan Pancur Batu memiliki penduduk yang tinggi, disusul Kecamaan Patumbak dan Delitua, namun karena variasi luas lahan menyebabkan tingkat kepadatan penduduk paling tinggi di Kecamatan Delitua dan Patumbak. Pertumbuhan penduduk ini disebabkan migrasi ; masyarakat dari luar masuk di wilayah ini dan bermukim secara permanen. Dari hasil survey sebelumnya (berdasarkan komuter yang memasuki wilayah Kota Medan dari Kecamatan Delitua dan Patumbak) tampak bahwa rata-rata komuter yang memasuki di jalur Jalan Brigjen Katamso titik persimpangan outer ring road adalah lebih dari 10.000 orang (Hairulsyah, 2002).
b. Tataguna Lahan di Kawasan Penyangga Wilayah Selatan Kota Medan
Penggunaan lahan di masing-masing Kecamatan adalah untuk budidaya pertanian, baik tanaman perkebunan rakyat, tegalan dan persawahan. Komoditi yang diusahakan juga bervariasi, baik polikultur tanaman tahunan (durian, jengkol, nira, petani, duku, rambutan, kelapa kakao dan lainnya), tanaman semusim seperti jagung, kacang-kacangan dan padi. Pemanfaatan lahan dan komoditi yang diusahakan akan berpengaruh pada ringkat resapan air, dimana tanaman tahunan memiliki daya resapan yang tinggi dibandingkan dengan tanaman tahunan.
Dari gambaran luas pemanfaatan lahan, maka sebenarnya wilayah Selatan Kota Medan masih memiliki persediaan daerah resapan air yang cukup tinggi (rata-rata per Kecamatan masih tersedia > 75 % areal resapan air). Pada areal yang bertopografi miring lahan masih banyak digunakan untuk kawasan penyangga desa, kawasan dengan topografi miring biasanya digunakan untuk tanaman tahunan seperti durian, nira dan tanaman tahunan lainnya.
Pertumbuhan Kota Medan menyebabkan alih fungsi lahan di masing-masing Kecamatan, dari lahan pertanian berubah menjadi areal pemukiman seperti pembangunan real estat, industri dan penggunaan lainnya terkonsentrasi di di Kecamatan Patumbak dan Deli Tua. Situasi ini agak berbeda dengan di Kecamatan Pancur Batu, alih fungsi lahan tidak terlalu pesat, yang disebabkan prasarana jalan yang kurang mendukung dan topografi yang lebih bergelombang.
Fluktuasi perkembangan alih fungsi lahan dari areal pertanian menjadi pemukiman dipengaruhi oleh rencana pengembangan Kota Medan. Dengan dibukanya jalan lingkar luar di wilayah Selatan Kota Medan, akses dari Kecamatan Deli Tua dan Patumbak ke Kota Medan semakin baik. Minat masyarakat untuk bermukim di wilayah Deli Tua dan Patumbak semakin besar. Disisi lain juga pembangunan industri dan pusat perdagangan juga memusat di kedua Kecamatan ini.
c. Vegetasi Penutup Kawasan Penyangga Wilayah Selatan Kota Medan
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa kawasan penyangga wilayah Selatan Kota Medan adalah areal pertanian tanaman keras baik yang disuahakan oleh perusahaan perkebunan swasta, perusahaan negara dan perkebunan rakyat. Di semua wilayah kawasan penyangga terdapat areal perkebunan kelapa sawit milik swasta dan negara dan juga perkebunan rakyat. Umumnya pengusahaan perkebunan swasta dan negara pada lahan yang datar (flat) sedangkan perkebunan milik rakyat pada topografi yang miring. Penelitian dilakukan oleh Crey dan Denneke (1986), bahwa satu hektar vegetasi penutup tanah yang memiliki kanopi besar dapat menetralisasi 736.000 liter limbah cair yang dihasilkan oleh kurang lebih 5.000 orang. Dan mampu menyimpan air tanah sebanyak 900 m3/tahun. Satu hektar dapat menghasilkan 0,6 ton oksigen untuk konsumsi 1.500 orang/hari.
Dapat disimpulkan masing-masing perkebunan negara, swasta dan rakyat memberikan kontribusi terhadap kondisi ekologis wilayah bawahnya. Sistem perakaran tanaman dengan polikultur lebih kuat dalam menyerap air dibanding dengan tanaman monokultur. Polikultur tanaman yang diusahakan oleh rakyat adalah tanaman tua, misalkan tanaman durian ada yang mencapai 50 tahun dengan sistem perakaran yang dalam. Pada lahan-lahan dengan kemiringan antara 15 – 25 % diusahakan tanaman nira, jengkol, duku dan lainnya, sedangkan dengan kimiringan > 25 % biasanya dijadikan hutan kampung, dengan kayu-kayuan yang diperlukan oleh masyarakat sekitar. Dari aspek ketersediaan kawasan penyangga di wilayah Kota Medan masih dalam kategori cukup tersedia.
d. Degradasi Kawasan Penyangga di Wilayah Selatan Kota Medan
Tingkat kerusakan kawasan penyangga di wilayah Selatan Kota Medan adalah penebangan pohon dan meratakan bukit-bukit untuk lahan pemukiman. Biasanya kondisi ini terjadi di pusat-pusat pertumbuhan akibat dibukanya jalan ataupun pusat kegiatan seperti wisata, pemukiman baru, perdagangan dan lainnya. Semua Kecamatan di kawasan penyangga mengalami degradasi lahan, dari observasi lapangan diperoleh gambaran bahwa penyebab degradasi lahan di keempat Kecamatan adalah akibat pemanfaatan lahan pertanian menjadi pemukiman, perataan bukit untuk mengambil tanah timbun, pembakaran lahan untuk areal pertanian dan pengambilan kayu dari hutan kampung untuk bahan bangunan.
Di Kecamatan Pancurbatu degradasi lahan jelas terlihat di sepanjang Jalan Jamin Ginting menuju Kabupaten Karo, terlihat bukit-bukit diratakan untuk pembangunan pemukiman dan bahan tanah timbun. Di Kecamatan Patumbak, Delitua dan Namurambe banyak lahan yang diratakan baik bukit dan penimbunan sawah untuk dijadikan lahan areal pemukiman berskala besar dan juga pemukiman individu. Secara umum wilayah yang dekat jalan mengalami jenis degradasi yang sama di masing-masing Kecamatan yakni pemanfaatan pertanian menjadi pemukiman. Dari wawancara dengan key person, tampak dalam skala mikro, aktivitas perataan bukit-bukit ini menyebabkan terjadinya longsor di musim hujan dan air turun ke drainase sepanjang jalan. Namun kondisi ini masih belum melampaui ambang batas ekologis baik untuk wilayah sekitar maupun untuk wilayah Kota Medan. Perubahan yang tampak akibat degradasi lahan ini adalah berkurangnya sumber mata air yang dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber air untuk pertanian, naiknya temperatur lingkungan mikro.
Meskipun tingkat degradasi lahan di masing-masing Kecamatan saat ini masih dalam ambang batas, namun bila tidak diantisipasi secara cepat maka dalam kurun 5 tahun akan memperlihatkan efek terhadap lingkungan hidup sekitarnya. Percepatan pembangunan di Kota Medan menyebabkan pergeseran wilayah pembangunan ke empat Kecamatan tersebut. Oleh sebab itu penanganan degradasi kawasan penyangga Kota Medan bukan hanya berdasarkan program sektoral saja melainkan secara terintegrasi dan berkesinambungan.
2. Gambaran Daerah Aliran Sungai (DAS) Kawasan Penyangga Wilayah Selatan Kota Medan
Secara spesifik Kota Medan tidak memiliki kawasan lindung, semua wilayah telah dijadikan kawasan budidaya seperti pemukiman, perkebunan, pertanian dan fungsi lainnya. Kawasan lindung berupa kebutuhan hutan Kota Medan masih harus dikoordinasikan dengan wilayah atas yakni Kabupaten Karo dan Deli Serdang. Kawasan yang dapat dikajikan kawasan lindung Kota Medan adalah jalur-jalur bantaran sungai di sepanjang sistem sungai di Kota Medan dan wilayah atasnya. Sistem sungai di Kota Medan merupakan jalur-jalur sungai dan anak-anak sungai yang berasal dari sebahagian kawasan pegunungan Bukit Barisan dan melewati wilayah Kabupaten Karo dan Deli Serdang.
Tingkat kerusakan DAS tidak terlepas dari eksploitasi hutan di sekitar DAS, khusunya di bagian hulu yang memiliki kerusakan lahan. Secara umum, hutan di sekitar DAS, kawasan penyangga wilayah Selatan Kota Medan adalah hutan kemasyarakatan, yakni hutan milik desa dan kebun-kebun rakyat. Menurut tokoh masyarakat di wilayah Kecamatan Delitua, kesepakatan untuk tidak mengusahakan lahan di sekitar sungai dijalankan sejak dahulu untuk kelestarian lingkungan sekitar.
Keberadaan kawasan penyangga : DAS di wilayah Selatan Kota Medan masih cukup baik. Dari pengamatan di beberapa titik tampak bahwa di daerah sempadan sungai masih cukup baik, vegetasi tumbuhan menutup areal tangkapan air dan pemanfaatan lahan untuk kawasan budidaya masih terbatas. Dari hasil pengamatan tampak bahwa sebenarnya masyarakat desa masing-masing wilayah penelitian masih menjaga kelestarian lingkungannya, dapat dilihat dari pola pemanfaatan lahan, pemanfaatan air sungai dan kearifan tradisionil dalam menjaga hutan kampung.
Beberapa aktivitas penyebab kerusakan DAS adalah : (1) galian C yang menyebabkan terjadi pendalaman sungai akibat jumlah pasir yang diambil tidak sebanding dengan masukan pasir dan batu-batuan dari hulu (pegunungan) , (2) pemanfaatan sempadan sungai menjadi areal pondok-pondok wisata pantai dan pemanfaatan sempadan sungai menjadi pemukiman dan (3) areal pertanian, pembukaan lahan untuk areal pertanian. Kerusakan DAS di wilayah sampel masih dalam ambang batas ekologi, belum memberikan karusakan yang berarti untuk wilayah sekitarnya dan Kota Medan.
a. Transek Desa di Kawasan DAS
Transek desa adalah penelusuran wilayah atau kawasan berdasarkan topografi, yang mengkaji penggunaan lahan dan vegetasi yang menutupinya. Transek ini diperlukan untuk mengetahui ketersediaan kawasan penyangga yang akan melindungi kawasan bawahnya. Secara umum desa-desa di wilayah DAS berada pada kemiringan 8 – 15 %, dan beberapa diataranya lebih dari 15 %. Lokasi dengan kemiringan yang tinggi digunakan untuk lahan pertanian tanaman perkebunan, hortikultura tahunan, pangan dan lainnya.
Tabel 1.Desa Salam Tani Kec. Pancurbatu (Sungai Lau Tengah DAS Sei Belawan)
Keterangan | | ||||
Pemanfaatan lahan | Sempadan sungai dimanfaatkan menjadi lahan pertanian, ada juga menjadi pemukiman, tempat penampungan sementara pengambilan pasir sungai | Pertanian polikultura ada juga monokultur | Ladang tanaman pangan dan hortikultura (tanaman semusim) | Pemukiman | Pertanian polikultura |
Jenis tanaman (vegetasi) | Bambu, jagung, cabe, dan tamanam keras | Durian, kakao, pete, jengkol, kelapa dan tanaman keras lainnya | Padi, jagung, cabe, pisang dan lainnga | Perumahan rakyat | Durian, kakao, pete, jengkol, kelapa dan tanaman keras lainnya |
Status Lahan | Milik | Milik | Milik | Milik | Milik |
Kesuburan Tanah | Baik | Baik | Baik | Kurang | Baik |
Masalah-masalah | Pemanfaatan menyalahi ketentuan lingkungan hidup | Tanaman tidak terlalu produktif sehingga terjadi pemanfaatan tanaman menjadi kayu | Pada kemiringan > 25 % masih ditanami dengan tanaman semusim dan rentan terhadap degradasi tanah | Aliran limbah rumah tangga ke parit yang mengalir ke sungai Pemanfaatan kayu-kayu dalam pertanian polikultur menjadi bahan bakar rumah tangga | Tanaman tidak terlalu produktif sehingga terjadi pemanfaatan tanaman menjadi kayu |
Potensi untuk pengembangan | Pemanfaatan sempadan dengan tanaman yang memelikiki perakaran yang dapat menahan air dan erosi tanah | Bila model polikultura di kembangkan dapat memberikan manfaat ekonomi dan ekologis | Penanaman tanaman semusim | Rumah tangga menjadi pelaku dalam pemeliharaan tanaman penyusun kawasan penyangga | Bila model polikultura di kembangkan dapat memberikan manfaat ekonomi dan ekologis |
Sumber : Analisis Data Primer, 2007
Tabel 2. Desa Kwala Simeimei Kecamatan Namurambe (DAS Sei Deli)
Keterangan | | ||
Pemanfaatan lahan | Sempadan sungai dimanfaatkan untuk pertanian | Pertanian tanaman semusim dan tanaman keras | Pemukiman menyebar memiliki pekarangan dan kebun |
Jenis tanaman (vegetasi) | Bambu dan tanaman semak dan perdu | Tanaman pangan dan hortikultura Tanaman perkebunan, kelapa sawit dan kakao | Ada tanaman pekarangan berupa tanaman tahunan, kelapa, nangka, durian dan lainnya |
Status Lahan | Milik | Milik | Milik |
Kesuburan Tanah | Baik | Baik | Baik |
Masalah-masalah | Di kawasan ini belum ada masalah yang cukup berarti | Pembukaan lahan dengan membakar sehingga merusak kwalitas lingkungan hidup | Di kawasan ini belum ada masalah yang cukup berarti |
Potensi untuk pengembangan | Pemanfaatan industri hilir bambu sehingga budidaya bambu lebih dapat ditingkatkan dan dapat menjaga kelestarian lingkungan kawasan sempadan sungai | Tanaman keras dibudidayakan dengan model polikultur sehingga lebih menguntungkan secara ekonomi dan ekologi | Pemanfaatan kebun dan pekarangan dengan tanaman tahunan yang produktif |
Sumber : Analisis Data Primer, 2007
Bila dikaji pengelolaan DAS sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia dimana pengaturan lahan sebagai penataan suatu arahan menjadi suatu kawasan diklasifikasikan berdasarkan fungsi fisik yakni sebagai kawasan pelindung dan penyangga. Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa kawasan DAS dihulu Kota Medan masih dalam batas ambang ekologis. DAS yang dieksplorasi pembangunan fisik (pemukiman, wisata dan penggalian C) adalah wilayah DAS yang memiliki akses transportasi. Kawasan DAS lainnya masih digunakan untuk kebun campuran (polikulture) tanaman keras yang memiliki struktur perakaran yang dapat menahan erosi.
(b) Pola Pengembangan Kawasan Penyangga Wilayah Selatan Kota Medan
Pengelolaan kawasan DAS ini dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi dengan melibatkan semua pihak tanpa adanya batas pewilayahan. Pola pengembangan kawasan penyangga Kota Medan dikonsentrasikan pada pertanian tanaman keras tahunan, mengingat wilayah ini banyak dilalaui oleh anak-anak sungai dan sungai. Komoditi yang sudah ada sejak 50 tahun lalu seperti durian, nira, petai, jengkol, dan tanaman lainnya harus tetap dijaga kelestariannya. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana membuat komoditi ini tetap bernilai guna sehingga masyarakat tidak menebang pohon tersebut untuk dijadikan manfaat lain. Hal yang mengancam ketersediaan kawasan penyangga Kota Medan adalah (1) perluasan Kota Medan sehingga pembangunan fisik ; pemukiman, hotel dan pertokoan mengarah ke kawasan penyangga, (2) kemudahan dalam memperoleh izin mendirikan bangunan tanpa melihat aspek ekologis, (3) masyarakat kurang mendapat manfaat dari komoditi penyusun kawasan penyangga, sehingga dimanfaatkan menjadi fungsi lain, atau menebang kayu dan menjualnya, (4) belum adanya kerjasama yang cukup kuat antara wilayah dalam mempertahankan kawasan penyangga.. Upaya untuk menjaga kelestarian kawasan penyangga mengantisipasi banjir Kota Medan adalah :
Tabel 3. Permasalahan Ketersediaan Kawasan Penyangga di Wilayah Hulu Kota Medan
No | Permasalahan | Penyebab | Rencana | Pelaksana |
1 | Alih fungsi lahan dari pertanian campuran menjadi fungsi lain | Rendahnya harga komoditi pertanian campuran | Mengolah hasil komoditi menjadi lebih bernilai guna, misalnya hasil durian diolah menjadi dodol durian, selai durian, air nira menjadi gula semut dan gula merah | 1. Masyarakat 2. Pemerintah 3. Lembaga non pemerintah 4. Institusi perguruan tinggi 5. Swasta |
| | Mudahnya mendapat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) meskipun tidak sesuai dengan ketentuan | Memperketat pemberian IMB terutama pada lahan-lahan yang yang berada pada kawasan penyangga dan pelindung | 1. Instansi yang berhak mengeluarkan IMB 2. Masyarakat |
2. | Masyarakat kurang mendapat manfaat dari ketersediaan kawasan penyangga | Tidak adanya umpan balik dari penerima manfaat kawasan penyangga kepada masyarakat yang telah menyediakan kawasan penyangga | Kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait dalam rangka peningkatan kwalitas hidup masyarakat penyedia kawasan penyangga. | 1. Pemerintah 2. Masyarakat 3. Lembaga non pemerintah 4. Institusi perguruan tinggi 5. Swasta |
3. | Belum ada kerjasama antar wilayah, lembaga dalam mengelola kawasan penyangga | Pemahaman tentang manfaat ekonomis dan ekologis dari kawasan penyangga masih rendah Masyarakat penyedia kawasan penyangga kurang menyadari manfaat yang telah diberikan kepada kawasan bawahnya | Sosialisasi tentang pendidikan lingkungan hidup, terutama masalah banjir, kawasan penyangga, proses hidrologis dan lainnya | 1. Masyarakat 2. Pemerintah 3. Lembaga non pemerintah 4. Institusi perguruan tinggi 5. Swasta |
4. | Supremasi hukum yang tidak ditegakkan | Belum ada tindakan tegas bagi perusak lingkungan hidup di kawasan penyangga dan pelindung | 1. Perlunya ketegasan hukum 2. Penyadaran 3. Pendidikan lingkungan hidup | 1. Masyarakat 2. Pemerintah 3. Lembaga non pemerintah 4. Institusi perguruan tinggi 1. Swasta |
Sumber : Analisis Data Primer, 2007
3.Hubungan antara ketersediaan kawasan penyangga dengan banjir di Kota Medan
Faktor penyebab banjir Kota Medan secara umum dibagi menjadi lima kategori yakni : (a) Kondisi lahan di daerah hulu daerah pengaliran sungai-sungai yang melewati kota Medan sudah pada taraf sangat memprihatinkan, mengakibatkan peningkatan debit banjir yang sangat signifikan dengan bertambahnya pemanfaatan lahan. Daerah-daerah yang dulunya merupakan daerah resapan air maupun daerah pertanian/perkebunan yang diharapkan mampu menyimpan dan menahan air telah berubah fungsi menjadi daerah pemukiman bahkan beberapa diantaranya telah berubah menjadi daerah industri, (b) Beberapa titik-titik genangan yang ada merupakan daerah cekungan sehingga sulit untuk mengalirkannya dengan konsep drainase sederhana. Dengan tingkat kesulitannya yang tinggi biasanya menelan biaya yang relatif cukup besar. (c). Permasalahan sampah di saluran-saluran drainase yang ada. Masalah ini merupakan masalah klasik yang menuntut kesadaran dan partisipasi masyarakat sekitar. (d). Saluran air yang tidak terawat dengan baik sehingga menyulitkan air untuk mengalir dari jalan menuju saluran yang ada dan. (e) Hujan di wilayah hulu menyebabkan banjir di sungai-sungai yang melalui Kota Medan dan air meluap ke saluran sekunder, dan melimpas di kawasan sekitarnya.
Banjir di Kota Medan masih dalam tahapan genangan air, dalam arti pada saat hujun turun lebih dari satu jam maka akan timbul genangan air, dan akan surut kembali setelah hujan berhenti. Namun adakalanya terjadi juga banjir di sekitar saluran tersier dan wilayah dekat sungai akbiat tingginya curah hujan di wilayah hulu. Dalam catatan penulis fenomena banjir di Kota Medan menyebabkan terhambatnya aktivitas masyarakat antara lain : (a) banjir terjadi di daerah Sunggal yang menewaskan 11 orang penduduk pada bulan September 2002, (b) genangan air di landasan pacu Bandara Polonia (Desember 2002 dan Januari 2002) menghentikan kegiatan penerbangan selama 2 hari, (c) genangan air di di jalan-jalan arteri dan kolektor menyebabkan terjadinya kemacetan lalu lintas, (d) genangan air di wilayah Kecamatan Medan Belawan dan Medan Labuhan akibat pasang naik yang menyebabkan terganggunya aktivitas masyarakat dan masih banyak kasus-kasus lainnya. Frekuensi banjir di Kota Medan bertambah pada saat musim hujan baik di hulu dan hilir Kota Medan dan bertambah sejalan dengan perkembangan pembangunan kota.
Penyebab banjir di Kota Medan secara mikro adalah (1) kurang berfungsinya saluran drainase akibat sampah : plastik, kayu, batu, dan jenis-jenis sampah lainnya, (2) Koefisien Dasar Bangunan (KDB) semakin kecil dan pengerasan beberapa kawasan dengan semen atau aspal menyebabkan kawasan resapan air menjadi berkurang dan (3) beberapa titik banjir akibat wilayah lebih rendah, sementara wilayah atasnya sedang dilakukan pembangunan sehingga terganggunya fungsi hidrologis.
Banjir di Kota Medan juga sebagai akibat derasnya hujan di wilayah hulu dan sungai-sungai yang mengalir di Kota Medan tidak mampu menampung air yang masuk. Kondisi demikian menyebabkan wilayah di pinggiran sungai; pemukiman terkena luapan air dan bila berlanjut berdampak pada kerugian material. Jadi banjir yang melanda di Kota Medan bukan hanya disebabkan oleh kurang baiknya drainase, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi kawasan penyangga di wilayah atasnya.
3.Gambaran Kawasan Penyangga di Wilayah Hilir Kota Medan
a. Hutan Kota
Hutan kota adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan assosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitarnya, membentuk jalur, menyebar, atau bergerombol (menumpuk), struktur meniru (menyerupai) hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa liar dan menimbulkan lingkungan sehat, suasana nyaman, sejuk dan estetis. Hutan kota harus berinteraksi langsung dengan lingkungan (tanah dan air), yakni ruang yang ditumbuhi vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk kota dalam kegunaan proteksi, estetika serta rekreasi. Dalam upaya mengoptimalkan ketiga fungsi hutan kota ini, maka hutan kota dimodifikasi sehingga menjadi tempat tujuan rekreasi keluarga.
Ruang yang menyerupai hutan kota di Kota Medan adalah taman-taman yang berada di tengah kota yakni Taman Ahmad Yani dan Taman Air Mancur dengan hutan di bantaran Sungai Babura di sekitarnya. Luas dan komposisi vegetasi yang membentuk hutan kota ini adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Luas dan Komposisi Vegetasi Hutan Kota di Kota Medan
No | Hutan Kota | Lokasi | Luas (M2) | Jenis Vegetasi |
1. | Taman Ahmad Yani | Jl. Ahmad Yani | 21.893 | Mohoni, Palem Raja, Mangga, Bunga Kupu-kupu, Trembesi, Glodokan Tiang, Pinus, dll |
2. | Taman Beringin | Jl. Sudirman | 20.770 | Beringin, Kelapa, Kelapa Sawit, Mahoni, Palem Raja, Akasia, Gintungan, Klumpang, Tanjung, Flamboyan, Bunga Kupu-kupu, Trembesi, Sena, Saga, Bungur dan lain-lain |
3. | Bantaran Sungai Babura di dekat Taman Beringin | Jl. Sudirman | | Beringin, Bambu, Bungur, Trembesi, Vegetasi Perdu dan lainnya. |
Sumber : Analisis Data Primer, 2007
Tabel 5. Permasalahan Kawasan Penyangga Daerah Hilir : Bantaran Sungai
No | Permasalahan | Penyebab | Rencana | Pelaksana |
1. | Penggunaan bantaran sungai menjadi areal pemukiman dan peruntukan lain yang dapat menyebabkan kerusakan kwalitas lingkungan perkotaan | - Tidak tegasnya pelaksanaan Perda - Berkurangnya ketersedian lahan untuk pemukiman | - Pelaksanaan Perda dengan tegas dan berwibawa - Pendidikan publik untuk menciptakan kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan hidup | Dinas Pekerjaan Umum, Bappedalda, Perguruan Tinggi, LSM dan masyarakat |
2. | Pembuangan sampah dan limbah ke bantaran sungai atau langsung ke sungai | - Tidak tegasnya pelaksanaan Perda - Kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan hidup | - Pelaksanaan Perda dengan tegas dan berwibawa - Pendidikan publik untuk menciptakan kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan hidup | Dinas Pekerjaan Umum, Bappedalda, Perguruan Tinggi, LSM dan masyarakat |
3. | Degradasi bantaran sungai seperti longsor, penurunan permukaan tanah | Sifat fisik tanah yang rentan terhadap degradasi tanah | Pemasangan gorong-gorong | Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pengairan |
Kesimpulan
a. Kawasan penyangga di Kota Medan : Wilayah Selatan (hulu) masih mencukupi baik dari aspek ketersediaan maupun dari vegetasi yang ada. Pemanfaatan wilayah berdasarkan kelerengan masih sesuai dengan
b. Banjir yang melanda Kota Medan secara umum masih masuk ke dalam kategori genangan air, dimana air yang tergenang bersifat temporer, hanya beberapa titik saja yang menimbulkan kerugian fisik, ekonomi dan moral.
c. Kawasan penyangga di wilayah hilir Kota Medan masuk dalam kategori tidka mencukupi, dalam hal luasan maupun komposisi vegetasi.
d. Persoalan mendasar yang menyebabkan pengurangan luas kawasan penyangga di hulu dan hilir Kota Medan adalah pemanfaatan kawasan menjadi kawasan budidaya (pemukiman, perdagangan, pertanian dan lainnya).
e. Pengembangan kawasan penyangga di wilayah Selatan Kota Medan (hulu) adalah dengan memanfaatkan potensi lahan yang tersedia menjadi komoditi pertanian : tanaman keras yang memiliki struktur perakaran yang memiliki kemampuan menahan (holding capacity) air kuat sehingga dapat membantu siklus hidrologi air.
f. Untuk mempertahankan ketersediaan kawasan penyangga di wilayah hilir adalh pencetakan hutan kota baru, pemanfaatan sempadan sungai menjadi wilayah pertanian tanaman keras dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menjaga kawasan penyangga.
2. Saran
a. Untuk tetap menjaga kelestarian kawasan penyanga di wilayah hulu, diperlukan adanya koordinasi antar instansi dan masyarakat dalam pemanfaatan kawasan penyangga menjadi fungsi lain.
b. Di wilayah hilir, kawasan penyangga banyak terdapat di daerah aliran sungai dimana telah dimanfaatkan menjadi areal pemukiman, industri, pertanian tanaman semusim dan fungsi lainnya. Salah satu upaya yang diperlukan dalam menjaga kelestarian kawasan penyangga di daerah aliran sungai ini adalah dengan meningkatkan penegakan hukum dan Perda yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Chambers, Robert. 1992. Rural Appraisal, Rapid, Relaxed and Participatory. Institute of Development Studies.
Gordon, David., 1990. Green Cities, Black Rose Books Ltd., Montreal New York.
Djajadiningrat Surya T dan Harry Darsono Amir. Penilaian Secara Cepat Sumber-sumber Pencemaran Air, Tanah dan Udara. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Irwan, Zoer’aini Djamal. 1998. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta.
Marbun, BN., 1994. Kota Indonesia Masa Depan ; Masalah dan Prospek. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Prosiding. 1995. Analisis Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Satropoetro, S.R.A. 1988. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi, dan Disiplin Dalam Pembangunan Nasional, Alumni Bandung.
Suparmoko, 1994. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan ; Suatu Pendekatan dan Teori. Penerbit BPFE, Yogyakarta.
Usman Erwin dan Arimbi HP. 2003. 199 Lexicon Hukum Lingkungan. Penerbit E-Law. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar