BOGOR, Indonesia (27 Oktober, 2011)_Lembaga swadaya masyarakat (LSM)
perlu berkonsolidasi untuk memperkuat perannya dalam menyebarkan
informasi mengenai keuntungan serta dampak negatif mekanisme Pengurangan
Emisi Deforestasi dan Degradasi Hutan, atau REDD+, kepada masyarakat
luas, menurut Teguh Setiono, program officer dari Tansparency
International Indonesia.
“Melalui penguatan antar lembaga, akan jelas informasi di jejaring
LSM, siapa mewakili lembaga apa, melakukan advokasi di tingkat mana dan
mengenai apa” dalam hubungannya dengan REDD+, tambah Teguh dalam
lokakarya Norwegian Agency for Development Cooperation (NORAD),
badan kerja sama pembangunan Norwegia, dengan lembaga-lembaga swadaya
masyarakat pada tanggal 19-20 Oktober 2011. Acara tersebut
diselenggarakan di kantor Center for International Forestry Research (CIFOR) di Bogor.
REDD+, yaitu insentif bagi negara-negara berkembang yang menjaga
hutannya dan mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor ini, diharapkan
menjadi bagian dari kesepakatan internasional untuk menggantikan
Protokol Kyoto, yang habis masa berlakunya tahun depan. Skema ini telah
menimbulkan pendapat pro dan kontra di berbagai kalangan, termasuk LSM.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), misalnya, sepakat akan
REDD sebagai tujuan utama pengurangan emisi dari sektor kehutanan,
namun tidak setuju akan skema perdagangan karbon (market mechanism) dan pengalihan tanggung jawab para negara maju (carbon offset) yang bertendensi akan mengaburkan kesepahaman awal mengenai REDD. Bagi Walhi, konsep REDD+ yaitu konservasi, sustainable forets management dan peningkatan cadangan karbon akan membuka peluang terjadinya perdagangan karbon selama private sector
terlibat dalam mekanisme REDD+. World Wildlife Fund yang dulu bersikap
hati-hati untuk terlibat dalam REDD+ sekarang membangun sistem untuk
mencoba mengimplementasikan skema ini di skala masyarakat.
“Perimbangan informasi dampak baik dan buruk REDD+ perlu dan penting
disampaikan secara jujur kepada masyarakat,” menurut Herlina Hartanto, Manajer
Senior Pembelajaran dan Aplikasi di The Nature Conservancy (TNC).
Kesiapan masyarakat merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan
penerapan REDD+, tambahnya.
LSM sebagai lembaga independen juga berperan penting untuk mengawasi
dan memantau penerapan REDD+ di lapangan bila tidak sesuai dengan
tujuan, standar, dan mekanisme yang ditentukan. “Jadi LSM tidak boleh
tertinggal dalam perkembangan informasi terkini REDD+ baik di tingkat
tapak, regional, nasional dan internasional,” kata Herlina.
REDD+ dianggap banyak kalangan sebagai produk lama yang dikemas
ulang, menurut Efrian Muharrom, peneliti perubahan iklim CIFOR. Namun,
REDD+ dibungkus dengan “gula-gula pemanis” karena mekanisme ini
mempunyai keunggulan karena adanya verifikasi dan pemantauan pihak
ketiga dan alur informasi antar pihak yang harus jelas dan transparan,
tambahnya.
Dari sisi gagasan, REDD+ cukup tepat untuk membantu merombak
persoalan-persoalan lama di sektor kehutanan, ujar Emil Kleden, peneliti
dari Pusaka, LSM yang bergerak di penguatan masyarakat adat. Namun,
bagi masyarakat adat, prasyarat utama supaya REDD+ dapat berjalan lancar
adalah kejelasan dan diamankannya hak tenurial adat, tambahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar