Ritual kurban yang dilaksanakan oleh ummat Islam merupakan
ritual pengulangan sejarah Nabi Ibrahim A.S dan Nabiyullah Ismail dalam
melaksanakan perintah Allah SWT dalam gerbang ujian ketaatan, keikhlasan dan kecintaan makhluk kepada Khaliqnya. Dalam
semangat keikhlasan dan Cinta ini, ada sebuah refleksi perintah kurban kepada
sebuah ajaran asasi tentang bagaimana Allah SWT mengajari ummat manusia tentang sifat Rahman dan RahimNya jika
berhadapan dengan kepentingan KhalifahNya yang bernama Manusia. Karena
ketulusan dan keikhlasan inilah maka Allah mengganti darah Nabiyullah Ismail
A.S dengan seekor kibas yang gemuk, besar lagi sehat.
Kita dapat menyimpulkan sebuah analogi perintah yang
bersifat ritualistic ini dengan makna bahwa sesungguhnya, manusia akan
mengorbankan apa saja ketika berhadapan dengan rasa cinta, manusia akan
kehilangan keikhlasan hidup pada saat kehilangan orang atau sesuatu yang
dicintainya bahkan manusia akan mengorbankan apa saja termasuk manusia pada
saat berhadapan dengan kecintaan pada sesuatu atau seseorang, maka
kegilaan akan cinta inilah Allah lenyapkan dengan ritual kurban sebagai upaya Allah
SWT mendidik manusia agar senantiasa menyemblih sifat kebinatangan dalam
dirinya melalui ritual kurban. Sehingga Nabiyullah Muhammad SAW mengecam orang
yang mampu berkurban tapi enggan berkurban dan melarang mereka memasuki Majlis
Rasulullah karena keengganann melaksanakan kurban di hari Raya Iedul Adlha.
Nilai ajaran ini tidak berhenti pada hal itu saja bila kita
kaji lebih mendalam, ada pesan tersirat yang dapat kita ambil bahwa, menyediakan
dan mempersiapkan semblihan kurban sama pentingnya dengan berkurban itu sendiri,
karena bagaimana kita akan berkurban jika tidak ada hewan yang akan disemblih?
Bagaimana pula kita akan berkurban jika hewan kurban tidak kita pelihara dengan
baik dengan standar kesehatan yang sempurna, karena hewan yang cacat tidak sah
untuk dijadikan hewan kurban. Ini artinya, adalah sungguh ironi jika Indonesia mayoritas beragama Islam dan punya
kewajiban berkurban tetapi masih mengimpor hewan kurbannya, atau masih mengimpor
daging untuk kebutuhan konsumsi warga bangsanya.
Swasembada pangan, swasembada daging adalah garis benang
merah dalam menyempurnakan ibadah ummat Islam, maka oleh karena itu duduk lurus
hukumnya sama wajibnya dengan ritual yang kelak akan dilaksanakan memelihara
ternak untuk memenuhi ritual ibadah kurban, swasembada pangan guna melaksanakan
zakat fitrah dibulan Ramadlan.
Dengan memahami hal diatas, maka Al Ghiffari Forest
Community Indonesia beserta para anggota dan pengurus di tingkat pusat dan
daerah mengajak seluruh elemen masyarakat di perkotaan dan pedesaan untuk
melaksanakan kegiatan swasembada daging dengan mengikuti program Tabungan Kurban berbasis pertanian terpadu.
Dengan melaksanakan program ini, maka sesungguhnya kita
sudah menyimpan dua kebaikan yang tak terhingga nilainya; Yang pertama kita jalankan
syariat agama dan Yang kedua kita telah membebaskan Negara ini dari kehilangan
rupiah karena harus terus menerus mengimpor daging dan hewan potong lainnya,
dan dengan program ini, banyak petani di pedesaan yang membutuhkan uluran
tangan masyarakat yang Tuhan berikan kelebihan harta untuk menyediakan pangan
yang akan kita konsumsi sehari hari. Iedul Kurban sudah berlalu namun semangat
Nabiyullah Ibrahim dan Islmail A.S untuk mempertaruhkan kesenangan dengan
mempersembahkan kepatuhan, keikhlasan dan kecintaan pada Tuhan akan kita
jalankan bersama sama dengan mulai menabung hewan kurban sejak dari sekarang.
Wallahu a’lam bi shawab.
1 komentar:
sungguh ironi jika Indonesia mayoritas beragama Islam dan punya kewajiban berkurban tetapi masih mengimpor hewan kurbannya, atau masih mengimpor daging untuk kebutuhan konsumsi warga bangsanya.
Posting Komentar