Pengolahan limbah anaerob adalah sebuah metode biological untuk mengolah
limbah organic. Mikrobiologi yang terlibat dalam proses termasuk
fakultatif dan mikroorganisme anaerob, dimana tidak ada oksigen,
mengubah material menjadi produk akhir gas seperti karbondioksida dan
metana.
Keuntungan proses anaerob selama pengolahan anaerob adalah :
a. Yield biomass untuk proses anaerob lebih rendah dibanding system aerob
b. Aerasi tidak digunakan, biaya capital dan pemakaian energi rendah
c. Gas metana yang dihasilkan proses anaerob bisa dinilai secara ekonomis
d.
Penyimpanan dari produksi lumpur, konservasi listrik dan produksi
metana antara $0,2 samapai $0,5 per 1000 galon pengolahan limbah
domestic (jewel 1987)
e. Loading organic lebih tinggi pada system anaerob dibandingkan system aerob
Kelemahan proses anaerob selama pengolahan anaerob adalah :
a. Energi yang dipakai untuk temperature reactor untuk memelihara aktifitas mikroba (350C)
b. Waktu tahan lebih tinggi pada proses anaerob dari pengolahan aerob.
c. Bau yang tidak disadari dihasilkan proses anaerob karena menghasilkan gas H2S dan merkaptan.
d. Settling biomass anaerob di clarifier lebih sulit untuk diolah dibandingkan sedimentasi biomass
e. Reactor operasi anaerob tidak semudah anaerob.
Produk
akhir dari degradasi anaerob adalah gas, paling banyak metana (CH4),
karbondioksida (CO2), dan sebagian kecil hidrogen sulfide (H2S) dan
hydrogen (H2). Proses yang terlibat adalah fermentasi asam dan
fermentasi metana. Dalam fermentasi asam, enzim ekstraseluler dari grup
heterogen dan bakteri anaerob kompleks hidrolisis komponen limbah
organic (protein, lipid, dan karbohidrat). Dalam fermentasi metana,
rantai pendek asam lemak (selain asetat) diubah menjadi asetat, gas
hydrogen, dan karbondioksida, proses yang dianjurkan acetogenesis.
Selanjutnya, beberapa bakteri anaerob dibawa, metanogenesis - proses
dimana hydrogen menghasilkan metana dari asetat dan reduksi
karbondioksida. Stabilisasi material organic dapat terjadi. Fakultatif
dan bakteri anaerob yang tergabung dalam proses fermentasi asam toleran
terhadap perubahan pH dan temperature. Range pH pada fermentasi metana
adalah 6,0 – 8,5 (Benefield dan Randall 1980), 6,8 – 7,4 (Ramalho 1983).
Alkalinity yang dihasilkan dari degradasi senyawa organic membantu
mengontrol pH .range pH 6,6 – 7,4 maka konsentrasi alkalin bervariasi
dari 1000 sampai 5000 mgl sebagai kalsium karbonat.
Jika kita
totalkan semua energi ikatan dari produk dan mengurangkannya dengan
total energy ikatan bahan asal, energi yang dilepas adalah 810 kJ
(nilai-nilai ini tidak terlalu tepat, karena energi ikatan merupakan
perkiraan rata-rata ikatan dari dua jenis atom, yang mungkin bervariasi
dari satu molekul ke yang lain. Kita lihat bahwa energi yang dibebaskan
dari reaksi pembakaran metana adalah lebih besar dari reaksi pembakaran
H2. Hal ini bukan berarti bahwa metana terbakar lebih hebat dari H2
melainkan karena jumlah molekul oksigen yang terlibat dalam kedua reaksi
itu adalah berbeda. Jika kita bandingkan energi yang dibebaskan dari
reaksi pembakaran metana dan H2 per mol O2, energi pembakaran metana
menjadi 405 kJ , lebih kecil sedikit dari pembakaran H2. Jadi reaksi
satu molekul O2 dengan H2 adalah sedikit lebih hebat dibandingkan dengan
metana. Dalam perspektif yang lain, satu mol metana mempunyai kandungan
energi yang lebih besar dalam reaksi pembakaran dengan oksigen daripada
satu mol hidrogen, karena 1 mol metana bereaksi dengan 2 mol O2,
sedangkan 1 mol hidrogen bereaksi dengan 0.5 mol hydrogen (lihat "per
mol bahan bakar"). Karena satu mol gas (gas apapun) akan memenuhi
ruangan dengan volume yang sama, 1 m3 metana akan mempunyai energi tiga
kali lebih besar dari 1 m3 gas hidrogen. Tabel 1 menunjukkan gambaran
skematis kandungan energi dari bahan bakar minyak. Bahan bakar minyak
bukan terdiri dari senyawa murni, tetapi campuran yang sebagian besar
adalah hidrokarbon jenuh. Oleh karena itu, reaksi yang tepat untuk
pembakaran dari bahan bakar minyak:
2(-CH2-)+3O2->2CO2+2H2O
Seperti
yang disebut dalam tabel 1, diperkirakan reaksi tersebut menghasilkan
energi sebesar 1220 kJ. Per mol oksigen, energi yang dibebaskan hanyalah
407 kJ, energi yang setara dengan energi yang dihasilkan metana. Per
gram bahan bakar energi yang di bebaskan adalah 43.6 kJ , lebih sedikit
dari metana. Hal ini disebabkan hidrokarbon jenuh (terutama rantai
pendek) yang mempunyai perbandingan H/C lebih kecil dari 2/1 karena
kumpulan metil di ujung rantai hidrokarbon. Selain itu, bahan bakar
minyak mempunyai campuran senyawa aromatik yang mempunyai perbandingan
H/C lebih besar dari 2/1.
Contoh studi kasus :
A. Mengolah Kotoran Ternak Menjadi Energi Ramah Lingkungan
Lewat
proses fermentasi, limbah yang baunya amat merangsang itu dapat diubah
menjadi biogas. Energi biogas punya kelebihan dibanding energi nuklir
atau batu bara, yakni tak berisiko tinggi bagi lingkungan. Selain itu,
biogas tak memiliki polusi yang tinggi. Alhasil, sanitasi lingkungan pun
makin terjaga. Dengan teknologi biogas, kandungan zat-zat alami yang
terdapat pada kotoran ternak dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan
energi yang kian meningkat. Jadi ribut-ribut soal pasokan energi yang
kurang tidak bakal ada lagi. Pasalnya, biogas bisa dipakai untuk apa
saja. Sebut saja mulai dari memasak, lampu penerangan, transportasi
hingga keperluan lain yang perlu energi. Nah, bila biogas telah
diaplikasikan secara luas, ribut-ribut kekurangan pasokan energi bisa
dihindari. Dan urusan sanitasi lingkungan pun bisa teratasi. Biogas
biasanya dikenal sebagai gas rawa atau lumpur. Gas campuran ini didapat
dari proses perombakan kotoran ternak menjadi bahan organik oleh mikroba
dalam kondisi tanpa oksigen. Proses ini populer dengan nama anaerob.
Selama proses fermentasi, biogas pun terbentuk. Dari fermentasi ini,
akan dihasilkan campuran biogas yang terdiri atas metana (CH4), karbon
dioksida, hidrogen, nitrogen dan gas lain seperti H4S. Metana yang
dikandung biogas berjumlah 54% – 70%, sedang karbon dioksida antara 27% –
43%. Gas-gas lainnya cuma punya persentase sedikit saja. Selama proses
itu, mikroba yang bekerja butuh makanan. Makanan tersebut mengandung
karbohidrat, lemak, protein, fosfor dan unsur-unsur mikro. Lewat siklus
biokimia, nutrisi tadi akan diuraikan. Dengan begitu, akan dihasilkan
energi untuk tumbuh. Dari proses pencernaan anaerobik ini akan
dihasilkan gas metan. Bila unsur-unsur dalam makanan tadi tak berada
dalam takaran yang seimbang alias kurang, bisa dipastikan produksi enzim
untuk menguraikan molekul karbon kompleks oleh mikroba akan terhambat.
Dan untuk menjamin semuanya berjalan lancar, unsur-unsur nutrisi yang
dibutuhkan mikroba harus tersedia secara seimbang. Dalam pertumbuhan
mikroba yang optimum biasanya dibutuhkan perbandingan unsur C : N : P
sebesar 100 : 2,5 : 0,5. Selain masalah nutrisi, ada faktor lain yang
perlu dicermati karena berpotensi mengganggu jalannya proses fermentasi.
Ada beberapa senyawa yang bisa menghambat proses penguraian dalam suatu
unit biogas. Untuk itu, saat menyiapkan bahan baku untuk produksi
biogas, bahan-bahan pengganggu seperti antibiotik, desinfektan dan logam
berat harus diperhatikan saksama. Gas metan hasil fermentasi ini akan
menyumbang nilai kalor yang dikandung biogas, besarnya antara 590 – 700
K.Kal per kubik. Sumber utama nilai kalor biogas berasal dari gas metan
itu, plus sedikit dari H2 serta CO. Sedang karbon dioksida dan gas
nitrogen tidak memiliki konstribusi dalam soal nilai panas tadi.
Sementara dalam hal tingkat nilai kalor yang dimiliki, biogas punya
keunggulan yang signifikan ketimbang sumber energi lainnya, seperti
coalgas (586 K.cal/m3) ataupun watergas (302 K.cal/m3). Nilai kalor
biogas itu kalah oleh gas alam (967 K.cal/m3). Bahkan, menurut D. Wibowo
dalam paper-nya Gas Bio Sebagai Suatu Sumber Energi Alternatif, setiap
kubik biogas setara dengan setengah kilogram gas alam cair (liquid
petroleum gases), setengah liter bensin dan setengah liter minyak
diesel. Biogas pun sanggup membangkitkan tenaga listrik sebesar 1,25 –
1,50 kilo watt hour (kWh). Dari nilai kalor yang dikandung, biogas mampu
dijadikan sumber energi dalam beberapa kegiatan sehari-hari. Mulai dari
memasak, pengeringan, penerangan hingga pekerjaan yang membutuhkan
pemanasan (pengelasan). Selain itu, biogas juga bisa dipakai sebagai
bahan bakar untuk menggerakkan motor. Untuk keperluan ini, biogas
sebelumnya harus dibersihkan dari kemungkinan adanya gas H2S karena gas
tersebut bisa menyebabkan korosi. Agar tak timbul gas yang baunya
seperti kentut itu, kita mesti melewatkan biogas pada ferri oksida.
Nantinya ferri oksida inilah yang akan mengikat (gas) H2S tadi. Bila
biogas digunakan sebagai bahan bakar motor maka diperlukan sedikit
modifikasi pada sistem karburator. Hasil kerja motor dengan bahan bakar
biogas ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti
pembangkit tenaga listrik, pompa air dan lainnya. Selain itu, biogas
juga bisa dipadukan dengan sistem produksi lain.
B. Pembuatan Biogas dari Sampah Organik Sisa Sayuran
Tujuan
penelitian ini adalah membuat biogas dari sampah organik sisa sayuran,
dengan menggunakan bio-reaktor hasil rancangan penelitian. Bahan baku
yang digunakan, yaitu sampah organik sisa sayuran, diambil dari salah
satu pasar tradisional di kota Palembang, yang merupakan bahan buangan
dan bahan yang tidak termanfaatkan. Biogas ini dibuat melalui proses
fermentasi antara sampah organik dan campuran air beserta limbah tahu
dan bakteri EM4 dengan perbandingan komposisi 1:1. Yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh waktu
fermentasi terhadap biogas yang dihasilkan, sehingga dapat diketahui
waktu yang optimum untuk menghasilkan biogas dari sampah organik. Pada
penelitian ini, data temperatur dan pH diamati setiap harinya selama 2
minggu. Dimana didapat temperatur yang paling optimum untuk menghasilkan
biogas sebesar 31oC dan nilai pHnya berkisar antara 6,3-5,8. Sedangkan
untuk biogasnya, yang telah dianalisa dengan menggunakan alat Orsat dan
Chromatografi Gas, biogas yang paling optimum dihasilkan pada hari ke-12
dengan konsentrasi metana (CH4) sebesar 19,59% dan konsentrasi
karbondioksida (CO2) sebesar 8,6 %. Hasil tersebut, tidaklah memenuhi
untuk uji nyala. Dikarenakan biogas dapat menyala, jika terdapat
kandungan metana sebesar 60-70%.
C. Biomass - Strategi Total Jepang
Pada
tahun 2002, di Jepang, telah dicanangkan “biomass - strategi total
Jepang” sebagai kebijakan negara. Sebagai salah satu teknologi
pemanfaatan biomass sumber daya alam dapat diperbaharui yang
dikembangkan di bawah moto bendera ini, dikenal teknologi fermentasi gas
metana. Sampah dapur serta air seni, serta isi septic tank diolah
dengan fermentasi gas metana dan diambil biomassnya untuk menghasilkan
listrik, lebih lanjut panas yang ditimbulkan juga turut dimanfaatkan.
Sedangkan residunya dapat digunakan untuk pembuatan kompos. Karena
sampah dapur mengandung air 70 – 80 %, sebelum dibakar, kandungan air
tersebut perlu diuapkan. Di sini, dengan pembagian berdasarkan sumber
penghasil sampah dapur serta fermentasi gas metana, dapat dihasilkan
sumber energi baru dan ditingkatkan efisiensi termal secara total.
(1) Jenis serta Struktur Tempat Pembuangan Akhir
Untuk
tempat pembuangan akhir, metode penempatannya diatur menurut
undang-undang pengolahan sampah, dan dibagi menjadi tempat pembuangan
tipe aman, tempat pembuangan terkontrol, tempat pembuangan terisolasi.
Mengenai penerimaan sampah umum ditangani oleh tempat pembuangan
terkontrol. Penimbunan memanfaatkan reaksi penguraian senyawa organic
oleh mikroba yang hidup di dalam tanah. Karena pada saat penimbunan akan
dihasilkan gas dapat terbakar seperti gas metana, disiapkan tabung
tahan gas untuk mencegah terjadinya kebakaran atau ledakan.
(2) Teknologi Pengolahan Air Rembesan
Pada
saat dilakukan penimbunan, kualitas air rembesan (lindih) sangat
dipengaruhi oleh karakteristik sampah yang ditimbun, skala tanah
timbunan, kedalamannya, kondisi iklim, konstruksi timbunan dan
sebagainya. Memang ini merupakan pengolahan yang disesuaikan dengan
standar kapasitas buangan yang mengikuti lokasi, tetapi proses awal/
penyesuaian, proses biologi dan proses kimiawi menjadi bagian utama
dalam pengolahan lindih yang dihasilkan, yang setelah diolah dikirim ke
lokasi penimbunan.
Teknologi pengolahan sampah telah
diperkenalkan dengan menitikberatkan pada teknologi pembakaran yang
paling banyak diadopsi. Teknologi pengolahan sampah, merupakan teknologi
yang keberadaannya dirasakan mutlak untuk menjaga agar lingkungan hidup
lebih baik, dengan mengolah sampah yang dihasilkan dari rumah tangga
serta dari aktivitas industri. Rencana ke depan, ingin mengembangkan
teknologi pengolahan sampah yang dengan itu dapat menekan konsumsi
sumber daya alam serta meringankan beban lingkungan.
DISADUR DARI : http://methanefermentation.blogspot.com/2011/03/methane-fermentation.html
Minggu, 16 Oktober 2011
Kamis, 13 Oktober 2011
ANCAMAN KRISIS PANGAN AKIBAT PERUBAHAN IKLIM (DAPATKAH DIHINDARI?)
Sabtu, 20 Agustus 2011 09:30 Fred L. Benu

Kita boleh membaca bahwa satu sumber masalah (global warming) mendeterminasi
dua faktor pemicu untuk menghasilkan satu dampak besar ancaman suplai
pangan global. Dan kenyataan ini boleh dipahami bahwa masalah
pemanasalan global dapat saja mendeterminasi sejumlah faktor pemicu yang
kemudian akan berdampak terhadap kelangsungan hidup umat manusia di
jagad ini.
Isu kelangkaan pangan
hanya salah satu isu yang sedang menghantui umat manusia, tapi akan ada
sejumlah isu lainnya yang akan muncul untuk mengganggu dominasi manusia
terhadap makluk hidup lain di planet ini.
Ancaman
kelangkaan suplai pangan sebenarnya bukan ancaman baru bagi manusia.
Terhitung sejak Mathus mengeluarkan teorinya tentang pertambahan deret
hitung (produksi pangan) dan deret ukur (pertumbuhan penduduk) pada
tahun 1798, umat manusia sudah diperingati agar perlu mengantisipasi
ketidak seimbangan antara suplai dan deman akan pangan. Cuma bedanya
teori Malthus menelurkan faktor penentu kelangkaan suplai pangan adalah
manusia, sehingga manusia memerlukan kearifan untuk mengelolanya. Dan
terbukti bahwa manusia mampu untuk mengelola ancaman dimaksud dengan
melakukan sejumlah rekayasa yang melipatgandakan produksi pangan dunia.
Teori Malthus kemudian untuk sementara dianggap gugur. Pemerintah
disejumlah negara, khususnya negara-negara maju mampu mematahkan teori
Malthus melalui kebijakan produksi pangan yang tepat (termasuk Indonesia
dengan program Intensifikasi dan Ekstensifikasi pertanian di akhir
dekade 1970an). Keberhasilan pelipatgandaan produksi pangan pada tiga
dekade terakhir tidak lepas dari adanya komitmen yang kuat dari
pemerintah berbagai negara untuk meningkatkan produksi pangan disamping
adanya daya tarik pasar komoditi pangan. Pangan adalah suatu komoditi
primer sehingga suplai nya relatif akan selalu direspon oleh pasar
(global). masalahnya akan muncul saat komoditi primer ini dipakai untuk
tujuan sekunder bahkan tersier seperti yang terjadi dua tahun lalu dan
memicu ancaman kelangkaan suplai pangan.
Mari
kita periksa ancaman kelangkaan suplai pangan saat ini. Sekali lagi
pemicu kelangkaan pangan saat ini adalah masalah anomali iklim yang
mendeterminasi kegagalan produksi pangan di sejumlah negara produsen
pangan utama.
Sebut saja Rusia
mengalami kekeringan hebat sehingga mempengaruhi kemampuan produksi
pangannya. Sampai-sampai pemerintah Rusia terpaksa menutup keran
ekspornya guna mengantisipasi pemenuhan permintaan pangan dalam
negerinya. Sebaliknya China malah mengalami bencana banjir yang
mengagalkan produksi pangan tahun ini. Dengan jumlah penduduk yang
demikian besarnya, terpaksa China harus menambah volume impor pangannya,
juga untuk mengantisipasi permintaan dalam negerinya. Kebijakan yang
di luar kelaziman kedua negara ini saja mampu mengganggu keseimbangan
suplai dan demand pangan global. Jadinya semua negara, termasuk
negara-negara kecil melakukan ancang-ancang kebijakan keamanan pangan
yang sama. Suplai pangan global terganggu dan dampak nya inflasi dan
ancaman krisis pangan global.
Pergeseran Dimensi Krisis
Ada
hal menarik dari isu krisis pangan kali ini. Faktor pemicunya bukan
saja akibat tekanan penduduk dan juga buka saja karena masalah pemanasan
global. Tapi malah terjadi kombinasi tekanan antara kedua faktor
dimaksud dan memberikan tenanan baru dengan format yang lebih kompleks.
Cara menggantisipasinya juga tidak bisa lagi berupa kebijakan
berdimensi tunggal seperti kebijakan pelipatgandaan produksi pangan yang
terjadi dalam tiga dasawarsa terakhir. Sudah diperlukan adanya
pendekatan kebijakan yang lebih kompleks dengan mempertimbangan faktor
tekanan penduduk dan anomali iklim akibat pemansan global. Ini baru
kombinasi dua faktor dengan tekanan yang lebih berat. Dapat
diibayangkan bagaimana rumitnya pemerintah berbagai negara di dunia
harus melakukan format ulang kebijakan keamanan pangannya jika yang
menjadi determinan faktornya adalah kombinasi dari tiga atau lebih
faktor. Sebut saja bagaimana kalau ditambah dengan faktor krisis energi,
faktor kelangkaan erable land, faktor munculnya sejumlah besar konsumen
klas menengah dengan konsumsi tinggi, faktor peperangan (terorisme),
dsb.
Saya percaya sejumlah negara di
dunia sudah melakukan ancang-ancang antisipasi krisis pangan jilid
berikut nya. Sejumlah negara Eropa dan Amerika sudah mengantisipasi nya
dengan kebijakan biofuelnya, ditambah dengan upaya menimbun stok pangan
dalam negerinya bahkan untuk beberapa tahun ke depan. China sudah lama
menerapkan kebijakan satu anak dan sejauh ini tergolong berhasil.
Disamping itu China saat ini juga dikenal sebagai salah satu negara
lumbung pangan dunia. Israel telah lama menerapkan praktek pertanian
dengan sistem pemanfaatan air yang sangat efisien bahkan pemanfaatan
potensi air laut dan berhasil melakukan ekspor pangan. Lantas bagaimana
dengan Indonesia?
Ancangan Kebijakan
Alih-alih
mengantisipasi ancaman krisis pangan berdimensi kompleks dengan
kebijakan yang tepat. Keberhasilan menekan pertambahan penduduk melalui
program KB saat ini hanya meninggalkan cerita indah bagi gerenasi baru.
Ikut-ikutan mengagas pemanfaatan energi alternatif sejauh ini belum ada
cerita keberhasilan yang menarik untuk didengar. Yang terakhir, saat
menghadapi ancaman krisis pangan global kali ini pemerintah Indonesia
menanggapi nya dengan menyatakan bahwa Indonesia berada dalam keadaan
aman dilihat dari cadangan pangan nasional. Walaupun keadaan aman
dimaksud hanya mampu bertahan untuk paling lama 6 bulan ke depan dengan
cadangan pangan sekitar 1.4 juta ton.
Pertanyaannya
adalah apa sampai di situ saja ancangan kebijakan pangan kita untuk
mengantisipasi persoalan yang berdimensi jangka panjang? Atau kalau
dibalik, maka pertanyaannya adalah bagaimana strategi keamanan pangan
kita dalam menghadapi perubahan-perubahan di tingkat global, di saat
banyak negara lainnya sudah jauh hari memiliki ancangan kebijakan
keamanan pangan?. Kebijakan yang dikemukakan oleh pemerintah dalam
menghadapi ancaman krisis pangan kali ini juga harus diakui tidak cukup
strategis dalam jangka pendek.
Memang
pemerintah sedang mengembangkan program extensifikasi tanaman pangan
secara besar-besaran, khususnya di Merauke dan daerah potensil lainnya.
Pengembangan kawasan pangan dalam skala luas atau food estate di
Kabupaten Merauke, Papua diperkirakan memerlukan investasi sekitar Rp50
triliun hingga Rp60 triliun dengan luas potensil sekitar 200.000 hektare
dan tambahan produksi padi (beras) mencapai satu juta ton Tapi
sebagaimana dijelaskan di atas, ancangan kebijakan keamanan pangan tidak
bisa hanya berdimensi tunggal, apa lagi itu ditangani secara sektoral.
Kita memerlukan adanya suatu ancangan kebijakan yang lebih komprehensif
guna mengatasi isu ancaman krisis pangan yang juga berdimensi jamak.
(Penulis
Prof. Ir. Fred L. Benu, MSi., Ph.D., adalah gurubesar ekonomi produksi
pada Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Undana. Artikel ini
sebelumnya dipublikasikan di blog : http://drylandagriculture.blogspot.com/2010/10/mengapa-akhir-akhir-ini-para-petani.html)
DISADUR DARI :
http://www.undana.ac.id/Institutes/index.php/in/news-and-events/51-kekurangan-pangan-
Selasa, 11 Oktober 2011
MEMBUAT PAKAN IKAN DENGAN TEHNIK SILASE (FERMENTASI HIJAUAN)
Peluang Usaha Pakan Ikan Buatan (bagian 1)
Peluang
usaha dalam dunia perikanan seakan tidak ada habisnya untuk terus
digali dan dikembangkan potensinya. Dari hasil tangkapan ikan yang
didapatkan, proses budidaya, termasuk didalamnya kebutuhan
pakan ikan. Jika dalam artikel sebelumnya kita membahas secara global
mengenai pakan ikan, kali ini kita akan bahas lebih dalam lagi mengenai pakan ikan buatan
sebagai sebuah peluang usaha. Pada bagian ini dijelaskan macam bahan
yang bisa digunakan sebagai bahan pembuatan pakan ikan berikut cara
pembuatan serta kandungan gizinya. Dengan ketersediaan bahan yang cukup
melimpah dengan harga relatif murah, proses pembuatan yang cukup mudah
serta daya serap pasar yang cukup tinggi, menjadikan usaha pakan ikan buatan sebagai peluang usaha yang menjanjikan.
Ada
berbagai macam bahan yang dapat dijadikan bahan baku pembuatan pakan
ikan buatan. Secara umum dibagi menjadi : bahan hewani (berasal dari
hewan) serta bahan nabati (berasal dari tumbuh-tumbuhan. Disamping bahan
baku utama pada umumnya diberikan bahan tambahan yang diperlukan
sebagai penyempurna pakan buatan tersebut, diantaranya sebagai perasa
dan bahan perekat. Secara detai akan dijelaskan sebagai berikut :
BAHAN HEWANI
A. Tepung Ikan
Bahan
baku tepung ikan adalah jenis ikan rucah (tidak bernilai ekonomis) yang
berkadar lemak rendah dan sisa-sisa hasil pengolahan. Ikan
difermentasikan menjadi bekasem untuk meningkatkan bau khas yang dapat
merangsang nafsu makan ikan. Lama penyimpanan < 11-12 bulan, bila
lebih dapat ditumbuhi cendawan atau bakteri, serta dapat menurunkan
kandungan lisin yang merupakan asam amino essensial yang paling
essensial sampai 8%.
Kandungan gizi:
Protein : 22,65%;
Lemak : 15,38%;
Abu : 26,65%;
Serat : 1,80%;
Air : 10,72%;
Nilai ubah : 1,5-3
Cara pembuatannya:
1. Ikan direbus sampai masak, diwadahi karung, lalu diperas.
2. Air perasan ditampung untuk dibuat petis/diambil minyaknya.
3. Ampasnya dikeringkan dan digiling menjadi tepung.
B. Tepung Rebon dan Benawa
Rebon
adalah sejenis udang kecil yang merupakan bahan baku pembuatan terasi.
Benawa adalah anak kepiting laut. Rebon dan Benawa muncul pada awal
musim hujan di sekitar muara sungai, mengerumuni benda yang terapung.
Cara pembuatan:
· Bahan direbus sampai masak, diwadahi karung, lalu diperas
· Ampasnya dikeringkan dan digiling menjadi tepung.
Kandungan gizi:
Protein: Udang rebon : 59,4% (udang rebon), 23,38% (benawa);
Lemak : 3,6% (Udang rebon), 25,33% (Benawa);
Karbohidrat : 3,2% (Udang rebon), 0,06% (benawa);
Abu : 11,41% (Benawa);
Serat : 11,82% (Benawa);
Air : 21,6% (Udang rebon); 5,43% Benawa ,
Nilai ubah Benawa : 4-6
C. Tepung Kepala Udang
Bahan yang digunakan adalah kepala udang, limbah pada proses pengolahan udang untuk ekspor.
Cara pembuatannya:
· Bahan direbus, dijemur sampai kering dan digiling;
· Tepung diayak untuk membuang bagian-bagian yang kasar dan banyak mengandung kitin.
Kandungan gizinya:
Protein : 53,74%;
Lemak : 6,65%;
Karbohidrat : 0%;
Abu : 7,72%;
Serat kasar : 14,61%;
Air : 17,28%.
D. Tepung Anak Ayam
Bahan: anak ayam jantan dari perusahaan pembibitan ayam petelur.
Cara pembuatan:
·
Anak-anak ayam dimatikan secara masal, bulu-bulunya dibakar dengan
lampu semprot. Kemudian direbus sampai kaku (setengah masak).
·
Diangin-anginkan sampai kering dan digiling beberapa kali sampai halus.
Hasil gilingan yang masih basah disebut pasta dan dapat langsung
digunakan.
· Pasta dapat dikeringkan dan digiling menjadi tepung.
Kandungan gizinya:
Protein : 1,65%,
Lemak : 7,30%,
Abu : 2,34%,
Air : 8,80%,
Nilai ubah : 5-8.
Juga mengandung hormon, enzim, vitamin, dan mineral yang dapat merangsang nafsu makan dan pertumbuhan.
E. Tepung Kepompong Ulat Sutra
Bahan: kepompong ulat sutra yang merupakan limbah industri pemintalan benang sutra alam.
Kandungan gizinya:
Protein : 46,74%,
Lemak : 29,75%,
Abu : 4,86%,
Serat : 8,89%,
Air : 9,76%,
Nilai ubah : 1,8.
F. Ampas Minyak Hati Ikan
Bahan: ampas hati ikan yang telah diperas minyaknya.
Cara pembuatannya:
· Digunakan sebagai pasta, karena kandungan lemaknya tinggi, sehingga sukar dikeringkan.
· Digiling halus sampai bentuknya seperti pellet.
Kandungan gizinya:
Protein : 25,08%,
Lemak : 56,75%,
Abu : 6,60%,
Air : 12,06%,
Nilai ubah : 8.
G. Tepung Darah
Bahan: darah, limbah dari rumah pemotongan ternak.
Cara pembuatannya:
darah beku yang masih mentah dimasak dan dikeringkan, kemudian digiling menjadi tepung.
Kandungan gizinya:
Protein : 71,45%,
Lemak : 0,42%,
Karbohidrat : 13,12%,
Abu : 5,45%,
Serat : 7,95%,
Air : 5,19.
Proteinnya sukar dicerna, sehingga penggunaannya untuk ikan < 3% dan untuk udang < 5%.
H. Silase Ikan
Silase adalah hasil olahan cair dari bahan baku asal ikan/limbahnya.
Bahan: ikan rucah dan limbah pengolahan.
Cara pembuatan :
1.
Bahan dicuci, dicincang kecil-kecil, kemudian digiling. Hasil gilingan
direndam dalam larutan asam formiat 3% 24 jam, kemudian diperas.
2.
Air perasan ditampung dan lapisan minyak yang mengapung di lapisan atas
disingkirkan. Cairan yang bebas minyak dicampur dengan ampas dan
ditambah asam propionat 1%, untuk mencegah tumbuhnya bakteri/cendawan
dan menambah daya awet ± 3 bulan dengan pH ± 4,5. (4) Bahan diperam
selama 4 hari dan diaduk 3- 4 kali sehari
3.
Bahan cair yang bersifat asam dapat dicampur dengan dedak, ketela
pohon/tepung jagung dengan perbandingan 1:1, dikeringkan dan digunakan
untuk campuran dalam ramuan makanan.
Kandungan gizinya:
Protein : 18-20%,
Lemak : 1-2%,
Abu : 4-6%,
Air : 70 – 75%,
Kapur : 1-3%,
Fosfor : 0,3-0,9%.
I. Arang Bulu Ayam dan Tepung Tulang
Bahan: arang bulu ayam, tulang ternak.
Cara pembuatan:
Tulang
dipotong sepanjang 5-10 cm, direbus selama 2-4 jam dengan suhu 100
derajat C, kemudian dihancurkan hingga menjadi serpihan-serpihan
sepanjang 1-3 cm. Serpihan tulang direndam dalam air kapur 10% selama
4-5 minggu dan dicuci dengan air tawar. Pemisahan selatin dengan jalan
pemanasan 3 tahap, yaitu pada suhu 60 derajat C selama 4 jam, suhu 70
derajat C selama 4 jam, dan 100 derajat C selama 5 jam. Pemrosesan
selatin. Tulang dikeringkan pada suhu 100 derajat C, sampai kadar airnya
tinggal 5% dan digiling hingga menjadi tepung. Pengemasan dan
penyimpanan.
Kandungan gizinya:
Protein : 25,54%,
Lemak : 3,80%,
Abu : 61,60%,
Serat : 1,80%,
Air : 5,52%.
J. Tepung Bekicot
Bahan: daging bekicot mentah dan daging bekicot rebus.
Cara pembuatan:
Daging bekicot dikeringkan lalu digiling. Untuk campuran makanan sebesar 5-15%.
Kandungan gizi:
Protein : 54,29%,
Lemak : 4,18%,
Karbohidrat : 30,45%,
Abu : 4,07%,
Kapur : 8,3%,
Fosfor : 20,3%,
Air : 7,01.
K. Tepung Cacing Tanah
Dapat menggantikan tepung ikan, dapat diternak secara masal.
Jumlah penggunaan dalam ramuan 10-25%.
Cara pembuatan: Cacing dikeringkan lalu digiling.
Kandungan proteinnya 72% dan mudah diserap dinding usus.
L. Tepung Artemia
Dapat menggantikan tepung ikan/kepala udang.
Kandungan
protein (asam amino essensial) untuk burayak 42% dan dewasa 60%,
sedangkan asam lemak tak jenuh untuk burayak 20% dan dewasa 10%. Daya
cernanya tinggi.
M. Telur Ayam dan Itik
Bahan: telur mentah atau telur rebus.
Penggunaan:
Telur mentah langsung dikopyok dan dicampur dengan bahan lain. Telur
rebus, diambil kuningnya, dihaluskan dan dilarutkan sampai membentuk
emulsi atau suspensi.
Kandungan gizinya:
Protein : 12,8%,
Lemak : 11,5%,
Karbohidrat : 0,7%,
Air : 74%.
N. Susu
Bahan: tepung susu tak berlemak (skim).
Kandungan gizi:
Protein : 35,6%
Lemak : 1,0%
Karbohidrat : 52,0%,
Air : 3,5%
BAHAN NABATI
A. Dedak
Bahan
: dedak padi ada 2, yaitu dedak halus (katul) dan dedak kasar. Dedak
yang paling baik adalah dedak halus yang didapat dari proses penyosohan
beras.
Kandungan gizi:
Protein : 11,35%
Lemak : 12,15%,
Karbohidrat : 28,62%,
Abu : 10,5%,
Serat kasar : 24,46%,
Air : 10,15%,
Nilai ubah : 8.
B. Dedak Gandum
Bahan: hasil samping perusahaan tepung terigu. Tepung yang paling baik untuk pakan ikan adalah “wheat pollard” dengan
Kandungan gizi :
Protein : 11,99%,
Lemak : 1,48%,
Karbohidrat : 64,75%,
Abu : 0,64%,
Serat kasar : 3,75%,
Air=17,35%,
Nilai ubah : 2-3.
C. Jagung
Terdapat 2 jenis, yaitu:
1. Jagung kuning, mengandung protein dan energi tinggi, daya lekatnya rendah;
2. Jagung putih, mengandung protein dan enrgi rendah, daya lekatnya tinggi. Sukar dicerna ikan, sehingga jarang digunakan.
D. Cantel/Sorgum
Berwarna
merah, putih, kecoklatan. Warna putih lebih banyak digunakan. Mempunyai
zat tanin yang dapat menghambat pertumbuhan, sehingga harus ditambah
metionin/penyosohan yang lebih baik.
Kandungan gizi:
Protein : 13,0%,
Lemak : 2,05%,
Karbohidra : 47,85%,
Abu : 12,6%,
Serat kasa : 13,5%,
Air : 10,64%,
Nilai ubah : 2-5.
E. Tepung Terigu
Berasal dari biji gandum, berfungsi sebagai bahan perekat.
Kandungan gizi:
Protein : 8,9%;
Lemak : 1,3%;
Karbohidrat : 77,3%;
Abu : 0,06%;
Air : 13,25%.
F. Tepung Kedele
Keuntungan : mengandung lisin asam amino essensial yang paling essensial dan aroma makanan lebih sedap, penggunaannya ± 10%.
Kekurangan: mengandung zat yang dapat menghambat enzim tripsin,dapat dikendalikan dengan cara memasak.
Kandungan gizi:
Protein : 39,6%,
Lemak : 14,3%,
Karbohidrat : 29,5%,
Abu : 5,4%,
Serat : 2,8%,
Air : 8,4%,
Nilai ubah : 3-5.
G. Tepung Ampas Tahu
Kandungan gizinya:
Protein : 23,55%,
Lemak : 5,54%,
Karbohidrat : 26,92%,
Abu : 17,03%,
Serat kasar : 16,53%,
Air : 10,43%.
H. Tepung Bungkil Kacang Tanah
Bungkil kacang tanah adalah ampas pembuatan minyak kacang.
Kelemahannya:
dapat menyebabkan penyakit kurang vitamin, dengan gejala sirip tidak
normal dan dapat dicegah dengan membatasi penggunaannya.
Kandungan gizi:
Protein : 47,9%,
Lemak :10,9%,
Karbohidrat : 25,0%,
Abu : 4,8%,
Serat kasar : 3,6%,
Air : 7,8%,
Nilai ubah : 2,7-4.
I. Bungkil Kelapa
Bungkil kelapa adalah ampas dari proses pembuatan minyak kelapa. Sebagai bahan ramuan dapat dipakai sampai 20%.
Kandungan gizi :
Protein : 17,09%,
Lemak : 9,44%,
Karbohidrat : 23,77%,
Abu : 5,92%,
Serat kasar : 30,4%,
Air : 13,35%.
J. Biji Kapuk/Randu
Bahan: bungkil kapuk yang telah diambil minyaknya.
Kelemahannya: Mengandung zat siklo-propenoid yang bersifat bius. Penggunaannya < 5%. Kandungan gizinya:
Protein : 27,4%,
Lemak : 5,6%,
Karbohidrat : 18,6%,
Abu : 7,3%,
Serat kasa : 25,3%,
Air : 6,1 %.
K. Biji Kapas
Bahan:
bungkil dari pembuatan minyak. Kelemahannya: mengandung zat gosipol
yang bersifat sebagai racun, yaitu merusak hati dan
perdarahan/pembengkakan jaringan tubuh. Untuk penggunaannya harus
dimasak dulu.
Kandungan gizi:
Protein : 19,4%,
Lemak : 19,5%,
Asam lemak linoleat : 47,8%,
Asam lemak palmitat : 23,4%,
Asam lemak oleat : 22,9%.
L. Tepung Daun Turi
Kelemahannya: mengandung senyawa beracun : asam biru (HCN), lusein, dan alkoloid-alkoloid lainnya.
Kandungan gizinya:
Protein : 27,54%,
Lemak : 4,73%,
Karbohidrat : 21,30%,
Abu : 20,45%,
Serat kasar : 14,01%,
Air : 11,97 %.
M. Tepung Daun Lamtoro
Kelemahannya: mengandung mimosin, dalam pemakaiannya < 5% saja.
Kandungan gizinya:
Protein : 36,82%, Lemak : 5,4%,
Karbohidrat : 16,08%,
Abu : 1,31%,
Serat kasar : 18,14%,
Air : 8,8%.
N. Tepung Daun Ketela Pohon
Kelemahannya: racun HCN/asam biru.
Kandungan gizi:
Protein=34,21%,
Lemak : 4,6%,
Karbohidrat : 14,69%,
Air : 0,12.
O. Isi Perut Besar Hewan Memamah biak
Bahan: dari rumah pemotongan ternak.
Cara pembuatan: dikeringkan, digiling sampai menjadi tepung.
Kandungan gizinya:
Protein : 8,39%,
Lemak : 5,54%,
Karbohidrat : 33,51%,
Abu : 17,32%,
Serat kasar : 20,34%,
Air : 14,9%,
Nilai ubah : 2.
BAHAN TAMBAHAN
A. Vitamin dan Mineral
1. Cara memperoleh: dari toko penjual makanan ayam (poultry shop) yang sudah dikemas dalam bentuk premiks (premix).
2. Premix tersebut mengandung vitamin, mineral, dan asam-asam amino tertentu.
3. Contoh-contoh merek dagang:
·
Top mix: mengandung 12 macam vitamin (A, D, E, K, B kompleks), 2 asam
amino essensial (metionin dan lisin) dan 6 mineral (Mn, Fe, J, Zn, Co
dan Cu), serta antioksidan (BHT)
·
Rhodiamix: mengandung 12 macam vitamin (A, D, E, K, B kompleks), asam
amino essensia metionin, dan 8 mineral (Mg, Fe, Mo, Ca, J, Zn, Co dan
Cu), serta antioksidan.
· Mineral B12: mengandung tepung tulang, CaCO3 , FeSO4 , MnSO4 , KI, CuSO4 , dan ZnCO3 , serta vitamin B12 (sianokobalamin).
· Merek lain: Aquamix, Rajamix U, Pfizer Premix A, Pfizer Premix B.
4. Penggunaannya : Untuk ikan 1-2% dan untuk udang 10-15%.
A. Garam Dapur (NaCl)
1.
Fungsi: sebagai bahan pelezat (gurih), mencegah terjadinya proses
pencucian zat-zat lain yang terdapat dalam ramuan makanan ikan.
2. Penggunaannya cukup 2%.
Bahan Perekat
1. Contoh bahan perekat: agar-agar, gelatin, tepung terigu, tepung sagu, dll. Yang paling baik adalah tepung kanji dan tapioka.
2. Penggunaannya cukup 10%.
Antioksidan
1.
Bahan: fenol, vitamin E, vitamin C, etoksikulin
(1,2dihydro-6-etoksi-2,2,4 trimethyquinoline), BHT (butylated
hydroxytoluena), dan BHA (butylated hydroxyanisole).
2. Penggunaannya: etoksikulin 150 ppm, BHT dan BHA 200 ppm.
Ragi dan Ampas Bir
1. Ragi adalah sejenis cendawan yang dapat merubah karbohidrat menjadi alkohol dan CO2.
2. Macam ragi: ragi tape, ragi roti, dan bir.
3. Kandungan gizi:
Protein : 59,2%,
Lemak : 0,
Karbohidrat : 38,93%,
Abu : 4,95%,
Serat kasar : 0,
Air : 6,12%.
4. Ampas bir merupakan limbah pengolahan bir.
5. Kandungan gizinya: Protein=25,9%, Serat kasar=15%
6. Penggunaannya: ampas bir basah 3-6% dan kering 10%.
RUSAKNYA DAERAH RESAPAN AIR
Desi Sri Pasca Sari Sembiring,SP,SE,MSi
Dosen Yayasan Universitas Quality
*)Progam Doktor PSL Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara
e-mail :Kifa_gs@yahoo.com.
Reduction in the buffer area resulted in flooding and drought, requires the Government of Medan to see the sides that can be utilized as a buffer area that is the watershed, open space, vacant land, agricultural land and other. Region that serves as a buffer area of Medan city is Pancur Batu subdistrict, district Patumbak, district and subdistrict Delitua Namurambe. Fourth District have rivers that flow into the River among Medan Deli, Belawan River, River Seriwah, Seruai River, Rock River, Sungai Batang Quiz, Tuntungan River, Bekala River and Middle River.
From the results can be known that before he settled DAS Medan city is still in ecological threshold. Watershed which explored the physical development (residential, tourist and quarrying C) is the catchment area have access transportation. Other DAS is still used for garden mix (polikulture) perennials that have a root structure that can withstand erotion.The conclusion is a buffer area in Medan: Southern Region (upstream) is still insufficient in terms of availability as well as from existing vegetation, floods that struck the city of Medan in general is still entered into the category of a pool of water, a buffer area in the downstream area of Medan, the category is not sufficient, in terms of area and vegetation composition. Development of a buffer area in the southern city of Medan (upstream) is to utilize the potential of available land into agricultural commodities. To maintain the availability of a buffer area in the downstream region is the printing of new city forests, exploiting riverine agricultural areas were hard plants and increased community participation in maintaining a buffer area.
Keyword: watershed, Buffer Zone, Water Infiltration, Southern Region Field
ABSTRAK
Berkurangnya kawasan penyangga berakibat pada banjir dan kekeringan, mengharuskan Pemerintah Kota Medan melihat sisi-sisi yang bisa dimanfaatkan sebagai kawasan penyangga yakni daerah aliran sungai, ruang terbuka, lahan kosong, lahan pertanian dan lainnya. Wilayah yang berfungsi sebagai kawasan penyangga Kota Medan adalah Kecamatan Pancur Batu, Kecamatan Patumbak, Kecamatan Namorambe dan Kecamatan Delitua. Keempat Kecamatan ini terdapat sungai-sungai yang mengalir ke Kota Medan diantaranya Sungai Deli, Sungai Belawan, Sungai Seriwah, Sungai Seruai, Sungai Batuan, Sungai Batang Kuis, Sungai Tuntungan, Sungai Bekala, dan Sungai Tengah.
Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa kawasan DAS dihulu Kota Medan \masih dalam batas ambang ekologis. DAS yang dieksplorasi pembangunan fisik (pemukiman, wisata dan penggalian C) adalah wilayah DAS yang memiliki akses transportasi. Kawasan DAS lainnya masih digunakan untuk kebun campuran (polikulture) tanaman keras yang memiliki struktur perakaran yang dapat menahan erosi.Kesimpulan yang didapat adalah Kawasan penyangga di Kota Medan : Wilayah Selatan (hulu) masih mencukupi baik dari aspek ketersediaan maupun dari vegetasi yang ada, banjir yang melanda Kota Medan secara umum masih masuk ke dalam kategori genangan air,kawasan penyangga di wilayah hilir Kota Medan masuk dalam kategori tidak mencukupi, dalam hal luasan maupun komposisi vegetasi. Pengembangan kawasan penyangga di wilayah Selatan Kota Medan (hulu) adalah dengan memanfaatkan potensi lahan yang tersedia menjadi komoditi pertanian. Untuk mempertahankan ketersediaan kawasan penyangga di wilayah hilir adalah pencetakan hutan kota baru, pemanfaatan sempadan sungai menjadi wilayah pertanian tanaman keras dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menjaga kawasan penyangga.
Keyword: DAS, Kawasan Penyangga, Resapan Air, Wilayah Selatan Medan
Pendahuluan
Gejala pembangunan kota di Indonesia tidak lagi mengacu pada rancangan kota yang memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Daya dukung lingkungan semakin rendah menyebabkan masalah banjir dan kekeringan berkepanjangan. Kondisi ini berdampak pada kelangsungan hidup makhluk di wilayah yang mengalami degradasi. Untuk menjaga kelangsungan hidup sebuah kota, seharusnya kota menyediakan kawasan penyangga (bufferzone), yang salah satu fungsinya pengaturan proses hidrologi. Rusaknya tata air atau neraca air tawar diindikasikan oleh kurang/tidak meratanya debit air sungai–sungai sepanjang tahun.
Kecenderungan bahaya banjir yang semakin serius di musim hujan dan krisis air di musim kemarau merupakan ancaman terbesar bagi kehidupan masyarakat. Diperlukan program terpadu pengelolaan air (water management) mulai dari pelestarian di bagian hulu sampai pemanfaatan di bagian hilir termasuk kebijakan menggunakan jenis air untuk dimanfaatkan membiayai program pelestarian air.
Banyak faktor penyebab terjadinya banjir antara lain : (a) Perubahan cuaca yang menyebabkan terjadinya hujan lokal, air dari hulu, air pasang laut dan air tanah, (b) Penataan ruang yang tidak teratur sehingga mengabaikan fungsi-fungsi ekologis, (c) Perencanaan drainase yang tidak komprihensif (hanya mengikuti badan jalan yang tidak mengalir ke parit-parit pembuangan), (d) Kerusakan hutan sebagai daerah tangkapan air (catchment area) sehingga air yang jatuh ke tanah langsung terbawa ke hilir, (e) perubahan fungsi bantaran sungai (flood plain) sehingga sungai semakin sempit sehingga daearah tangkapan semakin kecil, (f) berkurangnya daerah tangkapan air akibat perubahan fungsi, misalnya lembah-lembah berubah fungsi menjadi tempat pembuangan sampah, (g) konversi lahan di daerah pegunungan yang sebelumnya menjadi daerah tangkapan air hujan dan ruang terbuka (green belt) berubah menjadi lahan impervious (kedap air) seperti pembangunan villa, hotel dan pemukiman, (h) Faktor sosial budaya yakni kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan hidupnya : perbandingan antara jumlah lahan terbuka dengan area impervious (koefisien dasar bangunan).
Kawasan penyangga (buffer zone) adalah sebuah kawasan milik publik yang direncanakan kwalitas dan kwantitasnya dalam sebuah kota. Kawasan penyangga ini berupa hutan kota, taman kota, sempadan sungai di DAS yang bervegetasi dan jenis tumbuhan penyusunnya dapat berfungsi sebagai tanaman konservasi. Kawasan penyangga sebuah kota harus tersedia, berfungsi sebagai (a) mengatur proses hidrologi, menyimpan air ketika air berlebih dan mendistribusikannya sedikit demi sedikit, (b) menahan erosi angin dan air dan mengendalikan air tanah, (c) meningkatkan kwalitas kota, menciptakan udara yang bersih, menetralisir kebisingan, (c) sebagai habitat satwa dan tumbuhan dan (d) sebagai sumber ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
Dalam rencana menjadikan Medan sebagai kota metropolitan maka pembangunan fisik kota harus diimbangi dengan pelestarian kawasan penyangga, sehingga persoalan banjir di Kota Medan dapat diminimisasi. Namun pada kenyataannya pertumbuhan kota menyebabkan semakin menciutnya areal-areal yang dijadikan sebagai kawasan penyangga. Berkurangnya kawasan penyangga berakibat pada banjir dan kekeringan, mengharuskan Pemerintah Kota Medan melihat sisi-sisi yang bisa dimanfaatkan sebagai kawasan penyangga yakni daerah aliran sungai, ruang terbuka, lahan kosong, lahan pertanian dan lainnya.
Berdasarkan kriteria Keppres No 32 tahun 1990, jenis kawasan yang berfungsi sebagai kawasan pelindung di Wilayah Selatan Medan adalah : hutan lindung, kawasan resapan air, kawasan lindung setempat dan kawasan rawan bencana. Oleh karena itu sebagai salah satu jenis kawasan lindung di Wilayah Selatan Medan maka kawasan resapan air wilayah ini harus dilestarikan demi kelestarian fungsi Wilayah Selatan Kota Medan.
Dalam Perda Propinsi Sumatera Utara No 2 tahun 1996 tentang pengelolaan kawasan lindung di Propinsi Sumatera Utara, yang dimaksud dengan kawasan resapan air adalah kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air ke dalam tanah, sehingga merupakan tempat pengisian air bumi yang berguna bagi sumber air. Oleh karena itu perkembangan lahan terbangun did kawasan resapan air harus dibatasi karena peningkatan luas lahan terbangun did kawasan resapan air akan menyebabkan luas kawasan resapan air semakin berkurang.
Permasalahan Penelitian
Hal-hal yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah ketersediaan kawasan penyangga Kota Medan ?
2. Bagaimanakah gambaran Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah Selatan Kota Medan
3. Untuk mengetahui hubungan antara ketersediaan kawasan penyangga dengan banjir di Kota Medan ?
4. Bagaimana gambaran kawasan penyangga wilayah hilir kota Medan
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Medan dan wilayah Selatan Kota Medan, yakni Kecamatan Pancur Batu, Patumbak, Namurambe dan Kecamatan Deli Tua, yang berada di daerah administratif Kabupaten Deli Serdang. Kecamatan Pancur Batu, Patumbak, Namurambe dan Deli Tua adalah wilayah yang langsung berbatasan dengan Kota Medan yang berfungsi sebagai penyangga hidrologis di Kota Medan. Wilayah penyangga wilayah hilir Kota Medan sendiri adalah berupa hutan-hutan kota, taman kota, daerah sempadan sungai, lapangan terbuka yang berperan dalam pengaturan proses hidrologis.
Penelitian ini dilakukan dengan metode Participory Rural Appraisal (teknik pendekatan masyarakat dengan metode partisipasi) dengan tahapan :
a. Transek Topografi : merupakan potongan melintang dan membujur dari areal tertentu yang menunjukkan hubungan antara pemanfaatan dan karakteristik biofisik (tipe tahah, kemiringan, bentuk wilayah) untuk setiap unit lahan). Semuanya merupakan hal yang umum dilakukan dimana terlihat hubungan yang erat antara penggunaan lahan dengan topografi. Kegiatan pembuatan transek ini juga melibatkan warga desa di sekitar wilayah DAS dengan berjalan secara sistematis disetiap sisi desa.
b. Pemetaan desa bersama masyarakat, dengan skala besar, dengan menggambarkan wilayah di sekitar desa seperti pemukiman, lahan pertanian, degradasi lahan dan persoalan dan potensi lainnya.
c. Pengamatan langsung ke wilayah pinggiran DAS, keadaan lingkungan, kegiatan penduduk dan diskusi langsung dengan penduduk.
d. Pembuatan diagram sebab akibat yakni menjelaskan hubungan yang kompleks antara perbedaan sebab akibat, tunggal atau gabungan, yang memecahkan masalah tertentu. Berbagai faktor penyebab yang berkaitan dengan permasalahan dapat disatukan menjadi rantai permasalahan yang berbeda. Diagram sebab akibat ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya unsur yang berpengaruh.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
1.Gambaran Kawasan Penyangga di Wilayah Selatan Kota Medan
Wilayah bagian Selatan Kota Medan merupakan kawasan resapan air yang berfungsi menahan air agar tidak terjadi kekeringan di musim kemarau serta terjadinya kebanjiran atau genangan air pada musim hujan di kota Medan. Wilayah ini yang mempunyai kemiringan lereng di atas 15 persen pada umumnya merupakan wilayah daerah Tingkat II Kabupaten Deli Serdang sehingga pengelolaan secara hukum harus berkoordinasi dengan Bupati Deli Serdang. Pengembangan lahan ke arah selatan Medan diharapkan merupakan lahan pemukiman dengan tanah luas sehingga konservasi air hujan tidak terganggu, disamping menjaga jalur hijau sempadan Sungai Deli dan Sungai Babura agar tidak terjadi pencemaran air dan erosi. Seperti diketahui Sungai Deli merupakan salah satu sumber reservoir PDAM Tirtanadi yang menjadi penyuplai air bersih bagi warga Kota Medan.
Saat ini perkembangan lahan yang terbangun yang terjadi di Wilayah Selatan Medan sangat pesat dan kurang terkendali sehingga sering menyimpang dari peruntukan lahan yang ditetapkan. Perkembangan lahan terbangun di kawasan resapan air semakin meningkat, dan sebaliknya telah mengurangi luas kawasan resapan air. Sedangkan proporsi guna lahan pertanian yang menunjang fungsi kawasan resapan air mengalami penurunan akibat perubahan guna lahan pertanian menjadi lahan terbangun, terutama akibat kegiatan pembangunan berizin lokasi.
Wilayah yang berfungsi sebagai kawasan penyangga Kota Medan adalah Kecamatan Pancur Batu, Kecamatan Patumbak, Kecamatan Namurambe dan Kecamatan Delitua. Keempat Kecamatan ini terdapat sungai-sungai yang mengalir ke Kota Medan diantaranya Sungai Deli, Sungai Belawan, Sungai Seriwah, Sungai Seruai, Sungai Batuan, Sungai Batang Kuis, Sungai Tuntungan, Sungai Bekala, dan Sungai Tengah. Keadaan topografi bervariasi (a) Datar hingga berombak (0 s/d kemiringan 2%) seluas 230.726 hektar, (b) Berombak hingga bergelombang (kemiringan 3 s/d 15 %) 83.772 seluas hektar, (c) Bergelombang hingga berbukit (kemiringan 15 s/d 40 %) seluas 91.961 hektar, (d) Berbukit, pegununggan dan terjal (kemiringan < 40 %) seluas 33.335 hektar.
Luas lahan terbangun di kawasan resapan air adalah 3.211,98 hektar, dan luasnya berbeda untuk setiap kecamatan. Luas lahan terbangun di kawasan resapan air pada tiap kecamatan dapat menunjukan pesatnya perkembangan lahan terbangun yang terjadi di tiap kecamatan yang ada kawasan resapan air. Perkembangan lahan terbangun yang paling tinggi terjadi di Kecamatan Pancur Batu. Kemudian diikuti oleh Kecamatan Patumbak, Deli Tua dan Namorambe. Pada tahun 2002, luas lahan terbangun di Kecamatan Pancur Batu adalah yang paling besar yaitu 1.306,44 hektar atau 41,96% dari luas seluruh lahan terbangun di kawasan resapan air. Kecamatan lain yang luas lahan terbangun kawasan resapan airnya besar adalah Kecamatan Patumbak yaitu 939,42 hektar (30,17%) kemudian Kecamatan Namorambe memiliki lahan terbangun yang paling kecil jika dibandingkan dengan kecamatan lainnya.
Dengan menggunakan asumsi bahwa besarnya luas lahan terbangun di kawasan resapan air yang sama dengan besarnya pengurangan luas kawasan resapan air yang telah terjadi, maka pengurangan luas kawasan resapan air telah terjadi pula pada Kecamatan tersebut diatas. Kecamatan Pancur Batu mengalami pengurangan luas kawasan resapan air paling besar, yaitu sebesar 1.306,44 ha atau 40,67 % dari luas seluruh pengurangan kawasan resapan air yang telah terjadi. Kemudian diikuti oleh Kecamatan Patumbak, Deli Tua, dan Namorambe, yaitu masing-masing mengalami pengurangan luas kawasan resapan air sebesar 939,42 hektar (29,25%), 601,97 hektar (18,74%), dan 364,15 hektar (11,34%). Catatan Dinas Kimpraswil Deli Serdang, menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan di keempat sampel adalah untuk pembangunan pemukiman berskala besar/ real estate), rumah toko, dan pemukiman biasa terutama di kawasan yang datar/flat.
a. Tingkat Kepadatan Penduduk
Pertumbuhan penduduk akan berpengaruh terhadap pemanfaatan lahan di wilayah tangkapan air, baik pemanfaatan lahan untuk pemukiman maupun untuk sektor ekonomi ; pertanian, dan pemanfaatan lainnya Pertambahan penduduk di masing-masing Kecamatan dipengaruhi oleh akses terhadap sektor produksi dan transportasi
Kecamatan Pancur Batu memiliki luas areal terbesar disusul Kecamatan Namurambe dan Kecamatan Patumbak, sedangkan Kecamatan Delitua memiliki luasan paling kecil. Dibandingkan dengan jumlah penduduk, maka Kecamatan Pancur Batu memiliki penduduk yang tinggi, disusul Kecamaan Patumbak dan Delitua, namun karena variasi luas lahan menyebabkan tingkat kepadatan penduduk paling tinggi di Kecamatan Delitua dan Patumbak. Pertumbuhan penduduk ini disebabkan migrasi ; masyarakat dari luar masuk di wilayah ini dan bermukim secara permanen. Dari hasil survey sebelumnya (berdasarkan komuter yang memasuki wilayah Kota Medan dari Kecamatan Delitua dan Patumbak) tampak bahwa rata-rata komuter yang memasuki di jalur Jalan Brigjen Katamso titik persimpangan outer ring road adalah lebih dari 10.000 orang (Hairulsyah, 2002).
b. Tataguna Lahan di Kawasan Penyangga Wilayah Selatan Kota Medan
Penggunaan lahan di masing-masing Kecamatan adalah untuk budidaya pertanian, baik tanaman perkebunan rakyat, tegalan dan persawahan. Komoditi yang diusahakan juga bervariasi, baik polikultur tanaman tahunan (durian, jengkol, nira, petani, duku, rambutan, kelapa kakao dan lainnya), tanaman semusim seperti jagung, kacang-kacangan dan padi. Pemanfaatan lahan dan komoditi yang diusahakan akan berpengaruh pada ringkat resapan air, dimana tanaman tahunan memiliki daya resapan yang tinggi dibandingkan dengan tanaman tahunan.
Dari gambaran luas pemanfaatan lahan, maka sebenarnya wilayah Selatan Kota Medan masih memiliki persediaan daerah resapan air yang cukup tinggi (rata-rata per Kecamatan masih tersedia > 75 % areal resapan air). Pada areal yang bertopografi miring lahan masih banyak digunakan untuk kawasan penyangga desa, kawasan dengan topografi miring biasanya digunakan untuk tanaman tahunan seperti durian, nira dan tanaman tahunan lainnya.
Pertumbuhan Kota Medan menyebabkan alih fungsi lahan di masing-masing Kecamatan, dari lahan pertanian berubah menjadi areal pemukiman seperti pembangunan real estat, industri dan penggunaan lainnya terkonsentrasi di di Kecamatan Patumbak dan Deli Tua. Situasi ini agak berbeda dengan di Kecamatan Pancur Batu, alih fungsi lahan tidak terlalu pesat, yang disebabkan prasarana jalan yang kurang mendukung dan topografi yang lebih bergelombang.
Fluktuasi perkembangan alih fungsi lahan dari areal pertanian menjadi pemukiman dipengaruhi oleh rencana pengembangan Kota Medan. Dengan dibukanya jalan lingkar luar di wilayah Selatan Kota Medan, akses dari Kecamatan Deli Tua dan Patumbak ke Kota Medan semakin baik. Minat masyarakat untuk bermukim di wilayah Deli Tua dan Patumbak semakin besar. Disisi lain juga pembangunan industri dan pusat perdagangan juga memusat di kedua Kecamatan ini.
c. Vegetasi Penutup Kawasan Penyangga Wilayah Selatan Kota Medan
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa kawasan penyangga wilayah Selatan Kota Medan adalah areal pertanian tanaman keras baik yang disuahakan oleh perusahaan perkebunan swasta, perusahaan negara dan perkebunan rakyat. Di semua wilayah kawasan penyangga terdapat areal perkebunan kelapa sawit milik swasta dan negara dan juga perkebunan rakyat. Umumnya pengusahaan perkebunan swasta dan negara pada lahan yang datar (flat) sedangkan perkebunan milik rakyat pada topografi yang miring. Penelitian dilakukan oleh Crey dan Denneke (1986), bahwa satu hektar vegetasi penutup tanah yang memiliki kanopi besar dapat menetralisasi 736.000 liter limbah cair yang dihasilkan oleh kurang lebih 5.000 orang. Dan mampu menyimpan air tanah sebanyak 900 m3/tahun. Satu hektar dapat menghasilkan 0,6 ton oksigen untuk konsumsi 1.500 orang/hari.
Dapat disimpulkan masing-masing perkebunan negara, swasta dan rakyat memberikan kontribusi terhadap kondisi ekologis wilayah bawahnya. Sistem perakaran tanaman dengan polikultur lebih kuat dalam menyerap air dibanding dengan tanaman monokultur. Polikultur tanaman yang diusahakan oleh rakyat adalah tanaman tua, misalkan tanaman durian ada yang mencapai 50 tahun dengan sistem perakaran yang dalam. Pada lahan-lahan dengan kemiringan antara 15 – 25 % diusahakan tanaman nira, jengkol, duku dan lainnya, sedangkan dengan kimiringan > 25 % biasanya dijadikan hutan kampung, dengan kayu-kayuan yang diperlukan oleh masyarakat sekitar. Dari aspek ketersediaan kawasan penyangga di wilayah Kota Medan masih dalam kategori cukup tersedia.
d. Degradasi Kawasan Penyangga di Wilayah Selatan Kota Medan
Tingkat kerusakan kawasan penyangga di wilayah Selatan Kota Medan adalah penebangan pohon dan meratakan bukit-bukit untuk lahan pemukiman. Biasanya kondisi ini terjadi di pusat-pusat pertumbuhan akibat dibukanya jalan ataupun pusat kegiatan seperti wisata, pemukiman baru, perdagangan dan lainnya. Semua Kecamatan di kawasan penyangga mengalami degradasi lahan, dari observasi lapangan diperoleh gambaran bahwa penyebab degradasi lahan di keempat Kecamatan adalah akibat pemanfaatan lahan pertanian menjadi pemukiman, perataan bukit untuk mengambil tanah timbun, pembakaran lahan untuk areal pertanian dan pengambilan kayu dari hutan kampung untuk bahan bangunan.
Di Kecamatan Pancurbatu degradasi lahan jelas terlihat di sepanjang Jalan Jamin Ginting menuju Kabupaten Karo, terlihat bukit-bukit diratakan untuk pembangunan pemukiman dan bahan tanah timbun. Di Kecamatan Patumbak, Delitua dan Namurambe banyak lahan yang diratakan baik bukit dan penimbunan sawah untuk dijadikan lahan areal pemukiman berskala besar dan juga pemukiman individu. Secara umum wilayah yang dekat jalan mengalami jenis degradasi yang sama di masing-masing Kecamatan yakni pemanfaatan pertanian menjadi pemukiman. Dari wawancara dengan key person, tampak dalam skala mikro, aktivitas perataan bukit-bukit ini menyebabkan terjadinya longsor di musim hujan dan air turun ke drainase sepanjang jalan. Namun kondisi ini masih belum melampaui ambang batas ekologis baik untuk wilayah sekitar maupun untuk wilayah Kota Medan. Perubahan yang tampak akibat degradasi lahan ini adalah berkurangnya sumber mata air yang dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber air untuk pertanian, naiknya temperatur lingkungan mikro.
Meskipun tingkat degradasi lahan di masing-masing Kecamatan saat ini masih dalam ambang batas, namun bila tidak diantisipasi secara cepat maka dalam kurun 5 tahun akan memperlihatkan efek terhadap lingkungan hidup sekitarnya. Percepatan pembangunan di Kota Medan menyebabkan pergeseran wilayah pembangunan ke empat Kecamatan tersebut. Oleh sebab itu penanganan degradasi kawasan penyangga Kota Medan bukan hanya berdasarkan program sektoral saja melainkan secara terintegrasi dan berkesinambungan.
2. Gambaran Daerah Aliran Sungai (DAS) Kawasan Penyangga Wilayah Selatan Kota Medan
Secara spesifik Kota Medan tidak memiliki kawasan lindung, semua wilayah telah dijadikan kawasan budidaya seperti pemukiman, perkebunan, pertanian dan fungsi lainnya. Kawasan lindung berupa kebutuhan hutan Kota Medan masih harus dikoordinasikan dengan wilayah atas yakni Kabupaten Karo dan Deli Serdang. Kawasan yang dapat dikajikan kawasan lindung Kota Medan adalah jalur-jalur bantaran sungai di sepanjang sistem sungai di Kota Medan dan wilayah atasnya. Sistem sungai di Kota Medan merupakan jalur-jalur sungai dan anak-anak sungai yang berasal dari sebahagian kawasan pegunungan Bukit Barisan dan melewati wilayah Kabupaten Karo dan Deli Serdang.
Tingkat kerusakan DAS tidak terlepas dari eksploitasi hutan di sekitar DAS, khusunya di bagian hulu yang memiliki kerusakan lahan. Secara umum, hutan di sekitar DAS, kawasan penyangga wilayah Selatan Kota Medan adalah hutan kemasyarakatan, yakni hutan milik desa dan kebun-kebun rakyat. Menurut tokoh masyarakat di wilayah Kecamatan Delitua, kesepakatan untuk tidak mengusahakan lahan di sekitar sungai dijalankan sejak dahulu untuk kelestarian lingkungan sekitar.
Keberadaan kawasan penyangga : DAS di wilayah Selatan Kota Medan masih cukup baik. Dari pengamatan di beberapa titik tampak bahwa di daerah sempadan sungai masih cukup baik, vegetasi tumbuhan menutup areal tangkapan air dan pemanfaatan lahan untuk kawasan budidaya masih terbatas. Dari hasil pengamatan tampak bahwa sebenarnya masyarakat desa masing-masing wilayah penelitian masih menjaga kelestarian lingkungannya, dapat dilihat dari pola pemanfaatan lahan, pemanfaatan air sungai dan kearifan tradisionil dalam menjaga hutan kampung.
Beberapa aktivitas penyebab kerusakan DAS adalah : (1) galian C yang menyebabkan terjadi pendalaman sungai akibat jumlah pasir yang diambil tidak sebanding dengan masukan pasir dan batu-batuan dari hulu (pegunungan) , (2) pemanfaatan sempadan sungai menjadi areal pondok-pondok wisata pantai dan pemanfaatan sempadan sungai menjadi pemukiman dan (3) areal pertanian, pembukaan lahan untuk areal pertanian. Kerusakan DAS di wilayah sampel masih dalam ambang batas ekologi, belum memberikan karusakan yang berarti untuk wilayah sekitarnya dan Kota Medan.
a. Transek Desa di Kawasan DAS
Transek desa adalah penelusuran wilayah atau kawasan berdasarkan topografi, yang mengkaji penggunaan lahan dan vegetasi yang menutupinya. Transek ini diperlukan untuk mengetahui ketersediaan kawasan penyangga yang akan melindungi kawasan bawahnya. Secara umum desa-desa di wilayah DAS berada pada kemiringan 8 – 15 %, dan beberapa diataranya lebih dari 15 %. Lokasi dengan kemiringan yang tinggi digunakan untuk lahan pertanian tanaman perkebunan, hortikultura tahunan, pangan dan lainnya.
Tabel 1.Desa Salam Tani Kec. Pancurbatu (Sungai Lau Tengah DAS Sei Belawan)
Keterangan | | ||||
Pemanfaatan lahan | Sempadan sungai dimanfaatkan menjadi lahan pertanian, ada juga menjadi pemukiman, tempat penampungan sementara pengambilan pasir sungai | Pertanian polikultura ada juga monokultur | Ladang tanaman pangan dan hortikultura (tanaman semusim) | Pemukiman | Pertanian polikultura |
Jenis tanaman (vegetasi) | Bambu, jagung, cabe, dan tamanam keras | Durian, kakao, pete, jengkol, kelapa dan tanaman keras lainnya | Padi, jagung, cabe, pisang dan lainnga | Perumahan rakyat | Durian, kakao, pete, jengkol, kelapa dan tanaman keras lainnya |
Status Lahan | Milik | Milik | Milik | Milik | Milik |
Kesuburan Tanah | Baik | Baik | Baik | Kurang | Baik |
Masalah-masalah | Pemanfaatan menyalahi ketentuan lingkungan hidup | Tanaman tidak terlalu produktif sehingga terjadi pemanfaatan tanaman menjadi kayu | Pada kemiringan > 25 % masih ditanami dengan tanaman semusim dan rentan terhadap degradasi tanah | Aliran limbah rumah tangga ke parit yang mengalir ke sungai Pemanfaatan kayu-kayu dalam pertanian polikultur menjadi bahan bakar rumah tangga | Tanaman tidak terlalu produktif sehingga terjadi pemanfaatan tanaman menjadi kayu |
Potensi untuk pengembangan | Pemanfaatan sempadan dengan tanaman yang memelikiki perakaran yang dapat menahan air dan erosi tanah | Bila model polikultura di kembangkan dapat memberikan manfaat ekonomi dan ekologis | Penanaman tanaman semusim | Rumah tangga menjadi pelaku dalam pemeliharaan tanaman penyusun kawasan penyangga | Bila model polikultura di kembangkan dapat memberikan manfaat ekonomi dan ekologis |
Sumber : Analisis Data Primer, 2007
Tabel 2. Desa Kwala Simeimei Kecamatan Namurambe (DAS Sei Deli)
Keterangan | | ||
Pemanfaatan lahan | Sempadan sungai dimanfaatkan untuk pertanian | Pertanian tanaman semusim dan tanaman keras | Pemukiman menyebar memiliki pekarangan dan kebun |
Jenis tanaman (vegetasi) | Bambu dan tanaman semak dan perdu | Tanaman pangan dan hortikultura Tanaman perkebunan, kelapa sawit dan kakao | Ada tanaman pekarangan berupa tanaman tahunan, kelapa, nangka, durian dan lainnya |
Status Lahan | Milik | Milik | Milik |
Kesuburan Tanah | Baik | Baik | Baik |
Masalah-masalah | Di kawasan ini belum ada masalah yang cukup berarti | Pembukaan lahan dengan membakar sehingga merusak kwalitas lingkungan hidup | Di kawasan ini belum ada masalah yang cukup berarti |
Potensi untuk pengembangan | Pemanfaatan industri hilir bambu sehingga budidaya bambu lebih dapat ditingkatkan dan dapat menjaga kelestarian lingkungan kawasan sempadan sungai | Tanaman keras dibudidayakan dengan model polikultur sehingga lebih menguntungkan secara ekonomi dan ekologi | Pemanfaatan kebun dan pekarangan dengan tanaman tahunan yang produktif |
Sumber : Analisis Data Primer, 2007
Bila dikaji pengelolaan DAS sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia dimana pengaturan lahan sebagai penataan suatu arahan menjadi suatu kawasan diklasifikasikan berdasarkan fungsi fisik yakni sebagai kawasan pelindung dan penyangga. Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa kawasan DAS dihulu Kota Medan masih dalam batas ambang ekologis. DAS yang dieksplorasi pembangunan fisik (pemukiman, wisata dan penggalian C) adalah wilayah DAS yang memiliki akses transportasi. Kawasan DAS lainnya masih digunakan untuk kebun campuran (polikulture) tanaman keras yang memiliki struktur perakaran yang dapat menahan erosi.
(b) Pola Pengembangan Kawasan Penyangga Wilayah Selatan Kota Medan
Pengelolaan kawasan DAS ini dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi dengan melibatkan semua pihak tanpa adanya batas pewilayahan. Pola pengembangan kawasan penyangga Kota Medan dikonsentrasikan pada pertanian tanaman keras tahunan, mengingat wilayah ini banyak dilalaui oleh anak-anak sungai dan sungai. Komoditi yang sudah ada sejak 50 tahun lalu seperti durian, nira, petai, jengkol, dan tanaman lainnya harus tetap dijaga kelestariannya. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana membuat komoditi ini tetap bernilai guna sehingga masyarakat tidak menebang pohon tersebut untuk dijadikan manfaat lain. Hal yang mengancam ketersediaan kawasan penyangga Kota Medan adalah (1) perluasan Kota Medan sehingga pembangunan fisik ; pemukiman, hotel dan pertokoan mengarah ke kawasan penyangga, (2) kemudahan dalam memperoleh izin mendirikan bangunan tanpa melihat aspek ekologis, (3) masyarakat kurang mendapat manfaat dari komoditi penyusun kawasan penyangga, sehingga dimanfaatkan menjadi fungsi lain, atau menebang kayu dan menjualnya, (4) belum adanya kerjasama yang cukup kuat antara wilayah dalam mempertahankan kawasan penyangga.. Upaya untuk menjaga kelestarian kawasan penyangga mengantisipasi banjir Kota Medan adalah :
Tabel 3. Permasalahan Ketersediaan Kawasan Penyangga di Wilayah Hulu Kota Medan
No | Permasalahan | Penyebab | Rencana | Pelaksana |
1 | Alih fungsi lahan dari pertanian campuran menjadi fungsi lain | Rendahnya harga komoditi pertanian campuran | Mengolah hasil komoditi menjadi lebih bernilai guna, misalnya hasil durian diolah menjadi dodol durian, selai durian, air nira menjadi gula semut dan gula merah | 1. Masyarakat 2. Pemerintah 3. Lembaga non pemerintah 4. Institusi perguruan tinggi 5. Swasta |
| | Mudahnya mendapat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) meskipun tidak sesuai dengan ketentuan | Memperketat pemberian IMB terutama pada lahan-lahan yang yang berada pada kawasan penyangga dan pelindung | 1. Instansi yang berhak mengeluarkan IMB 2. Masyarakat |
2. | Masyarakat kurang mendapat manfaat dari ketersediaan kawasan penyangga | Tidak adanya umpan balik dari penerima manfaat kawasan penyangga kepada masyarakat yang telah menyediakan kawasan penyangga | Kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait dalam rangka peningkatan kwalitas hidup masyarakat penyedia kawasan penyangga. | 1. Pemerintah 2. Masyarakat 3. Lembaga non pemerintah 4. Institusi perguruan tinggi 5. Swasta |
3. | Belum ada kerjasama antar wilayah, lembaga dalam mengelola kawasan penyangga | Pemahaman tentang manfaat ekonomis dan ekologis dari kawasan penyangga masih rendah Masyarakat penyedia kawasan penyangga kurang menyadari manfaat yang telah diberikan kepada kawasan bawahnya | Sosialisasi tentang pendidikan lingkungan hidup, terutama masalah banjir, kawasan penyangga, proses hidrologis dan lainnya | 1. Masyarakat 2. Pemerintah 3. Lembaga non pemerintah 4. Institusi perguruan tinggi 5. Swasta |
4. | Supremasi hukum yang tidak ditegakkan | Belum ada tindakan tegas bagi perusak lingkungan hidup di kawasan penyangga dan pelindung | 1. Perlunya ketegasan hukum 2. Penyadaran 3. Pendidikan lingkungan hidup | 1. Masyarakat 2. Pemerintah 3. Lembaga non pemerintah 4. Institusi perguruan tinggi 1. Swasta |
Sumber : Analisis Data Primer, 2007
3.Hubungan antara ketersediaan kawasan penyangga dengan banjir di Kota Medan
Faktor penyebab banjir Kota Medan secara umum dibagi menjadi lima kategori yakni : (a) Kondisi lahan di daerah hulu daerah pengaliran sungai-sungai yang melewati kota Medan sudah pada taraf sangat memprihatinkan, mengakibatkan peningkatan debit banjir yang sangat signifikan dengan bertambahnya pemanfaatan lahan. Daerah-daerah yang dulunya merupakan daerah resapan air maupun daerah pertanian/perkebunan yang diharapkan mampu menyimpan dan menahan air telah berubah fungsi menjadi daerah pemukiman bahkan beberapa diantaranya telah berubah menjadi daerah industri, (b) Beberapa titik-titik genangan yang ada merupakan daerah cekungan sehingga sulit untuk mengalirkannya dengan konsep drainase sederhana. Dengan tingkat kesulitannya yang tinggi biasanya menelan biaya yang relatif cukup besar. (c). Permasalahan sampah di saluran-saluran drainase yang ada. Masalah ini merupakan masalah klasik yang menuntut kesadaran dan partisipasi masyarakat sekitar. (d). Saluran air yang tidak terawat dengan baik sehingga menyulitkan air untuk mengalir dari jalan menuju saluran yang ada dan. (e) Hujan di wilayah hulu menyebabkan banjir di sungai-sungai yang melalui Kota Medan dan air meluap ke saluran sekunder, dan melimpas di kawasan sekitarnya.
Banjir di Kota Medan masih dalam tahapan genangan air, dalam arti pada saat hujun turun lebih dari satu jam maka akan timbul genangan air, dan akan surut kembali setelah hujan berhenti. Namun adakalanya terjadi juga banjir di sekitar saluran tersier dan wilayah dekat sungai akbiat tingginya curah hujan di wilayah hulu. Dalam catatan penulis fenomena banjir di Kota Medan menyebabkan terhambatnya aktivitas masyarakat antara lain : (a) banjir terjadi di daerah Sunggal yang menewaskan 11 orang penduduk pada bulan September 2002, (b) genangan air di landasan pacu Bandara Polonia (Desember 2002 dan Januari 2002) menghentikan kegiatan penerbangan selama 2 hari, (c) genangan air di di jalan-jalan arteri dan kolektor menyebabkan terjadinya kemacetan lalu lintas, (d) genangan air di wilayah Kecamatan Medan Belawan dan Medan Labuhan akibat pasang naik yang menyebabkan terganggunya aktivitas masyarakat dan masih banyak kasus-kasus lainnya. Frekuensi banjir di Kota Medan bertambah pada saat musim hujan baik di hulu dan hilir Kota Medan dan bertambah sejalan dengan perkembangan pembangunan kota.
Penyebab banjir di Kota Medan secara mikro adalah (1) kurang berfungsinya saluran drainase akibat sampah : plastik, kayu, batu, dan jenis-jenis sampah lainnya, (2) Koefisien Dasar Bangunan (KDB) semakin kecil dan pengerasan beberapa kawasan dengan semen atau aspal menyebabkan kawasan resapan air menjadi berkurang dan (3) beberapa titik banjir akibat wilayah lebih rendah, sementara wilayah atasnya sedang dilakukan pembangunan sehingga terganggunya fungsi hidrologis.
Banjir di Kota Medan juga sebagai akibat derasnya hujan di wilayah hulu dan sungai-sungai yang mengalir di Kota Medan tidak mampu menampung air yang masuk. Kondisi demikian menyebabkan wilayah di pinggiran sungai; pemukiman terkena luapan air dan bila berlanjut berdampak pada kerugian material. Jadi banjir yang melanda di Kota Medan bukan hanya disebabkan oleh kurang baiknya drainase, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi kawasan penyangga di wilayah atasnya.
3.Gambaran Kawasan Penyangga di Wilayah Hilir Kota Medan
a. Hutan Kota
Hutan kota adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan assosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitarnya, membentuk jalur, menyebar, atau bergerombol (menumpuk), struktur meniru (menyerupai) hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa liar dan menimbulkan lingkungan sehat, suasana nyaman, sejuk dan estetis. Hutan kota harus berinteraksi langsung dengan lingkungan (tanah dan air), yakni ruang yang ditumbuhi vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk kota dalam kegunaan proteksi, estetika serta rekreasi. Dalam upaya mengoptimalkan ketiga fungsi hutan kota ini, maka hutan kota dimodifikasi sehingga menjadi tempat tujuan rekreasi keluarga.
Ruang yang menyerupai hutan kota di Kota Medan adalah taman-taman yang berada di tengah kota yakni Taman Ahmad Yani dan Taman Air Mancur dengan hutan di bantaran Sungai Babura di sekitarnya. Luas dan komposisi vegetasi yang membentuk hutan kota ini adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Luas dan Komposisi Vegetasi Hutan Kota di Kota Medan
No | Hutan Kota | Lokasi | Luas (M2) | Jenis Vegetasi |
1. | Taman Ahmad Yani | Jl. Ahmad Yani | 21.893 | Mohoni, Palem Raja, Mangga, Bunga Kupu-kupu, Trembesi, Glodokan Tiang, Pinus, dll |
2. | Taman Beringin | Jl. Sudirman | 20.770 | Beringin, Kelapa, Kelapa Sawit, Mahoni, Palem Raja, Akasia, Gintungan, Klumpang, Tanjung, Flamboyan, Bunga Kupu-kupu, Trembesi, Sena, Saga, Bungur dan lain-lain |
3. | Bantaran Sungai Babura di dekat Taman Beringin | Jl. Sudirman | | Beringin, Bambu, Bungur, Trembesi, Vegetasi Perdu dan lainnya. |
Sumber : Analisis Data Primer, 2007
Tabel 5. Permasalahan Kawasan Penyangga Daerah Hilir : Bantaran Sungai
No | Permasalahan | Penyebab | Rencana | Pelaksana |
1. | Penggunaan bantaran sungai menjadi areal pemukiman dan peruntukan lain yang dapat menyebabkan kerusakan kwalitas lingkungan perkotaan | - Tidak tegasnya pelaksanaan Perda - Berkurangnya ketersedian lahan untuk pemukiman | - Pelaksanaan Perda dengan tegas dan berwibawa - Pendidikan publik untuk menciptakan kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan hidup | Dinas Pekerjaan Umum, Bappedalda, Perguruan Tinggi, LSM dan masyarakat |
2. | Pembuangan sampah dan limbah ke bantaran sungai atau langsung ke sungai | - Tidak tegasnya pelaksanaan Perda - Kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan hidup | - Pelaksanaan Perda dengan tegas dan berwibawa - Pendidikan publik untuk menciptakan kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan hidup | Dinas Pekerjaan Umum, Bappedalda, Perguruan Tinggi, LSM dan masyarakat |
3. | Degradasi bantaran sungai seperti longsor, penurunan permukaan tanah | Sifat fisik tanah yang rentan terhadap degradasi tanah | Pemasangan gorong-gorong | Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pengairan |
Kesimpulan
a. Kawasan penyangga di Kota Medan : Wilayah Selatan (hulu) masih mencukupi baik dari aspek ketersediaan maupun dari vegetasi yang ada. Pemanfaatan wilayah berdasarkan kelerengan masih sesuai dengan
b. Banjir yang melanda Kota Medan secara umum masih masuk ke dalam kategori genangan air, dimana air yang tergenang bersifat temporer, hanya beberapa titik saja yang menimbulkan kerugian fisik, ekonomi dan moral.
c. Kawasan penyangga di wilayah hilir Kota Medan masuk dalam kategori tidka mencukupi, dalam hal luasan maupun komposisi vegetasi.
d. Persoalan mendasar yang menyebabkan pengurangan luas kawasan penyangga di hulu dan hilir Kota Medan adalah pemanfaatan kawasan menjadi kawasan budidaya (pemukiman, perdagangan, pertanian dan lainnya).
e. Pengembangan kawasan penyangga di wilayah Selatan Kota Medan (hulu) adalah dengan memanfaatkan potensi lahan yang tersedia menjadi komoditi pertanian : tanaman keras yang memiliki struktur perakaran yang memiliki kemampuan menahan (holding capacity) air kuat sehingga dapat membantu siklus hidrologi air.
f. Untuk mempertahankan ketersediaan kawasan penyangga di wilayah hilir adalh pencetakan hutan kota baru, pemanfaatan sempadan sungai menjadi wilayah pertanian tanaman keras dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menjaga kawasan penyangga.
2. Saran
a. Untuk tetap menjaga kelestarian kawasan penyanga di wilayah hulu, diperlukan adanya koordinasi antar instansi dan masyarakat dalam pemanfaatan kawasan penyangga menjadi fungsi lain.
b. Di wilayah hilir, kawasan penyangga banyak terdapat di daerah aliran sungai dimana telah dimanfaatkan menjadi areal pemukiman, industri, pertanian tanaman semusim dan fungsi lainnya. Salah satu upaya yang diperlukan dalam menjaga kelestarian kawasan penyangga di daerah aliran sungai ini adalah dengan meningkatkan penegakan hukum dan Perda yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Chambers, Robert. 1992. Rural Appraisal, Rapid, Relaxed and Participatory. Institute of Development Studies.
Gordon, David., 1990. Green Cities, Black Rose Books Ltd., Montreal New York.
Djajadiningrat Surya T dan Harry Darsono Amir. Penilaian Secara Cepat Sumber-sumber Pencemaran Air, Tanah dan Udara. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Irwan, Zoer’aini Djamal. 1998. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta.
Marbun, BN., 1994. Kota Indonesia Masa Depan ; Masalah dan Prospek. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Prosiding. 1995. Analisis Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Satropoetro, S.R.A. 1988. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi, dan Disiplin Dalam Pembangunan Nasional, Alumni Bandung.
Suparmoko, 1994. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan ; Suatu Pendekatan dan Teori. Penerbit BPFE, Yogyakarta.
Usman Erwin dan Arimbi HP. 2003. 199 Lexicon Hukum Lingkungan. Penerbit E-Law. Jakarta.
Langganan:
Postingan (Atom)