Pernyataan tersebut disampaikan Djoko Kirmanto saat membuka Seminar Mekanisme Pembangunan Bersih Sektor Persampahan di Jakarta, Rabu (25/2). Seminar tersebut merupakan hasil kerjasama Departemen PU dengan Departemen Tanah, Infrastruktur, Transportasi dan Pariwisata Jepang.
Menteri PU menuturkan, jumlah sampah yang dibuang ke TPA setiap harinya di kota-kota besar Indonesia mencapai 500 - 6.000 ton. Hampir seluruh TPA masih dioperasikan secara terbuka atau open dumping, hanya beberapa saja yang telah menerapkan controlled landfill. Namun belum ada yang mengembangkan sanitary landfill.
Pengelolaan sampah sistem open dumping menimbulkan pencemaran udara akibat emisi gas methane yang dihasilkan timbunan sampah di TPA. Terkait dengan mitigasi terhadap emisi gas tersebut, di kota-kota besar penanganan gas landfill dikembangkan kearah waste to energy (WTE).
Dalam rangka meningkatkan kinerja pengelolaan sampah di TPA, kegiatan penanganan gas melalui skema CDM merupakan peluang potensial yang dapat dimanfaatkan pemerintah kabupaten/kota bekerjasama dengan swasta. Dengan keterlibatan swasta, maka dapat membantu dalam biaya operasional TPA. Saat ini biaya operasionalnya senilai Rp 50.000 – Rp 100.000 per ton sampah.
Djoko Kirmanto mengatakan selama ini biaya investasi dibidang ini cukup tinggi untuk ia mendesak kepada pelaku swasta bisa memanfaatkan peluang tersebut. Menurutnya investasi di pengelohan sampah cukup menguntungkan artinya investor tidak perlu khawatir mengenai potensi keuntungan yang bisa diperoleh. Meskipun risiko resistensi terhadap pembangunan TPA saat ini masih cukup tinggi terhadap masyarakat.
Saat ini ada lima pemerintah kota yang telah bekerjasama dengan swasta dalam pelaksanaan CDM yaitu TPA Batulayang, Pontianak, Kalimantan Barat, TPA Sumur Batu, Bekasi Jawa Barat, TPA Suwung, Denpasar, Bali, TPA Sukowinatan, Palembang dan TPA Tamangapa, Makassar, Sulawesi Selatan.
Menteri PU mencontohkan salah satu proyek CDM yang berhasil ialah TPA Suwung, Denpasar. Meski belum rampung 100 persen, namun saat ini telah mampu menghasilkan listrik yang berhasil dijual seharga Rp 600 per kwh. Dengan mengolah sampah 500 ton per hari yang memiliki daya 10 megawatt.
Sementara itu Direktur Jenderal Cipta Karya, Budi Yuwono mengatakan, masuknya swasta dalam pengolahan sampah tergantung kepada pasar dalam hal ini peran pemerintah kota dan kabupaten menciptakan iklim kondusif.
Budi mengatakan, dalam pengolahan sampah sampai saat ini belum ada yang masuk sekala ekonomi seperti sebagai pembangkit listrik seharusnya dapat mencapai 10 sampai 20 megawatt tergantung tersedianya sampah setiap hari.
Seperti di Bali saat ini baru menghasilkan 3 megawatt atau baru 30 persen, saat ini sudah ada rencana alokasi dana 70 juta dolar AS dari Australia untuk penanganan sampah.
”Ada dua pilihan dalam mengelola sampah membuat sama sekali baru, atau menyempurnakan lokasi yang sudah tersedia,” sebut Budi Yuwono.
Selain listrik, sampah juga dapat menghasilkan kompos (pupuk), setidaknya investasi awal berkapasitas 500 ton per hari membutuhkan dana 20 juta dolar AS tergantung peruntukan.
Budi mengatakan, dalam pengolahan sampah sampai saat ini belum ada yang masuk sekala ekonomi seperti sebagai pembangkit listrik seharusnya dapat mencapai 10 sampai 20 megawatt tergantung tersedianya sampah setiap hari.
Seperti di Bali saat ini baru menghasilkan 3 megawatt atau baru 30 persen, saat ini sudah ada rencana alokasi dana 70 juta dolar AS dari Australia untuk penanganan sampah.
”Ada dua pilihan dalam mengelola sampah membuat sama sekali baru, atau menyempurnakan lokasi yang sudah tersedia,” sebut Budi Yuwono.
Selain listrik, sampah juga dapat menghasilkan kompos (pupuk), setidaknya investasi awal berkapasitas 500 ton per hari membutuhkan dana 20 juta dolar AS tergantung peruntukan.
Untuk lebih mengembangkan pengolahan sampah berbasis CDM, Djoko Kirmanto mengaku terbantu dengan adanya bantuan berupa berbagi pengalaman dan pengetahuan dari pemerintah Jepang. Dalam teknologi pengolahan gas bidang persampahan, Jepang memang telah lebih maju dibandingkan Indonesia.
Wakil Menteri Tanah, Infrastruktur, Transportasi dan Pariwisata Jepang Seigo Sakaki mengungkapkan, penerapan CDM bidang persampahan di negaranya berkontribusi terhadap penurunan emisi gas sebesar 1,6 persen. Sesuai kesepakatan Protokol Kyoto, Jepang menargetkan penurunan emisi gas sebanyak 7 persen.
“Selain transfer knowledge, Jepang juga membantu Indonesia melalui pengiriman tenaga ahli dan grant (hibah-red),” ucap Seigo Sakaki. (rnd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar